Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.
Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Di sebuah ruangan yang lantainya dilapisi karpet merah merona, seorang pria bertubuh pendek dengan rambut yang sudah mulai menipis terlihat sedang dilanda kepanikan. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya, matanya menerawang, dan napasnya terasa berat.
Dia adalah Wayan Cipta Danendra, Bupati Tabanan yang masih memimpin hingga sekarang. Saat ini, kepanikannya memuncak setelah menerima kabar dari bawahannya kalau Pasukan Badung yang bersenjata lengkap ingin bertemu secara langsung dengannya.
“Sialan! Apa yang diinginkan orang-orang Badung itu? Apa mereka datang menuntut ganti rugi karena ulah warga-warga bodoh itu?” Gumamnya lirih sambil menggigit jempolnya hingga berwarna kemerahan. Pikirannya tak henti-henti berputar kencang menduga alasan Pasukan Badung datang ke sini.
“Apa yang harus kita lakukan, Pak?” Tanya salah satu bawahannya dengan suara gemetar, mencoba menahan rasa takut yang sama.
“Haruskah kita mengumpulkan pasukan untuk melawan mereka?” Sambung bawahannya yang lain, dengan nada yang sedikit lebih berani, meski matanya masih menyiratkan keraguan.
Cipta menatap mereka dengan pandangan tajam, lalu menghentakkan kaki kecilnya ke lantai. “Bodoh! Kalaupun kita melawan dengan seluruh prajurit yang kita punya, hasilnya pasti kekalahan! Kau tidak dengar apa dia bilang? Mereka membawa senjata api!” Omelnya sambil menunjuk ke arah salah satu anggota Pasukan Keamanan yang memberikannya informasi tadi. Suaranya menggema di ruangan itu, membuat semua orang terdiam.
Tiba-tiba, Brak! Pintu ruangan terbanting dengan keras. Seorang lelaki dengan wajah pucat dan napas terengah-engah muncul di ambang pintu.
“Mereka sudah sampai di sini!” Teriaknya dengan suaranya serak dan hampir kehabisan napas.
Ruangan itu pun seketika menjadi sunyi, hanya terdengar desahan napas dan detak jantung yang berdegup kencang. Cipta menatap ke arah pintu. Matanya membesar dan rasa panik yang semula hanya menggelitik kini berubah menjadi badai yang siap menerjang.
...***...
Di halaman Kantor Bupati Tabanan, Aryandra bersama pasukan Badung terlihat sedang meregangkan badan sembari menunggu kedatangan Cipta. Udara dingin pagi hari berbaur dengan ketegangan yang terasa di antara mereka. Beberapa orang Pasukan Keamanan Tabanan berjaga dengan sikap waspada, mengawasi setiap gerak-gerik pasukan Badung yang bersenjata lengkap.
Tak lama setelah mereka tiba, Cipta muncul dengan langkah cepat. Wajahnya terlihat tegang, namun ia berusaha menutupinya dengan senyum ramah. Ia dituntun oleh salah seorang Pasukan Keamanan menuju Aryandra.
“Om Swastyastu, Anda pasti Pak Cipta, ya?” Sapa Aryandra dengan sopan, sambil mengulurkan tangan.
Cipta segera menjabat tangan Aryandra dengan erat, meskipun sedikit gemetaran. “Ahaha, iya. Anda pasti orang yang memimpin Badung saat ini, kan?”
“Benar, nama saya Aryandra. Saat ini, saya dipercaya masyarakat Badung untuk memimpin mereka.” Jawab Aryandra dengan sikap tenang dan penuh wibawa.
“Aryandra…?” Cipta tertegun sejenak. Matanya menyipit seolah mencoba mengingat sesuatu. “Jangan-jangan, Anda adalah cucu dari Raja Badung sebelumnya?” Tanyanya penasaran.
Mata Aryandra seketika membelalak karena terkejut. Ia tak menyangka bahwa Cipta mengenali latar belakangnya. “Wah, Anda mengenali saya?” Tanyanya balik dengan senyuman kecil di ujung bibirnya.
