Hai pembaca!
Kali ini, saya akan membawa Anda ke dalam sebuah kisah yang terinspirasi dari kejadian nyata, namun dengan sentuhan kreativitas yang membuatnya semakin menarik. Simaklah cerita tentang Halimah, seorang wanita yang terjebak dalam badai cinta, kekerasan, dan teror yang mengancam jiwa.
Semuanya bermula ketika Halimah bertemu dengan seorang pria misterius di media sosial. Percakapan mereka berlanjut ke chat pribadi, dan tak disangka, suami Halimah menemukan bukti tersebut. Pertengkaran hebat pun terjadi, dan Halimah dituduh berselingkuh oleh suaminya.
Halimah harus menghadapi cacian dan hinaan dari keluarga dan tetangga, yang membuatnya semakin rapuh. Namun, itu belum cukup. Ia juga menerima teror dan ancaman, bahkan dari makhluk gaib yang membuatnya hidup dalam ketakutan.
Bagaimana Halimah menghadapi badai yang menghantamnya? Apakah ia mampu bertahan dan menemukan kekuatan untuk melawan? Ikuti kisahnya dan temukan jawabannya. Jangan lewatkan kelanjutan cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DODIAKSU 05
Rafandra akhirnya tiba di depan rumah mbahnya yang sederhana namun penuh kehangatan. Rumah berdinding kayu dan beratapkan genteng itu tampak begitu asri, dengan halaman yang dipenuhi hamparan bunga warna-warni. Setiap bunga terawat dengan baik, hasil sentuhan mbah Rafandra yang masih menyukai berkebun. Bahkan, pekarangan rumahnya juga dijadikan sebagai kebun sayuran yang dikelola bersama menantunya.
Rafa langsung mematikan mesin motor dan bergegas turun. Ia memasuki halaman rumah dengan tergesa-gesa, seolah tidak sabar untuk bertemu dengan mbahnya. Begitu tiba di depan pintu, ia langsung membuka pintu dan masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam, meninggalkan pintu yang terbuka lebar.
"Mbah!" teriak Rafa dengan nada yang mengandung kecemasan.
Seorang wanita keluar dari dalam kamar, dia adalah Bibi Fauzanha , adik ipar dari ibu Rafa. "Nyapo to, Le?" ucapnya dalam bahasa Jawa, dengan nada yang mengandung kekhawatiran.
"Mbah mana, Bik?" tanya Rafa dengan panik, matanya berkeliling mencari keberadaan mbahnya.
"Mbahmu ada di dapur, kayaknya," tutur Fauzana yang biasa di panggil dengan Anha, dengan wajah yang mulai terlihat khawatir.
Tanpa berkata lagi, Rafa segera menghampiri dapur, langkahnya cepat dan tergesa-gesa. Ia melihat mbahnya tengah memasak sesuatu di atas kompor, dengan asap yang mengepul.
Rafa mendekati mbahnya perlahan, "Mbah..." panggilnya lirih, dengan suara yang bergetar.
"Ayok ke rumah sebentar," ajak Rafa, dengan mata yang memohon.
Mbah Rafa berbalik, wajahnya terlihat penasaran, "Loh, onok opo to, Le?" tanyanya, dengan nada yang mengandung keingintahuan.
Anha ikut menyusul Rafa ke dapur, ia juga merasa khawatir saat melihat Rafa yang begitu gelisah. Ia mengikuti dari belakang, dengan mata yang terus memantau situasi.
"Mak e lo, mbah..." ucap Rafa dengan logat Jawa yang kental, suaranya terdengar cemas dan bergetar.
"Dia ngamuk-ngamuk, mau bunuh diri, mbah!" tambahnya, dengan mata yang terlihat panik.
Seketika itu juga, si Mbah langsung melepas spatula yang masih dipegangnya dan mematikan kompor. Tanpa ragu-ragu, ia bergegas pergi ke rumah Rafa, dengan langkah yang tergesa-gesa.
"Kok bisa to, Le?" ucapnya sambil berjalan, dengan nada yang mengandung kekhawatiran.
"Ada masalah apa sampe mamakmu nekat gitu?"
Mbah berjalan sambil terhuyung-huyung, seolah-olah tidak bisa menahan kecemasannya.
"Loh, mamak mau kemana?" tanya Anha yang tengah menghampiri mertuanya itu.
"Ayok ikut, mak e, kita ke rumah mbakmu," ajak mbah, dengan suara yang terdengar khawatir.
"Ada apa, to, mak?" tanya Anha sambil mengikutinya dari belakang.
Rafa menjawab dengan wajah panik, "Mamak bilang mau bunuh diri, bik..."
Terlihat air mata sudah menggenang di pelupuk mata Rafa, seolah-olah ia tidak bisa menahan kesedihannya.
Anha tidak banyak bertanya lagi ,ia sudah tau tentang Halimah dari sang suami. ia segera mengikuti mereka dengan langkah yang cepat. Rafa dan mbahnya berangkat terlebih dahulu menggunakan motor, meninggalkan Anha yang memilih untuk berjalan kaki karena rumah Halimah tidak begitu jauh dari rumahnya.
Rafa segera membonceng mbahnya dan pergi dari rumah itu, menuju rumahnya dengan kecepatan yang sedang. Tak lama kemudian, mereka telah sampai di halaman rumah. Rafa segera mematikan mesin motor, dan mbah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Rafa.
Mereka berdua menuju kamar Halimah dengan langkah yang panik dan tergesa-gesa. Saat mereka tiba di depan pintu, mereka terkejut melihat Halimah terbaring di tempat tidur dengan wajah yang sangat pucat. Di sampingnya, terlihat sebuah golok panjang yang tergeletak di atas tempat tidur.
