Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Diajak Makan
...----------------...
"Hai ...."
Sapaan seseorang yang baru datang membuat Rara tersentak. Suara itu terdengar begitu familiar di telinganya. Kepalanya pun perlahan berbalik arah hendak melihat siapa yang menyapanya.
"Eh, panjang umur kamu, Yan. Baru aja diomongin sama kita," tutur Lilis sambil menepuk bahu orang itu yang tak lain adalah Ryan Alexander.
"Masa? Kalian ngomongin apa tentang aku?" Senyum Ryan mengembang sempurna. Ekor matanya sesekali melirik ke arah Rara yang masih bergeming tak berani menyapa.
"Nih, si Rara kangen kamu katanya."
"Ih, Teh Lilis. Apa, sih? Kan aku udah bilang nggak," sanggah Rara merasa malu.
Pandangan Ryan pun sepenuhnya tertuju pada gadis itu. "Hai, apa kabar?" sapanya basa basi.
Rara menganggukkan kepala, "Kabar baik," jawabnya.
Rara merasa canggung berhadapan dengan Ryan. Sudah berbulan-bulan mereka berpisah. Selepas Ryan pergi, keduanya tidak pernah berkirim pesan apalagi berjumpa. Kini, mereka saling berhadapan, tetapi Rara merasa seperti tertekan. Jantungnya berdebar kian kencang, dan hatinya seperti melesat ke atas awan. Tak ayal gadis itu sangat senang.
Seulas senyuman terus terukir di bibir Ryan. Lelaki itu tahu jika hari ini adalah hari pertama Lilis dan Rara kuliah di universitas yang sama dengannya. Takdir mereka untuk bertemu kembali pasti akan terjadi. Ryan merasa senang sekali karena rasa rindunya bisa terobati.
"Eh, katanya kamu udah sukses jadi pengusaha, ya, semenjak berhenti main film," ucap Lilis mengalihkan perhatian Ryan dari Rara.
"Belum terlalu sukses, aku masih berusaha keras untuk membangun usaha keluargaku ini. Sekarang aku ingin membangun perusahaan pemasok daging olahanku sendiri. Sekarang sedang tahap verifikasi izin ke badan yang berwenang."
"Wow, keren pisan, ih!" Lilis berdecak kagum. Begitu pula dengan Rara. Binar di matanya terpancar sambil terus menatap kagum pada Ryan.
Awalnya, Ryan hendak langsung membuat satu perusahaan daging olahan. Namun, agar perusahaan itu tetap exis dan bergerak lancar, tentu saja mereka harus punya pasar. Tidak mudah bagi perusahaan baru untuk mendapatkan konsumen dengan waktu cepat. Oleh karena itu, Ryan memulai usahanya dengan membuka kedai yang menjual makanan jadi yang berbahan daging sapi.
Ryan yang juga bermain saham tentu sudah punya modal yang lumayan. Pengalaman di masa depan membuat Ryan tahu saham mana saja yang bisa menguntungkan. Dalam beberapa bulan saja, Ryan bisa membuka beberapa gerai kedai makanan di beberapa kota besar. Alhasil, Ryan bisa menciptakan pasarnya sendiri jika ingin membangun sebuah perusahaan. Ryan bisa membuat satu perusahaan pemasok dan pembuatan olahan daging yang bisa dia jual di kedainya sendiri, dengan daging yang berasal dari peternakan sang papa.
"Bisa atuh, ya, traktir makan," ucap Lilis menggoda Ryan sambil menaikturunkan kedua alisnya.
Ryan pun tertawa kecil. "Ayo, siapa takut? Maunya kapan?" katanya sambil mengedikkan bahu.
"Asyik ... pulang kuliah aja, ya. Kami masih ada kelas."
"Oke, aku juga ada kelas. Sampai jumpa nanti." Ryan pun pamit. Namun, sebelum pergi kedua matanya menatap Rara dengan seksama. Seolah sedang merekam wajah perempuan itu sedikit lebih lama.
"Aku pergi, ya?" pamitnya pada Rara. Ryan seperti tidak rela untuk berpisah. Pasalnya, mereka baru saja bertemu. Tentu saja masih sangat rindu.
Rara tersenyum samar sambil menganggukkan kepalanya. Gadis itu juga sepertinya tidak rela jika berpisah dengan Ryan. Namun, selain melambaikan tangannya, dia bisa apa. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan?
*****
Langit begitu cerah dengan sinar mentari menyeruak ke segala arah. Cuaca pun terasa begitu panas dan membuat gerah. Ryan yang sudah lebih dulu selesai kuliah. Sejak satu jam yang lalu, lelaki itu sudah duduk menunggu dengan hati sedikit resah. Lelaki itu sudah tidak sabar bertemu dengan Rara.
"Tuh, Bang Ryan." Rara yang pertama melihat Ryan sedang duduk di bangku panjang dekat perpustakaan. Lilis pun menolehkan pandangan.
