"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Tak Diundang
Sepanjang perjalanan, aku gak berani ngajak Om Lino ngobrol sama sekali. Bahkan melirik pun gak berani.
Aku cuma menatap lurus ke luar jendela, pura-pura tertarik dengan pemandangan di luar. Padahal, yang kulihat hanya deretan kendaraan yang berlalu-lalang, lampu-lampu kota yang mulai menyala, dan bayangan samar wajahku sendiri di kaca.
Om Lino sempat mencoba mengajakku ngobrol beberapa kali, tapi aku cuma menjawab pendek-pendek. Singkat, padat dan terkesan abai. Sepertinya dia sadar aku masih salting, jadi dia memilih diam.
Setelah beberapa waktu, mobil akhirnya berhenti.
“Sudah sampai.”
Aku berkedip. Lah? Udah sampai rumah aja? Saking sibuknya nenangin diri sendiri, sampai gak sadar.
“Kamu tidak ingin keluar?” suara Om Lino terdengar tenang, tapi ada sedikit nada geli di sana.
Aku buru-buru membuka pintu, masih tanpa menoleh. “I-iya, ini juga mau keluar.”
Begitu keluar, aku sempat mendengar suara tawa pelan dari dalam mobil.
Serius? Dia ketawa? Dikira lucu apa, hah?
Aku buru-buru berjalan ke rumah, malas membahas soal itu. Tapi langkahku melambat ketika melihat seseorang berdiri di teras.
Seorang perempuan.
Dia berdiri dengan tangan saling menggenggam di depan, ekspresinya terlihat ragu seolah sedang menunggu sesuatu.
Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali wajahnya. Begitu dia membalikkan badan, aku langsung terdiam.
Wajah itu ... aku kenal.
Seketika, tenggorokanku terasa kering.
“Maaf, ini rumah Marlino, bukan? Atau saya salah rumah?”
Aku tidak langsung menjawab. Napasku sedikit tercekat.
Gak salah lagi.
Dia cewek itu.
Masa lalunya Om Lino.
“Apa ada tamu, Jihan?”
Suara Om Lino dari belakang membuatku menoleh refleks. Tapi sebelum aku sempat menjawab, perempuan itu sudah lebih dulu bereaksi.
“Kak Lino!”
Dia langsung melewati aku, berlari kecil ke arah Om Lino dengan wajah berbinar.
Aku menoleh cepat, ingin melihat bagaimana reaksi Om Lino.
Dan ternyata ... bukan cuma aku yang kaget.
Om Lino bahkan lebih syok.
Matanya melebar, rahangnya mengeras. Ada sesuatu dalam sorot matanya—kaget, bingung, dan ... panik?
Tiba-tiba, udara terasa lebih berat.
Aku gak tahu apa yang terjadi di masa lalu mereka, tapi entah kenapa saat ini, aku merasa seperti harus menyelamatkan Om Lino dari perempuan itu.
Aku yakin ini ada hubungannya dengan trauma yang pernah diceritakan Kak Hans waktu itu.
“Kak Lino … I miss you so badly.”
Aku menelan saliva susah payah.
Ingin bergerak tapi pemandangan itu membuat tubuhku membeku. Perempuan itu—Dania—memeluk Om Lino erat, seolah takut kehilangan lagi. Tangannya bahkan mencengkeram punggung kemeja Om Lino, sementara wajahnya menekan dada bidangnya.
Sementara itu, Om Lino membeku. Tatapannya kosong untuk beberapa saat, seolah pikirannya ditarik kembali ke masa lalu yang ingin dia lupakan.
Aku menggigit bibir. Entah kenapa jantungku ikut berdetak cepat.
Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, Om Lino akhirnya sadar dari keterkejutannya. Dengan gerakan cepat, dia menarik diri dari pelukan Dania.
“Kamu ... kenapa bisa ada di sini?” suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya.
Dania menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kak ....”
“Kenapa tiba-tiba kembali? Kenapa mendatangi saya lagi?”
Dania menghela napas. “Aku udah bilang, kan? Aku kangen sama kamu.”
Jantungku mencelos mendengar nada lembut di suara Dania.
