🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Dirawat oleh Suami
Langit-langit dan dinding bercat putih dengan lampu temaram menjadi pemandangan pertama yang dilihat Hafsa saat ia membuka mata.
Suara dua orang yang sedang berbicara terdengar dari sebelah kanannya, tampak sedang berargumen.
" Ini istri saya nggak bangun-bangun sampai sekarang gimana Sus?" suara Gus Sahil terdengar samar-samar.
"Sabar ya Bapak. Dokter sudah memastikan kalau kondisi pasien baik-baik saja, kita tinggal menunggu istri Anda sadar dulu untuk diperiksa kondisinya lebih lanjut,"
"Ya nggak bisa begitu dong Sus, kalau istri saya kenapa-kenapa gimana? Puskesmas ini mau tanggung jawab?
"Gus?" suara Hafsa memanggil lemah. Gus Sahil sontak menghentikan diskusinya dengan sang suster, segera mendekati Hafsa.
"Kamu sudah sadar Sa? Apanya yang sakit? Kamu pusing? Sudah makan apa belum tadi?"
Hafsa tergagap mendengar Gus Sahil memberondong sederet pertanyaan, bingung mau menjawab yang mana dulu.
"Saya tidak apa-apa Gus,"
"Tidak apa-apa kok pingsan," Gus Sahil berdecak, "Itu dokternya sudah datang, coba kamu bilang sama dia keluhannya apa,"
Hafsa mengangguk. Seorang wanita paruh baya tampak masuk ke dalam ruangan.
"Bagian mana yang sakit Ibu?" tanya dokter itu. Memeriksa dengan stetoskop.
"Perut saya dari tadi pagi sakit Dok, sepertinya karena datang bulan,"
"Mens hari pertama? Apa biasanya memang sakit seperti ini?"
"Tidak Dok, baru kali ini rasanya sakit sekali,"
Bu Dokter kemudian mencatat beberapa keluhan Hafsa, berbicara tentang resep obat pada perawat yang mendampinginya.
"Untuk sementara, saya kasih obat pereda nyeri dulu ya. Kalau dalam tiga hari tidak ada perubahan, harus segera diobservasi ke rumah sakit,"
Hafsa mengangguk lagi, "Baik Dok,"
"Mari pak, ikut saya untuk mengurus administrasinya,"
"Oke Sus," Gus Sahil mengikuti ajakan suster, menoleh pada Hafsa terlebih dulu sebelum keluar, "Aku tinggal dulu, kamu istirahat saja disini,"
Hafsa merasa tubuhnya terlalu lesu, sehingga dia hanya diam dan mengangguk.
Tak seberapa lama, Gus Sahil kembali dengan satu kantong plastik besar di tangannya.
"Ini, kantong air panas untuk dikompres di perut," Gus Sahil menyerahkan sebuah benda.
"Aku juga beli buah-buahan yang sekiranya bisa meredakan nyerinya,"
"Nggak usah repot-repot Gus," Hafsa terheran-heran melihat banyaknya isi kantong belanja itu.
"Gus tadi beli ini juga?" Hafsa mengeluarkan tiga merek pembalut yang ada di dalam kantong, "Ini banyak sekali, untuk apa?"
"Ya siapa tahu kamu butuh," Gus Sahil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku beli banyak karena nggak tahu kamu biasanya pakai yang mana. Kalau belum butuh ya disimpan dulu saja, untuk bulan depan,"
Hafsa tertawa melihat ekspresi bingung Gus Sahil, ia tidak bisa membayangkan suaminya memilih sendiri pembalut di supermarket.
"Terimakasih Gus," ucapnya tulus.
"Sama-sama," Gus Sahil menjawab canggung, baru kali ini ia melihat istrinya tertawa seperti itu.
Pintu kamar terbuka, petugas puskesmas membawakan makanan untuk Hafsa.
"Silahkan dimakan dulu Ibu, lalu setelah itu diminum obatnya,"
Hafsa menurut. Ia kemudian berpindah posisi dari berbaring menjadi duduk bersandar pada kepala ranjang.
Gus Sahil memperhatikan Hafsa yang tangannya tertancap jarum infus, merasa ngeri kala tangan itu bergerak-gerak.
"Sini Sa," Gus Sahil mengambil kotak makan stainless dari tangan Hafsa. "Kalau susah, biar tak suapin,"
"Eh jangan Gus!" Hafsa sampai duduk tegap saking terkejutnya. "Saya masih bisa kok makan sendiri,"
"Coba kamu lihat, tanganmu itu masih diinfus. Kalau gerak terus, nanti darahnya naik, bisa bahaya! Sudah, sekarang kamu nurut saja. Sini buka mulutnya, aaa.."
Meski ragu-ragu, Hafsa membuka mulutnya. Dengan sabar, Gus Sahil menyuapinya makanan sesendok demi sesendok.
