NovelToon NovelToon
Bunian Cinta Yang Hilang

Bunian Cinta Yang Hilang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Mata Batin
Popularitas:251
Nilai: 5
Nama Author: Ddie

Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."

Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ini Baru Permulaan

Pagi itu, rumah Raga terasa berbeda. Terlalu sunyi. Bahkan suara ayam tetangga pun sekarang lebih banyak diam, seperti kena kutuk penyihir '' mengawasi dari balik dinding-dinding tua.

Ibu sedang menyapu ruang tengah, tiba-tiba hawa dingin merayap dari arah koridor belakang—arah bilik tua yang sudah bertahun-tahun dibiarkan terkunci. Napasnya tercekat menahan gagang sapu erat-erat, merasakan bulu kuduknya berdiri.

“Bujang?” panggilnya pelan.

Tak ada sahutan.

Langkahnya hati-hati menyusuri koridor. Cahaya yang masuk dari jendela kecil menerangi debu tipis yang berputar-putar di udara. Semakin dekat ia ke bilik tua, semakin jelas aroma wangi itu—wangi lembut yang menusuk, menguar perlahan…

Melati.

Ibu membeku.

Itu bukan wangi bunga biasa. Itu wangi yang dulu muncul hanya ketika Angku—ayah mertuanya—berbicara tentang Tuanku Haji Rusdi dan kisah yang tidak boleh diceritakan sembarang telinga. Wangi yang menjadi tanda… bahwa ada tamu yang tak terlihat.

Ibu menarik napas gemetar. “Bujang?” panggilnya lagi, lebih keras.

Raga muncul dari kamarnya. Wajahnya pucat, mata sembab, seperti tak benar-benar tidur. Ia memegang dadanya, napasnya berat.

“Ada apa, Bu?” suaranya lemah.

Ibu tak menjawab menunjuk ke arah bilik tua.

Raga terdiam.Aroma melati itu juga tercium olehnya. Tipis, tapi jelas—dan menyesakkan.

Ibu mendekatinya. “Semalam… kamu mimpi lagi?”

Ia menelan ludah, menghindari tatapan ibunya. “Entah mimpi atau bukan… tapi raga seperti melihat seseorang "

Ibu memejamkan mata, wajahnya berubah pucat. Bukan hanya takut—tapi ada kesedihan di sana. Kesedihan seorang ibu yang tahu anaknya sedang didekati sesuatu yang tidak semestinya.

Ia menggenggam tangannya. “Nak, jujurlah pada Ibu.”

Raga menunduk setelah beberapa detik, berbisik:

“Dia… memanggil namaku.”

Genggaman Ibu terlepas. Bahunya jatuh. Ia menatap bilik itu dengan mata berkaca-kaca.

“Bilik itu,” katanya lirih, “dulu dipakai Angku menyimpan benda-benda peninggalan Tuanku Haji Rusdi. Barang yang berhubungan dengan… perjanjian itu. Bukan tempat yang boleh dibuka sembarangan.”

Raga mengerutkan kening. “Bu… apakah semua ini ada hubungannya dengan cerita Ibu?”

Ibu mengangguk pelan. “Ibu kira perjanjian itu sudah benar-benar mati bersama usia Angku. Tapi wangi melati ini…”Ia menelan ludah. “Wangi ini tidak pernah muncul tanpa seseorang… atau sesuatu.”

Raga terdiam, ingin bertanya lebih banyak, namun Ibu sudah melangkah ke arah bilik tua. Dengan hati-hati, menyentuh daun pintunya.

Kayunya dingin, dingin seperti barang yang baru diangkat dari sumur, bukan dari rumah yang belum disentuh pagi.

Ibu tersentak dan langsung menarik tangannya. Sehelai bunga melati,

segar, basah, seakan ada tangan dari dalam y baru saja meletakkannya.

Ibu menutup mulutnya menjerit.