“Bertahun-tahun aku nahan diri buat nggak nemuin kamu dan sekarang aku udah di ambang batas. Aku nggak bisa ngelupain kamu.” tatapannya meredup, penuh kepedihan. “Itu sebabnya aku kembali, Kak Lino. Aku mau sama Kakak lagi.”
Om Lino tertawa pelan—bukan tawa bahagia, lebih ke sesuatu yang getir. Bahkan sorot matanya sangat berbeda dari biasanya. “Konyol ....”
“Kak—”
Tanpa menunggu Dania menyelesaikan ucapannya, Om Lino berbalik dan masuk ke rumah dengan langkah cepat.
Dania refleks melangkah maju untuk mengejarnya, tapi aku segera menghadangnya.
“Mau ke mana, ya, Kak?” tanyaku, menyilangkan tangan di dada.
Dania mendongak, alisnya bertaut. “Tolong biarin gue masuk. Gue harus nemuin Kak Lino. Gue harus ngobrol sama dia.”
“Untuk apa?”
“Tentu aja untuk memperbaiki hubungan gue dan Kak Lino.”
Mataku menyipit. Tapi dia malah mendorong tubuhku. “Udahlah, tolong jangan ikut campur. Minggir.”
Aku terkekeh sinis. Mempertahankan posisiku. “Kenapa gue nggak boleh ikut campur?”
Dania menatapku dengan sorot tak sabar. “Lo nggak ngerti apa-apa, jadi—”
“Gue berhak melarang lo nemuin dia.”
Matanya menyipit tajam. “Lo apa-apaan, sih? Udah dibilang jangan ikut camp—”
“Gue istrinya.”
Dania membeku. Tatapannya penuh keterkejutan, seolah dia baru saja mendengar sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
“Apa?” bisiknya, terdengar nyaris tidak percaya.
Aku tersenyum tipis. “Menurut lo kenapa gue ada di sini? Lo nggak lihat gue baru aja pulang bareng Om Lino dan bakal masuk ke rumah ini juga?”
“Kenapa? Karena gue memang tinggal di sini. Dan Om Lino adalah suami gue,” lanjutku penuh percaya diri—walau aslinya dalan hati tidak.
Dania mundur selangkah, seperti baru saja mendapat pukulan telak. “Are you kidding me? Kak Lino menikah? Gak mungkin!”
Aku mengangkat bahu santai. “Tapi ini kenyataannya.”
Perempuan itu menggeleng, masih berusaha menyangkal. “Gak, gak mungkin. Dia nggak akan menikah dengan perempuan lain karena—”
“Tapi itu yang terjadi.”
Aku menatapnya lurus.
“Lo percaya atau nggak, terserah. Tapi kenyataan nggak bisa diubah. Dia suami gue. Kita udah nikah.”
Dan detik itu juga, ekspresinya berubah. Tatapannya yang awalnya terkejut berubah tajam.
“Lo siapa sebenarnya, huh?”
Aku hanya tersenyum tipis, tanpa niat menjawab pertanyaan itu. Tapi dia memaksa.
“Gue tanya, lo siapa?!”
“Udah gue bilang, kan?” Aku menyandarkan tubuh ke pintu. “Gue istrinya pemilik rumah ini.”
Mataku berkilat tajam. “Jadi, silakan pergi karena seperti yang lo lihat tadi, suami gue nggak mau nemuin lo.”
Tanpa menunggu jawaban, aku mendorong pintu dan menutupnya.
Klek!
Kunci kuputar.
Aku menarik napas dalam, berusaha mengendalikan degup jantung yang tidak karuan.
Tanganku menggenggam erat kaus yang kupakai.
Aku … baru aja bilang apa barusan?
Entah aku dapat keberanian dari mana sampai bisa ngomong kayak gitu.
Setelah merasa lebih tenang, aku berjalan menuju kamar Om Lino. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja.
Tok tok tok!
“Om ....” suaraku pelan, ragu-ragu. “Om Lino, saya boleh masuk?”
Tak ada jawaban.
Aku menempelkan telinga ke pintu, berusaha mendengar suara dari dalam. “Perempuan tadi udah pergi kok, Om.”