Pada saat itu, hati Hafsa rasanya seperti dibawa pergi ke atas langit, melayang-layang saking senangnya.
...----------------...
Sorenya, Hafsa sudah diperbolehkan pulang karena keadaan tubuhnya sudah membaik. Sebenarnya Gus Sahil bersikeras ingin Hafsa tinggal lebih lama, tapi kemudian mengalah karena diyakinkan oleh Hafsa.
"Kamu yakin sudah sehat?" Gus Sahil bertanya sekali lagi saat mereka berjalan keluar dari puskesmas.
Hafsa mengangguk. Wajahnya masih pucat, tapi senyumnya merekah.
"Yasudah, karena besok kita ada perjalanan jauh, sekarang langsung ke hotel saja buat istirahat,"
"Anu Gus.." Hafsa berkata lirih, ragu-ragu berucap.
Gus Sahil menoleh dengan tatapan bertanya, "Ada apa Sa?"
"Itu.. Karena hari ini kan hari terakhir kita disini, mau tidak njenengan temani saya jalan-jalan ke pantai?"
Gus Sahil melihat ke arah laut yang mulai disinari matahari senja. Ia kemudian memandang ke arah Hafsa yang menunggunya dengan tatapan penuh harap.
"Sebentar saja ya," ucap Gus Sahil mengalah.
...----------------...
Gus Sahil dan Hafsa berjalan beriringan di pinggir pantai. Deburan ombak yang tenang serta pemandangan matahari terbenam membuat suasananya menjadi tentram. Hafsa berkali-kali melirik ke arah Gus Sahil, tersenyum-senyum sendiri.
"Terimakasih ya Gus," ucap Hafsa kemudian.
"Kamu itu sudah bilang terimakasih padaku berulang-ulang Sa," Gus Sahil menggelengkan kepalanya. "Mau sampai kapan berterimakasih terus?"
Hafsa tersenyum. "Tapi njenengan pinter loh Gus merawat orang sakit, buktinya saya langsung sembuh dirawat njenengan,"
"Lebay kamu," Gus Sahil tertawa. "Aku cuma menemani kamu saja. Yang merawat kamu itu dokter sama suster,"
"Tapi jarang loh Gus ada orang yang tahu cara merawat orang sakit. Gus tadi juga sampai menyuapi saya segala, rasanya seperti sudah biasa,"
"Kalau itu, karena dulu biasa merawat Umi di rumah sakit," Gus Sahil menjawab sembari memandang ke arah matahari terbenam. "Dulu, waktu Umi harus bolak-balik kontrol ke rumah sakit, aku pasti ikut. Aku menemani Umi berjuang melawan penyakitnya, menyemangati Umi supaya lekas sembuh. Aku juga selalu menyuapi Umi, makanya aku sudah pintar kalau cuma begitu. Kamu nggak usah terlalu berterimakasih, itu kan sudah tanggungjawab ku sebagai suamimu,"
Hafsa menoleh ke arah Gus Sahil yang sedang tersenyum. Ah, ternyata di pipi Gus Sahil ada lesung pipit. Kalau saja Gus Sahil bisa selalu tersenyum begitu, alangkah bahagia dirinya.
Sinar matahari yang semakin condong ke arah barat membuat bayangan mereka terlihat semakin panjang. Diam-diam, Hafsa memposisikan bayangan tangannya berdekatan dengan Gus Sahil, membuat mereka seolah bergandengan. Tentu saja itu hanya dilakukan diam-diam, karena ia terlalu takut untuk memintanya langsung.
"Kamu sedang apa Sa?" Gus Sahil menoleh ke arah Hafsa yang sedang asyik sendiri. "Mau pulang sekarang?"
Hafsa buru-buru menyembunyikan kedua tangannya ke belakang. Raut wajahnya terlihat kecewa. Ia merasa sayang jika harus cepat pulang. Hafsa tidak tahu kapan lagi akan menikmati momen seperti ini, maka tiba-tiba sebuah ide jail terlintas di kepalanya.
Hafsa mengayunkan kakinya ke depan, membuat air laut terciprat ke arah Gus Sahil. Gus Sahil yang merasa terkejut karena pakaiannya tiba-tiba basah lantas membalas. Ganti menyipratkan air pada Hafsa.
Untuk beberapa lama, dua sejoli itu berlarian di sepanjang pantai, saling berlomba membuat basah pakaian satu sama lain. Mengukir pasir pantai dengan jejak-jejak dari kaki telanjang mereka. Tawa riang mereka terdengar di antara deru ombak dan matahari senja menciptakan suasana menjadi lebih indah.
Meski hanya sebesar biji apel, Hafsa berharap hati Gus Sahil akan mulai melihat ke arahnya sejak saat itu.