NovelToon NovelToon
Senja Garda

Senja Garda

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mengubah Takdir / Action / Dosen / Epik Petualangan / Penyelamat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Daniel Wijaya

Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.

Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.

Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.

Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.

Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.

“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TEGURAN TUKANG SAPU

Waktu: 15.10 WIB.

Lokasi: Area Parkir Dosen, FIB UI Depok.

Pak Tio menatap Aditya dengan mata tajam seorang veteran yang sudah melihat terlalu banyak hal mengerikan di hutan-hutan tergelap Nusantara. Aura bapak-bapak pos rondanya hilang seketika, digantikan oleh aura pembunuh yang tenang dan penuh perhitungan.

"Dengar, Nak," Pak Tio menunjuk dada Aditya dengan rokok klobotnya yang mati. "Kamu punya mainan canggih. Kamu punya uang tak berseri. Kamu merasa jadi pahlawan karena pake topeng dan loncat-loncat di atas gedung. Tapi kamu lupa satu hal."

"Apa?" tantang Aditya, tangannya mengepal di samping tubuh, menahan nyeri di rusuknya.

"Bahwa saya melanggar pasal karet kalian?"

"Bukan," jawab Pak Tio, suaranya berat seperti batu giling. "Kamu lupa soal Keseimbangan."

Pak Tio menepuk kap mesin Kijang bututnya yang panas karena mesin tua.

"Setiap kali kamu membunuh monster sembarangan tanpa ritual pembersihan yang benar, energinya tidak hilang begitu saja, Adit. Energinya meledak dan menyebar seperti limbah nuklir. Menjadi penyakit aneh di desa terdekat. Menjadi gagal panen. Menjadi kegilaan massal."

Aditya terdiam. Argumen itu valid. Dia tahu itu. Itu sebabnya dia selalu pusing hebat setelah misi; tubuhnya menyerap sebagian residu energi itu, tapi sisanya memang menyebar ke lingkungan karena dia tidak punya waktu untuk ritual.

"Kami," lanjut Pak Tio, menunjuk dirinya dan Larasati dengan jempol, "orang-orang berseragam jelek ini, adalah tukang sapunya. Kamu yang bikin pesta, kami yang ngepel muntahannya. Dengan anggaran pas-pasan dan senjata bekas perang tahun 80-an."

Pak Tio melangkah mundur sedikit, memberi ruang napas, tapi matanya tetap mengunci Aditya.

"Jadi jangan remehkan birokrasi, Nak. Kertas ini..." Pak Tio menunjuk SP-1 di tangan Aditya. "...adalah satu-satunya hal yang menahan kami untuk tidak menyegel gudang senjatamu atas tuduhan bahaya biologis."

Aditya menghela napas panjang. Kemarahannya mereda sedikit, digantikan rasa lelah yang amat sangat. Dia tahu Pak Tio benar, tapi ego dan urgensi waktunya menolak untuk mengalah.

Tiba-tiba, Pak Tio memajukan wajahnya lagi. Hidungnya kembang kempis, mengendus udara di dekat bahu Aditya.

"Dan ngomong-ngomong," Pak Tio menyeringai miring, memperlihatkan gigi kuningnya. "Itu Minyak Boreh dari resep Mbah Sastro di Banyuwangi, kan? Baunya khas. Ada campuran belerang dan jahe merah."

Aditya kaku. Salep Jerman mahal dari Arya ternyata tidak cukup kuat menutupi bau aslinya bagi hidung terlatih si veteran tua.

"Bagus," kata Pak Tio, suaranya melunak, terdengar lebih seperti paman yang prihatin daripada polisi yang marah. "Kalau kamu pake itu, berarti lukamu parah. Tulang muda itu rapuh, Nak. Istirahatlah. Jangan sok kuat. Dunia nggak akan kiamat kalau kamu tidur siang sehari."

"Ada lagi?" tanya Aditya dingin, ingin segera mengakhiri ini. Jam tangannya terus berdetak mengejeknya. Fajar mungkin sudah dalam perjalanan ke stasiun.

"Ada," sela Larasati tiba-tiba.

Wanita muda itu sedang mengecek tablet inventaris negaranya yang berbunyi bip nyaring berulang kali. Wajahnya yang kaku berubah pucat pasi di bawah terik matahari.

"Pak Tio," panggil Larasati, melupakan hal yang ingin disampaikan kepada adit, suaranya tegang. "Laporan darurat dari Pusat masuk. Konfirmasi visual."

"Di mana?" tanya Pak Tio, melupakan ceramahnya.

"Jakarta Pusat. Jalan Medan Merdeka Barat."

Aditya langsung menoleh tajam. Itu alamat Museum Nasional.

"Ada apa di Museum?" tanya Aditya, nada suaranya berubah tajam. Instingnya berteriak. Yayasan keluarganya yang mengelola tempat itu.

Selah melihat informasi dari tablet Larasati, Pak Tio menatap Aditya dengan pandangan serius. Tidak ada lagi senyum mengejek. Wajahnya kini adalah wajah seorang komandan lapangan.

"Ada tamu tak diundang semalam. CCTV mati total. Alarm fisik tidak bunyi. Tapi sensor ektoplasma kami di area Monas menjerit karena lonjakan energi negatif."

"Apa yang hilang?" desak Aditya, mencengkeram pintu mobilnya.

"Barang berbahaya," jawab Pak Tio pelan. "Sesuatu yang seharusnya tidak dipajang untuk umum. Topeng kayu hitam dari era Majapahit."

Jantung Aditya berhenti berdetak sesaat.

Topeng Batara Kala.

Aditya merasakan darahnya menjadi dingin. Itu bukan sekadar topeng upacara.