“Tentu saja! Dulu aku berteman baik dengan almarhum kakekmu semasa hidupnya.” Jawab Cipta dengan wajah berbinar seakan sedang mengenang masa lalu. “Wah, kau sudah jadi orang yang hebat, ya. Di usiamu yang masih sangat muda seperti ini, kau berhasil menjadi pemimpin kepercayaan masyarakat Badung.”
“Ahahaha, ya begitulah.” Aryandra tertawa ringan, mencoba untuk merendah.
Keduanya tertawa bersama, namun jabat tangan mereka tetap erat seperti dua pejabat yang saling mengukur kekuatan. Cipta akhirnya melepaskan genggamannya dan menatap Aryandra dengan pandangan yang lebih serius.
“Lalu, ada urusan apa kau jauh-jauh datang ke sini, nak?” Tanyanya dengan nada suara yang berubah jadi lebih tegas.
Tensi di antara mereka pun meningkat. Senyum ramah Cipta perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi datar yang penuh pertanyaan.
“Begini, beberapa hari yang lalu, daerah Mengwi dijarah oleh beberapa orang dari Kediri. Setelah mendapat informasi dari para penjarah itu, saya mengetahui bahwa Tabanan sedang tidak baik-baik saja. Karena itulah saya datang untuk menawarkan perjanjian yang bisa saling menguntungkan kita berdua.” Jelas Aryandra.
“Perjanjian?” Cipta menaikkan salah satu alisnya dengan curiga. “Bisa kau jelaskan dulu perjanjiannya seperti apa?”
“Perjanjiannya sederhana saja. Saya akan meminjamkan Anda 500 prajurit untuk membantu melindungi wilayah Tabanan. Sebagai gantinya, Anda hanya perlu memperlakukan masyarakat Tabanan dengan baik agar mereka tidak melakukan penjarahan ke daerah lain.” Ujar Aryandra menatap langsung ke arah Cipta.
Cipta terdiam sejenak. Wajahnya berkerut seolah sedang memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Tiba-tiba, sebelum ia sempat menjawab, suara teriakan memecah keheningan.
“TOLONG!” Semua kepala menoleh ke arah suara itu.
Seorang anggota Pasukan Keamanan Tabanan yang terluka parah terlihat sedang dibopong oleh dua rekannya. Kedua pundaknya tertancap panah, serta bagian pinggangnya berlubang seperti tertembus peluru. Pakaiannya dikotori oleh noda darah yang sudah mengering, membuat beberapa orang yang melihatnya merasa ngeri.
“Izin melapor, Pak!” Teriak orang itu dengan napas tersengal-sengal. “Desa di bagian utara wilayah Penebel… diserang oleh kelompok tak dikenal!”
“Apa?!” Cipta terkejut dan wajahnya menjadi pucat. Namun, beberapa saat kemudian, matanya menjadi berbinar seolah mendapatkan ide brilian. Ia segera menoleh ke Aryandra dengan cepat.
“Aryandra!” Panggilnya dengan suara mendesak. “Oke, aku setuju untuk membuat perjanjian denganmu. Tapi sebelum itu, bisa kau tolong kami untuk mempertahankan desa itu? Kami benar-benar kekurangan pasukan. Aku mohon, bantulah kami!” Pinta Cipta dengan nada suara yang memelas.
“Cih, mana bisa. Perjanjiannya kan belum—” Alex mencoba menolak, namun Aryandra dengan cepat menyela.
“Baik, akan kami bantu.” Ujar Aryandra tegas, memotong ucapan Alex.
Alex mengerutkan kening. Wajahnya terlihat kesal, namun ia tak berani membantah.
“Kalau begitu, kita susun perjanjian tertulisnya setelah aku kembali. Kami akan langsung pergi sekarang.” Ucap Aryandra dengan tegas dan berani.
“Baiklah, kembalilah dengan selamat!” Ucap Cipta dengan nada rendah dan tergesa-gesa.
Setelah mendapatkan lokasi persisnya, Aryandra segera mengkoordinasikan pasukan Badung. Beberapa anggota pasukannya terlihat tidak senang dengan keputusan ini, termasuk Alex. Namun, mereka tetap patuh dan berangkat bersama Aryandra.