Raga mundur selangkah, wajahnya mengeras pucat. Jantung memukul dadanya.

Belum sempat keduanya memproses apa yang baru saja mereka lihat, terdengar langkah cepat dari luar rumah—terburu-buru, seperti seseorang yang datang karena ditarik firasat.

Tok-tok-tok-tok!

“Assalamualaikum!”

Suara berat seorang lelaki tua menggema dari depan rumah.

Ibu menoleh, matanya membelalak. “Angku…?”

Raga langsung merasa darahnya seperti ditarik jatuh ke tanah.

Karena hanya ada dua alasan Angku datang sepagi ini.Dan salah satunya… sedang berdiri tepat di balik pintu bilik kayu itu.

\=\=\=

Pintu depan terbuka dengan suara berdecit membuat bulu kuduk berdiri. Angku berdiri di ambang pintu—sosok tua dengan tubuh mulai bongkok, rambut putih kusut, dan tatapan mata yang tajam seperti menembus kabut pagi.

Wajahnya pucat, seperti orang yang berlari tanpa henti. Nafasnya sedikit terengah, namun ia tetap menjaga wibawanya.

“Waalaikumussalam…” gumam Ibu, buru-buru mendekat.

Angku tidak langsung menjawab. Matanya tidak memandang Ibu, tidak pula melihat Raga. Tatapannya terpaku pada bilik tua di ujung koridor—tempat wangi melati tadi muncul.

“Pintu itu…” suara Angku bergetar, “…masih tertutup?”

Raga mengangguk pelan. “Tertutup, Kek, Tapi dari dalam—”

“Ssst!” Angku mengangkat tangan, melarangnya melanjutkan.

Ibu ikut terdiam. Angin pagi tiba-tiba berhenti, seolah mengikuti perintah lelaki tua itu.

Angku berjalan pelan ke ruang tengah, tongkat kayu di tangannya mengetuk lantai papan—tok… tok… tok…—setiap ketukan bergema seperti hentakan waktu lama yang terbangkitkan.

Ia berhenti tepat di depan bilik tua. Bahunya naik-turun, napasnya berat. Beberapa detik ia memejamkan mata, seakan sedang mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh manusia biasa.

Kemudian ia membuka mata, perlahan-lahan.

“Kalian berdua sudah mencium wanginya, kan?”

Ibu menelan ludah. “Iya, Ayah”

Raga mengangguk kecil.

Angku memalingkan wajah ke arah cucunya. “Sejak kapan wanginya muncul lagi, Bujang?”

“Beberapa hari ini, Angku,” jawab Raga jujur. “Kadang di kamar, kadang di dapur… bahkan di halaman belakang. Dan… semalam Raga bermimpi… atau entahlah apa itu.”

Angku memejamkan mata lagi. “Ia sudah mulai mencari.”

Ibu membeku. “Angku… jangan bilang—”

Lak laki tua itu mengangkat tangan, memotong kalimat Ibu.

“Jawab dulu pertanyaan ini.”

Tatapannya lurus ke Raga. “Saat wanginya datang—apakah kamu merasa seperti ada yang memperhatikanmu?”

Pertanyaan itu menusuk.Raga menatap lantai. “Iya.”

“Dan ketika kamu tidur,” lanjut Angku pelan, penuh kewaspadaan, “apakah mendengar seseorang memanggil namamu… tanpa suara?”

Tubuh Raga merinding. Ia mengangguk kaku.

Angku menutup mata, mendesah panjang—desahan orang yang sudah tahu jawabannya sejak awal, tapi tetap berharap ia salah.

“Sudah terlambat,” bisiknya.

Ibu memegangi dadanya. “Yah… maksudnya terlambat apa?”

Angku berbalik, menatap Ibu dan Raga bergantian.

“Perjanjian itu… bukan sekadar perjanjian biasa,” katanya lirih. “Itu bukan hutang, bukan nazar, bukan janji dunia. Itu ikatan darah tiga lapis antara dunia kita dan dunia mereka.”