Dalam catatan Arsip Wiranagara, Topeng Batara Kala adalah salah satu artefak "Kelas Kiamat". Diciptakan oleh Mpu gila di akhir era Majapahit, topeng itu tidak hanya memberi kekuatan fisik bagi pemakainya. Topeng itu memiliki kemampuan untuk memanipulasi persepsi waktu dan membuka celah dimensi ke masa lalu.

Konon, siapa pun yang memakai topeng itu bisa memanggil bayangan dari sejarah untuk menghancurkan masa kini. Tapi bayarannya mahal: topeng itu akan memakan memori—dan akhirnya jiwa—si pemakai sampai habis.

Jika benda itu jatuh ke tangan yang salah, Jakarta tidak hanya akan menghadapi teroris biasa. Jakarta akan menghadapi pasukan hantu dari abad ke-14.

Kepingan puzzle di kepala Aditya mulai tersusun dengan mengerikan. Serangan di Merapi semalam. Fajar yang menemukan serpihan drone. Dan sekarang, pencurian artefak waktu. Ini bukan kebetulan. Ini operasi terkoordinasi.

Bayangga sudah bergerak.

"Kami ke sana sekarang untuk olah TKP," kata Pak Tio sambil berbalik menuju mobil dinasnya. "Kalau kamu punya info, hubungi kami. Jangan bertindak sendiri lagi. Ini peringatan terakhir."

Tanpa basa-basi, mereka masuk kembali ke Kijang hitam itu. Mesin mobil menderu batuk-batuk sebelum akhirnya menyala dengan asap hitam pekat. Mobil itu mundur perlahan, lalu melaju pergi membelah jalanan kampus UI, meninggalkan Aditya sendirian.

Aditya berdiri mematung di samping Porsche-nya, memegang surat SP-1 yang kini lecek.

Topeng Batara Kala dicuri. Fajar mau ke Yogya mengejar berita. Musuh sudah bergerak dua langkah di depan.

Aditya meremas surat peringatan itu dan melemparnya asal ke tong sampah terdekat. Dia membuka pintu mobilnya, membantingnya menutup, dan menyalakan mesin listrik yang berdengung halus namun bertenaga.

"Karin," perintahnya lewat sistem voice command mobil. "Lupakan istirahat. Kita punya situasi darurat."

"Mas mau langsung ke Stasiun Gambir ngejar Fajar?" tebak Karin lewat speaker mobil.

"Tidak. Belum," jawab Aditya dingin, memasukkan gigi mobil. Matanya menatap lurus ke depan dengan intensitas membunuh. "Kalau aku ke stasiun sekarang, aku cuma bakal nyari jarum di tumpukan jerami. Aku tidak tahu siapa atau ‘apa’ pelakunya."

Aditya memutar setir, mengarahkan mobilnya keluar dari UI menuju jalan tol arah Jakarta Pusat.

"Aku harus ke Museum Nasional dulu."

"Tapi Mas, Pak Tio dan Larasati kan sudah ke sana? Nanti Mas malah ribut lagi sama mereka. Mas Arya juga pasti lagi ngamuk di sana."

"Biar saja. Aku butuh melihat TKP-nya, Rin. Aku mungkin butuh 'Mata Leluhur' untuk melihat jejak residu si pencuri. Hanya dengan begitu aku bisa tahu ke mana dia membawa topeng itu pergi." ucapnya berat.

Aditya menginjak pedal gas dalam-dalam. Porsche itu melesat.

"Museum ada di Jalan Medan Merdeka Barat. Stasiun Gambir ada di sebelahnya. Aku akan cek museum, dapatkan jejak visualnya, lalu menyusul Fajar ke stasiun. Waktunya mepet, tapi cukup."

"Oke. Hati-hati, Mas. Detak jantung Mas naik lagi. Tulang rusuk aman?"

"Aman," bohong Aditya, padahal rasanya seperti ditusuk pisau panas setiap kali dia bernapas. "Malam ini, Senja Garda lembur lagi."

Mobil hitam itu melesat membelah kemacetan sore, membawa sang penjaga menuju titik awal bencana.

———————————————————————

Ilustrasi Topeng Batara Kala :

1
Kustri
💪💪💪
👉👉👉
Santi Seminar
lanjutt
Kustri
sambil menyelam minum☕
Kustri
maju teros, ojo mundur Dit, kepalang tanggung, yakin!!!
Kustri
jgn lewatkan, ini karya👍👍👍
luar biasa!!!
Santi Seminar
suka ceritamu thor
Santi Seminar
jodoh kayaknya😍
Kustri
seh kepikiran wedok'an sg duel ro adit ng gudang tua... sopo yo thor, kawan po lawan🤔
tak kirimi☕semangat💪
Kustri
☕nggo pa tio sg meh begadang
💪💪💪thor
Kustri
hahaaa dpt😉 g bs tidur pa dosen
jodoh ya thor🤭
Kustri
apa kau tersepona hai wanita cantik...

makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
Santi Seminar
wow
Kustri
oowh jembatan merah di mimpi adit ternyata di palembang
💪💪💪adit
Kustri
ckckckk... seru tenan!!!
Kustri
serius mocone deg"an
tp yakin sg bener tetep menang
Kustri
☕tak imbuhi dit💪
Kustri
☕ngopi sik dit, bn nambah kekuatanmu💪
Kustri
gempa lokal
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
Kustri
3 raksasa lawan 1 manusia...ngeri" sedap
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit
Kustri
pusaka legend sll ada💪
Daniel Wijaya: Betul banget Kak! Nusantara kita emang gudangnya pusaka sakti. Sayang kalau nggak diangkat jadi cerita! 🔥
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!