Di sisi lain, Cipta yang melihat pasukan Badung pergi, merasa sedikit lega. “Hmph! Dengan begini, dua masalah bisa selesai dalam satu kali kerja.” Gumamnya sambil tersenyum licik. Ia lalu mengangguk puas dengan ekspresi wajah yang jahat.
“Jadi anda berencana mengadu pasukan Badung dengan kelompok penjarah itu, ya?” Tanya salah seorang bawahan yang ada di belakangnya. “Sayang sekali, padahal 500 pasukan tambahan itu adalah jumlah yang lumayan.” Sambung bawahannya yang lain.
“Bodoh!” hardik Cipta dengan suara dingin. “Di situasi krisis seperti ini, tidak ada namanya perjanjian yang saling menguntungkan. Manusia hanya menjadi serigala bagi manusia lain.”
...***...
Di bawah perintah Aryandra, Pasukan Badung bergerak menuju desa yang dijarah. Mereka menyusuri jalanan aspal yang melintasi kota, sawah, dan hutan yang rimbun. Suasana tegang terasa di antara Pasukan Badung, meski langkah mereka tetap teratur dan mantap.
Selama perjalanan, Alex terus mengomel tentang keputusan Aryandra. Wajahnya masam dan suaranya penuh dengan kekesalan.
“Aryandra, aku tidak tahu kalau kau begitu polos.” Ucapnya sambil menggelengkan kepala. “Membantu Tabanan untuk mengusir para penjarah sebelum perjanjiannya ditulis adalah sesuatu yang sangat bodoh! Aku beri tahu kau, ketika kita kembali dengan kondisi terluka parah, si tua itu pasti akan pura-pura lupa dengan perjanjiannya dan menghabisi kita seketika!” Tambahnya dengan suara meninggi.
Aryandra hanya tersenyum seperti biasa. Wajahnya tetap tenang seolah omelan Alex tak menggoyahkan keyakinannya.
“Hah…” Alex menghela nafas untuk meredakan amarahnya. “Sorry, itu cuma luapan kekesalanku saja. Aku harap pasukan kita di belakang merasa terwakilkan.” Ucapnya sambil melirik Aryandra di sampingnya.
“Tidak masalah. Lagipula, para penjarah itu tidak akan bisa mengalahkan kita.” Balas Aryandra dengan keyakinan penuh.
“Benarkah? Darimana kau tahu?” Tanya Alex, matanya menyipit penuh keraguan.
Aryandra mendongak ke langit untuk menatap cakrawala yang luas. “Selama kita berdoa dan memohon kepada Tuhan, semuanya pasti baik-baik saja.” Ucapnya dengan suara lembut, namun penuh keyakinan.
Alex yang mendengar itu pun menghela napas panjang. “Kau itu terlalu naif. Tapi, entah bagaimana kau bisa membuat kami bertahan hidup sampai sekarang.” Gumamnya sambil menundukkan kepala dengan perasaan setengah kagum, setengah kesal.
Setelah berjalan lebih dari satu setengah jam, Pasukan Badung beristirahat di bawah pepohonan rindang. Mereka meregangkan kaki sembari menyantap kentang rebus sebagai makan siang. Beberapa dari mereka terlihat mengobrol satu sama lain, namun ada juga yang tidur siang untuk melepas penat. Meski suasananya terlihat santai, mereka tetap menjaga kewaspadaan.
Sementara pasukannya beristirahat, Aryandra mencari tempat yang lebih sunyi untuk berdoa. Di sisi lain, Alex menyuruh salah satu prajuritnya untuk memanjat pohon dan mengamati lingkungan sekitar dengan teropong.
“Sepertinya sisa perjalanan kita akan melewati jalur yang penuh pepohonan. Sangat sulit untuk melihat musuh karena daun-daun mereka yang rindang. Maka dari itu, kita harus tetap waspada.” Lapor prajurit pengintai itu setelah turun.
Alex mengangguk dengan wajah serius. Ia segera berkumpul kembali dengan pasukannya untuk beristirahat bersama.