"Eh, iya. Kayaknya mata kamu emang fokusnya nyariin Ryan aja, ya! Bisa langsung ketemu gitu," goda Lilis sambil menyenggol tubuh Rara. Padahal di sana ramai orang-orang, tetapi Rara bisa dengan mudah melihat lelaki itu begitu keluar dari kelasnya.
"Teteh jangan godain aku terus, dong! Aku kan malu."
"Alah, segala pake malu. Kalau suka sama orang itu harus sat set. Nanti keburu diambil orang lain baru nyesel."
"Gitu, ya?" Rara berpikir sejenak. Pada dasarnya sikap Rara memang selalu bersemangat jika menginginkan sesuatu. Hal itu terbukti pada saat dia mengejar cinta Ryan di waktu sebelumnya. Namun, kali ini keadaannya sudah berbeda. Rara hanya bisa menekan perasaannya karena merasa malu pernah salah paham.
"Iya, teteh udah membuktikannya sama suami teteh. Dan itu berhasil, sekarang mas Liam udah nempel terus kayak koyo cabe," pungkas Lilis memberikan saran.
Rara pun tertawa mendengarnya, "Panas, dong," katanya di sela tawa.
Mereka pun berjalan mendekati Ryan. Lelaki itu pun tersenyum ketika melihat dua perempuan beda usia itu berjalan ke arahnya. Ryan pun beranjak berdiri lalu lebih dahulu mendekati.
"Mau pergi sekarang?" tanya Ryan ketika mereka bertemu pandang.
"Iya, dong!" Lilis yang menyahut dengan riang, sedangkan Rara hanya mengulas senyuman. Entah kenapa di depan Ryan, gadis itu jadi mendadak pendiam.
Ryan pun segera menggiring kedua perempuan itu ke parkiran lalu mempersilakan kedua perempuan itu masuk ke dalam mobil. Lilis lebih dulu masuk ke pintu penumpang, begitupun dengan Rara yang mengikutinya dari belakang.
"Kalian menganggap aku sopir?" Ryan pura-pura merajuk karena duduk sendirian di depan.
Lilis dan Rara sejenak beradu pandang, lalu Lilis menaikkan kedua alisnya bersamaan seolah memberikan kode kepada Rara.
Rara yang tahu maksud Lilis langsung menggelengkan kepala. Jujur, dia malu duduk berdua dengan Ryan di depan sana.
"Teteh aja yang di depan. Rara malu," ucap Rara sambil berbisik di telinga Lilis.
Lilis berdecak, "Malu kenapa? Kamu nggak inget tadi teteh bilang apa?" tanyanya gemas.
Tentu saja Rara ingat, tetapi tidak secepat itu Rara harus berubah sikap. Ia butuh waktu untuk beradaptasi lagi dengan Ryan. Hari ini mereka baru bertemu setelah berpisah beberapa bulan yang lalu. Rara butuh waktu untuk mengurai rasa malu.
"Ya udah, teteh yang di depan." Melihat Rara begitu teguh dengan pendiriannya, Lilis pun akhirnya mengalah. Perempuan yang sudah menikah itu pun keluar dari mobil Ryan, hendak pindah ke depan.
Akan tetapi, baru saja perempuan itu mengitari mobil menuju pintu di seberang kemudi Ryan, tiba-tiba saja tangannya dicekal oleh seseorang.
"Mau ke mana kamu?"
"Ay?"
Lilis terkejut karena tiba-tiba suaminya datang ke sana. Katanya lelaki itu tidak bisa menjemput karena ada meeting penting dengan klien, makanya Lilis mau pergi makan bersama Ryan dan Rara.
Akan tetapi, lelaki over protektif itu tidak pernah bisa diterka. Kesibukannya selalu bisa ditangguhkan kapan saja jika dia ingin bertemu dengan istrinya.
Ryan pun turun dari mobil karena melihat Liam ada di sana. Lelaki itu tidak mau Lilis berada dalam masalah.
"Halo, Pak Liam. Anda kenal saya, kan?" ucap Ryan dengan sopan. Liam hanya menatap lawan bicaranya dengan tajam.
"Kami mau makan di luar. Anda mau ikut?" ajak Ryan walaupun Liam masih menampilkan wajah garang.
"Ada ada Rara juga, Ay," bisik Lilis pada suaminya. Ekor matanya melirik kaca jendela mobil yang kebetulan diturunkan oleh Rara. Gadis itu menyapa Liam dengan anggukkan kepala.
Liam terlihat berpikir. Ditatapnya wajah sang istri yang seperti berharap dia ikut makan bersama mereka. Helaan napasnya pun terlontar begitu saja. Liam menyerah jika sang istri menatapnya dengan tatapan penuh damba.
...----------------...
...To be continued...
Yang kangen sama Lilis dan Liam. Angkat jempolnya! 👍🤣🤣
Dukung author dengan, subscribe, like, komentar, dan vote, ya🌹