Ia menunjuk bilik tua.“Dan bilik itu adalah tempat pertama di mana perjanjian itu dibuat.”

Ibu memucat. “Tapi… bukankah semua sudah dihentikan sejak dulu?”

Angku menggeleng perlahan. “Perjanjian begitu tidak pernah berhenti, Nak. Ia hanya tidur. Menunggu darah yang tepat bangun. Dan sepertinya…”Ia menatap Raga dengan mata yang meredup, “…darah itu ada padamu, Bujang.”

Raga terasa kehabisan udara untuk menjawab

Angku melangkah mendekatinya. “Karena engkau adalah garis lurus dari Tuanku Haji Rusdi. Engkau memiliki tanda yang tidak dimiliki turunan lainnya.”

Raga menelan ludah, suaranya pecah. “Apa… tanda itu?”

Dia meraih tangan membalikkan telapaknya.

Di sana, di pangkal ibu jari, ada bekas garis kecil—nyaris tak terlihat—semenjak kecil dianggap sebagai tanda lahir biasa.

“Tanda ini,” kata Angku, “adalah simbol darah yang pernah bersentuhan dengan dunia gaib. Tanda keluarga yang membuat perjanjian itu.”

Raga menatap tangannya, tubuhnya gemetar.

Ibu panik. “Tolong hentikan ini, Ayah. Jangan biarkan Raga dibawa!”

Angku menatap dalam, “Justru itu kenapa Angku datang, jika kita tidak dapat bertindak hari ini… maka esok pagi, wangi melati itu tidak hanya datang lewat pintu.”

Ibu hampir menjerit. Raga mematung, pusing, dadanya sesak.

“Angku…” suaranya bergetar. “Apa yang harus kita lakukan?”

Angku menarik napas panjang.

merogoh kantong kain yang diselipkan di ikat pinggangnya, mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berisi daun sirih, kapur, secarik kain putih, dan butir garam halus.

Ia menatap bilik tua itu dengan mata yang sudah tidak lagi keriput—melainkan tajam ketika muda dulu.

“Malam ini,” katanya tegas, “kita akan membuka bilik itu.”

Ibu terperanjat. “Ayah ! Tidak boleh! Itu—”

“Tidak ada pilihan lain,” potongnya. “Ia sudah mengetuk dari dalam. Kalau bukan kita yang membukanya, ia sendiri yang akan keluar.”

Raga merinding, bibirnya bergetar penuh.

Angku mendekat, memegang bahu cucunya.

“Bujang, dengarkan Angku baik-baik.”

Suara tuanya pelan, tapi sangat tegas.

“Kalau apa yang datang itu benar seperti firasatku… maka malam nanti bukan hanya perjanjian yang akan diuji, tapi imanmu.”

Raga menelan ludah, kering. “Angku … apakah dia berbahaya?”

Angku menjawab tanpa ragu.“Jika ia datang dengan wangi, ia hanya ingin kau tahu keberadaannya.Tapi kalau ia membawa busuk …maka ia tidak datang untuk sekadar mencari datang untuk mengambil.”

Keheningan menekan seluruh ruangan.

Lalu… dari balik bilik tua…sesuatu mengetuk pelan.

Tok.

Tok.

Tok.

Aroma melati menyeruak lagi—lebih kuat daripada sebelumnya.

Angku menggenggam tongkatnya erat-erat.

“Siap-siap, Bujang…” ujar Angku, suaranya bergetar namun tegas.

“Ini baru permulaan.”

1
ayi🐣
semangat thor ayo lanjut/Awkward//Scream/
Ddie
Dapat kah cinta menyatu dalam wujud dimensi Roh ? Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari? Novel ini mencoba mengangkat dimensi ' Bunian' jiwa yang tersimpan dalam batas nalar, '
Rakka
Hebat!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!