Setelah rehat sejenak, Pasukan Badung kembali bergerak. Mereka menyusuri aspal yang diapit pepohonan lebat dengan dedaunan menari diterpa angin. Tak ada satu pun rumah warga yang terlihat di sepanjang jalan ini. Suasananya sangat tenang, ditemani dengan kicauan burung yang merdu di siang hari.
Setelah mereka berhasil keluar dari jalur berhutan itu, pemandangan spektakuler seketika menyambut mereka. Terasering sawah yang luas dan indah sukses membuat mata Pasukan Badung membelalak karena terpukau.
Seharusnya lahan ini ditanami padi, tetapi karena suhu yang terlalu dingin, para petani menggantinya dengan kentang. Pemandangan itu sejenak mengalihkan perhatian mereka dari misi berbahaya yang menanti.
Saat sedang asik menikmati pemandangan, Aryandra tidak sengaja melihat hidung Alex yang berkedut-kedut seolah mengendus sesuatu.
“Hidung tajammu mencium sesuatu?” Tanya Aryandra menoleh ke arah Alex.
“Iya, aku mencium bau bangkai. Sepertinya lokasinya cukup dekat dengan kita.” Jawab Alex dengan wajahnya berkerut.
Benar saja, ketika sampai di sebuah perempatan, mereka menemukan tumpukan mayat di sisi kanan dan kiri jalan. Melihat rompi hitam dengan aksen merah yang dikenakan, mayat-mayat itu sepertinya adalah Pasukan Keamanan Tabanan. Beberapa mayat tewas tertancap panah, sementara yang lain menderita luka tembak di kepala dan leher.
“Para penjarah ini sepertinya bukan orang-orang biasa, ya.” Gumam Alex rendah dengan sedikit kekaguman.
“Semuanya, musuh kita sepertinya memiliki senjata api. Maka dari itu, aku mohon untuk tetap waspada dan pastikan senjata berada di tangan kalian!” Himbau Aryandra tegas.
Tiba-tiba, dari arah depan, seorang penunggang kuda berjubah hitam melaju kencang menuju arah mereka. Ia menghentikan kudanya tepat di hadapan Pasukan Badung. Wajahnya yang misterius tersembunyi di balik tudung jubahnya.
“Selamat sore, semuanya! Mohon maaf karena mengganggu perjalanan kalian, tapi desa ini sekarang sudah jadi wilayah kekuasaan Monasphatika.” Ujarnya dengan suara lantang dan penuh ancaman.
“Monaspathika?” Celetuk Alex, alisnya naik penuh tanda tanya.
“Kalau kalian adalah kawanan pengembara yang hanya ingin sekadar lewat, maka izinkan aku untuk menuntun kalian keluar dari sini. Akan tetapi, kalau kalian adalah bagian dari Pasukan Tabanan…” Orang itu tiba-tiba menghunus pedangnya yang berkilau diterpa sinar matahari. “Aku khawatir akan ada pertumpahan darah di sini.” Ancamnya dengan nada congkak.
Aryandra maju beberapa langkah, menatap langsung ke arah orang itu. “Kami adalah Pasukan Badung. Kami berada di sini untuk membantu masyarakat Tabanan yang sedang berada dalam situasi terpuruk.” Ujarnya tenang, namun juga tegas. “Kami juga tidak menginginkan pertumpahan darah di sini. Maka dari itu, aku memohon padamu untuk segera pergi dari sini dan biarkan wilayah ini menjadi milik Tabanan lagi.”
Orang itu terdiam sejenak dan matanya menatap tajam Aryandra. “Aku menolak” Ucapnya dingin. “Kalau tetap ngotot, aku pastikan kalian semua akan berakhir seperti mereka.” Ancamnya sambil menunjuk tumpukan mayat di samping jalan.
Alex yang mendengar itu tak bisa menahan diri. Ia melangkah maju dengan wajahnya merah padam. “Siapa kau berani mengancam kami seperti itu, hah?” Tanyanya menggelegar penuh amarah.
Orang itu tersenyum sinis, lalu membuka tudung jubah yang menutupi wajahnya. “Aku Indra Bhupendra, pemimpin Monaspathika.”
Ilustrasi Tokoh:
...Wayan Cipta Danendra...