Tetap hening.
Rasa khawatir mulai menjalari dadaku. Aku menelan ludah dan tanpa menunggu izin, memutar gagang pintu. Untungnya, tidak dikunci.
Perlahan aku melangkah masuk.
Om Lino duduk di pinggir ranjang, kepalanya tertunduk, satu tangannya menekan pelipis. Pundaknya turun naik, seperti sedang berusaha mengatur napas.
Dia kelihatan pusing.
Aku menutup pintu dengan hati-hati, lalu mendekatinya. Tangan kananku terulur, ragu-ragu menyentuh pundaknya.
“Om Lino ....” suaraku lirih. “Om nggak papa?”
Dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan sorot mata lelah. Senyum tipis tersungging di bibirnya, tapi samar, hampir tak terlihat.
“Tidak apa-apa.”
Aku mengernyit. “Beneran?” tatapanku mengamati wajahnya. “Tapi Om kelihatan pucat. Terus ... kenapa jadi keringetan gini?”
Tanpa sadar, tanganku bergerak mengusap peluh di pelipisnya.
Aku menggigit bibir. Dari dekat, aku bisa melihat jelas bagaimana ia berusaha terlihat baik-baik saja, padahal jelas sebaliknya.
“Kenapa, Om?” tanyaku pelan. “Karena perempuan tadi?”
Om Lino terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang.
“Dia ... mantan Om, kan?”
Ekspresinya sedikit berubah. Sorot matanya menyiratkan keterkejutan, seolah bertanya-tanya dari mana aku tahu.
Tapi dia tetap diam. Mungkin untuk sekadar mengiyakan pun sulit baginya.
Aku mengembuskan napas pelan. “Om baik-baik aja?”
“Saya baik-baik saja, Jihan.”
Aku tersenyum kecut. Yaah ... mau gimana lagi, untuk hal kecil aja Om Lino nggak mau terbuka, apalagi kalau masalah besar.
Aku menatapnya sendu. Sungguh, aku ikut sedih melihatnya seperti ini.
Aku penasaran—apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?
Tiba-tiba, Om Lino menggenggam tanganku. Lalu memanggilku dengan suara lirih, “Jihan ....”
Aku menatapnya heran. “Iya, Om?”
Dia menatap tangannya sendiri yang membungkus tanganku, sebelum akhirnya berbicara lagi, “Maafkan saya ....”
Aku mengerjap. “Minta maaf untuk apa?”
Tak ada jawaban.
Aku menunggu dengan sabar, berharap dia akan melanjutkan. Tapi Om Lino malah terdiam, ekspresinya semakin sulit diterjemahkan.
Tangan kami masih saling menggenggam. Aku bisa merasakan betapa eratnya cengkeramannya—seakan aku adalah satu-satunya pegangan yang tersisa.
Aku lantas duduk di sebelahnya, lalu tanpa ragu, memeluknya.
Aku tidak tahu pasti, tapi ... sepertinya Om Lino memiliki anxiety.
Terbukti saat aku memeluknya, dia langsung membalas dengan erat—seolah dia memang butuh seseorang untuk menenangkannya saat ini.
“Om ....” aku berbisik lembut di telinganya, “Gak papa, ya? Semuanya baik-baik aja.”
Aku nggak tahu kalimat macam apa yang bisa menenangkan orang seperti dia. Jadi, aku hanya bisa mengusap punggungnya, memberi kenyamanan sebisaku.
“Maafkan saya, Jihan ....” suaranya terdengar teredam di bahuku. “Maafkan saya ....”
Aku mengernyit. Om Lino ngapain minta maaf terus? Emangnya dia salah apa? Apa dia mikir kalau aku cemburu?
Sepertinya begitu.
Aku menghela napas, lalu menepuk punggungnya pelan. “Iya, nggak papa, Om. Saya nggak marah kok.”
Bukannya merasa lega, Om Lino justru mempererat pelukannya.
“Saya benar-benar minta maaf ....”
“Saya berjanji akan memberitahu kamu suatu hari nanti.”
Aku seketika terdiam.
Loh, apa maksudnya?