Si mbah segera menghampiri Halimah dengan langkah yang cepat, wajahnya terlihat khawatir dan cemas. "Halimah, anakku... apa yang terjadi?" ucapnya dengan suara yang bergetar.
"Aku mau mati aja, Mak... aku nggak kuat hidup begini..." isak Halimah, air matanya mengalir deras seperti hujan.
"Istighfar, Ndok... jangan bicara seperti itu," mamak Halimah mencoba menenangkannya, mengusap-usap punggung Halimah dengan lembut.
"Ada apa, anakku? Kenapa kamu sampai seperti ini?"
Halimah mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya.
"Aku jengkel sama Mas Anton, Mak... dia menyebarkan ke orang-orang kalau aku sudah menyelingkuhi dia. Padahal itu tidak benar, Mak!" ucapnya dengan kesal, air mata tak hentinya mengalir.
Katinem, mamak Halimah, mendengarkan dengan sabar, wajahnya terlihat khawatir.
"Nanti mak e yang akan bicara sama dia, kamu jangan bicara ngawur sampai mau bunuh diri segala. Apa gak kasian sama anakmu?" tuturnya dengan lembut, mencoba menenangkan Halimah.
"Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi, Mak! Biar Rafa ikut ayahnya saja, aku rela mati daripada terus-menerus merasa terhimpit!" Halimah berkata sambil memukul-mukul dadanya dengan frustrasi.
Katinem menggelengkan kepalanya, khawatir melihat anaknya yang keras kepala.
"Sudah cukup, Halimah! Jangan sekali-kali mengucapkan kata-kata seperti itu!" Katinem membentak dengan nada tegas. "Rafa masih membutuhkanmu, anakku."
Rafa yang sedang berdiri di dekat pintu merasa geram dengan perkataan ibunya.
"Mamak seperti apa ini, yang tega meninggalkan anaknya sendirian?!" Rafa protes dengan nada kesal.
"Dari tadi Ibuku terus mengeluh dan mengucapkan kata-kata tentang kematian. Apa ada orang tua seperti ini?!" Rafa berjalan menuju dapur dengan perasaan kesal dan kecewa.
Anha tiba di rumah Halimah dengan hati yang berdebar. Ia segera masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Halimah, khawatir akan keadaan kakak iparnya. Saat memasuki kamar, ia menatap Halimah dengan lekat, dan hatinya terluka melihat keadaan Halimah yang sangat menyedihkan. Mata Halimah memerah, dan rambutnya acak-acakan, membuatnya terlihat lebih menyedihkan.
Anha duduk di samping Halimah dan mencoba untuk menenangkannya.
Namun, Halimah tidak mendengarkan. Ia malah menangis dan berteriak, "Iya, mamak memang bukan mamak yang baik, Le! Makanya, bunuh aja sekalian mamakmu ini, mamak memang gak ada gunanya!"
Halimah mengambil golok di sampingnya dan mengarahkannya ke lehernya. Anha segera bereaksi, memegang golok itu dan mencoba untuk menghalangi aksi nekat Halimah.
"Jangan, Mbak Halimah! Jangan lakukan ini!" ucap Anha dengan nada yang penuh kekhawatiran.
Dengan cepat, Anha mengambil golok itu dari tangan Halimah dan memeluknya erat.
"Aku ada di sini untukmu, Mbak. Aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal seperti ini," ucap Anha dengan lembut.
Perlahan-lahan, Halimah mulai tenang, dan air matanya berhenti mengalir. Ia memandang Anha dengan mata yang masih memerah, namun dengan ekspresi yang lebih tenang.
Anha memandang Halimah dengan mata yang penuh kepedulian. "Mbak Halimah, tolong dengarkan aku. Mati bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah. Justru, itu akan menambah beban dan kesedihan bagi orang-orang yang kita cintai."
Halimah mendengarkan Anha dengan tenang, namun matanya masih memerah.
Anha melanjutkan, "Bunuh diri itu sangat dilarang dalam agama kita, Mbak. Siksaannya berat dan tidak terbayangkan. Kita akan disiksa dengan cara yang sama seperti kita mengakhiri hidup kita sendiri."
Anha memegang tangan Halimah dan berbicara dengan nada yang lembut namun tegas. "Mbak Halimah, aku mohon kepada Mbak untuk berpikir jernih sebelum mengambil keputusan. Ingatlah bahwa hidup ini masih memiliki banyak harapan dan kesempatan. Jangan biarkan kesedihan dan keputusasaan menguasai Mbak."
Halimah menatap Anha dengan mata yang masih memerah, namun ada sesuatu yang berbeda dalam ekspresinya. Ada semacam harapan dan keinginan untuk hidup yang mulai muncul.
Suara mobil yang masuk ke dalam garasi membuat Halimah terkesiap. Matahari yang memancar dari jendela kamar membuat bayangan mobil itu terlihat jelas di dinding. Halimah menatap ke arah pintu dengan perasaan campur aduk. Nafasnya mulai cepat, matanya melotot memerah karena kecemasan.
Ia merasa ingin segera menghampiri suaminya dan meminta penjelasan tentang semua ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala Halimah, membuatnya semakin tidak sabar.
Dengan langkah yang tegang, Halimah berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu. Ia membuka pintu dan melihat suaminya yang sedang keluar dari mobil. Wajah suaminya terlihat lesu dan kelelahan, namun Halimah tidak peduli. Ia hanya ingin tahu kebenaran tentang apa yang terjadi.