Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Dukun Turun Gunung
Ekspresi datar Tabah terasa mengganggu bagi Andre. Tidak ada lagi senyum ramah ataupun ledekan-ledekan menyebalkan dari seniornya itu. Tatapan mata yang kosong seolah tak berjiwa membuat perasaan Andre tidak nyaman.
"Kamu mencari aku kan?" tanya Tabah tanpa ekspresi.
"Bunda terjatuh dari kamar perawatan lantai atas. Sebelumnya kamu mengatakan jika aku akan celaka atas konsekuensi dari perbuatanku. Apa maksudnya Pak Dhe? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Siska sembuh, artinya Mbah Tejo berhasil kan?" desak Andre. Keduanya kini diawasi oleh satpam rumah sakit dari pos depan.
"Hah? Mbah Tejo? Dia tak lebih dari sekedar katak dalam tempurung. Terkungkung dalam dunianya yang sempit. Seorang dukun buangan yang arogan," sergah Tabah tersenyum masam.
Andre terkejut dengan reaksi Tabah. Kata-katanya yang tajam menusuk untuk orang yang baru dikenal, benar-benar tidak seperti Tabah yang biasanya.
"Aku menunggumu disini hanya ingin memperingatkanmu. Hati-hati dengan perempuan itu," lanjut Tabah.
"Maksudmu, perempuan asing berkebaya putih?" tanya Andre bingung. Tabah menggeleng. Mulutnya berdecak, tampak kesal.
"Lilis. Hati-hati padanya. Sudah, aku mau pulang," pungkas Tabah masuk ke dalam mobil. Tidak memberi kesempatan pada Andre untuk bertanya.
Lampu kabin mobil menyala. Mesin berdengung sesaat kemudian roda mulai bergerak. Andre dapat melihat keluarga Tabah di dalam mobil. Wajah Tabah yang datar, begitupun dengan istrinya. Siska yang terlihat berbeda. Dia menoleh pada Andre dengan seulas senyum yang sangat lebar menampakkan nyaris seluruh gigi serinya. Bahkan saat mobil menjauh, dari kaca belakang masih terlihat jelas Siska tersenyum ke arah Andre.
Selepas kepergian Tabah, Andre kembali ke ruang tunggu depan ICU. Mata Bi Irah tampak sembab. Tentu saja perempuan tua itu tidak berhenti menangis. Masih tetap menggenggam erat kresek berisi susu murni pesanan Nurma.
Dokter keluar dari ruang ICU. Dari kaca tampak tubuh Nurma dipasangi beberapa alat. Hidungnya pun dipasangi selang oksigen. Rasa cemas membuat Andre menghadang dokter yang hendak berjalan ke ruangannya.
"Kita bicara di ruangan saya saja Mas," ucap dokter kalem. Andre mengangguk setuju. Kemudian mengekor di belakang sang dokter.
Setelah Andre dipersilahkan duduk, dokter terlihat menghela napas. Pandangan matanya teduh, terlihat berusaha membuat nyaman lawan bicaranya.
"Anda putra Bu Nurma?" tanya dokter. Kedua telapak tangan disatukan di atas meja.
"Iya Dok. Bagaimana kondisi Bunda?" desak Andre malas berbasa-basi.
"Nyawa Ibu Anda tertolong, saya harap Anda tetap tenang dan tidak merasa cemas berlebihan. Yang pasti Ibu Anda membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Hanya saja masalah utamanya bukan itu," ucap dokter ragu-ragu. Andre terlihat sedikit lega. Tapi matanya mengernyit mendengar penuturan lanjutan dari dokter.
"Pihak rumah sakit memahami jika Anda marah dan kecewa. Kami pun merasa telah memberikan pelayanan buruk sehingga kejadian seperti ini terlewat dari pengawasan. Namun Mas Andre, satu hal yang saya pribadi merasa ada sesuatu yang salah," lanjut dokter dengan bola matanya lurus menatap Andre.
"Tolong katakan saja Pak Dokter. Jangan berbelit-belit," sergah Andre tidak sabar.
"Ibu Anda tidak mungkin bisa berjalan dengan kondisi kakinya yang seperti itu. Bagaimana mungkin beliau melompat sendiri dari jendela lantai atas? Posisi jendela juga cukup tinggi dari lantai. Saya sebenarnya tidak elok mengatakan ini, tapi saya berharap Anda tidak mengabaikan fakta yang saya sampaikan," ucap dokter bersungguh-sungguh.
"Dokter, saya harap Anda fokus pada pengobatan Bunda. Soal penyebab Bunda jatuh, saya tidak akan menyalahkan rumah sakit ini. Saya benar-benar berharap Bunda dapat sembuh seperti sedia kala. Bunda satu-satunya keluarga yang saya miliki. Saya percaya dengan rumah sakit ini, jadi sekali lagi saya mohon berikan yang terbaik untuk Bunda," ucap Andre membungkuk. Dia serius dengan ucapannya. Dokter sempat diam tertegun.
"Tanpa Anda minta, kami selalu berusaha memberikan yang terbaik Mas Andre. Maafkan saya, telah berprasangka penuh kekhawatiran jika Anda akan memperkarakan pihak rumah sakit," balas Sang Dokter.
Tidak berselang lama, Andre keluar dari ruangan sang dokter. Menemui Bi Irah yang masih berdiri di balik pintu kaca ruang tempat Nurma terbaring lemah. Andre menghela napas, menyandarkan punggung pada dinding bercat hijau muda.
"Mas, bagaimana?" tanya Bi Irah lirih. Dia terlihat ketakutan.
"Bunda sebentar lagi sembuh Kok Bi," sahut Andre singkat. Pikirannya mengawang jauh. Batinnya bergejolak penuh tanya. Bagi Andre sebuah kebetulan yang tidak bisa diabaikan saat dirinya baru saja memadu kasih dengan Lilis, Sang Bunda malah terjatuh dari lantai atas rumah sakit.
Di tengah pikiran Andre yang kalut, handphone di saku celana bergetar. Sebuah pesan masuk dari tetangga rumah, memberi kabar jika ada seorang kakek tua yang sejak sore tadi berdiri di depan pintu pagar rumah Andre.
"Siapa namanya?" tanya Andre penuh selidik.
"Mbah Tejo."
Mendengar nama yang disebutkan tetangganya, Andre segera mematikan handphone. Sang Dukun telah turun gunung. Andre segera berpamitan pada Bi Irah untuk pulang sebentar.
"Tapi Mas, Bibi takut Nyonya kenapa-kenapa," keluh Bi Irah. Sepertinya perempuan itu merasa trauma dengan kejadian sebelumnya.
"Bibi cukup duduk disini. Bunda dalam pengawasan petugas kesehatan. Oke?" Andre menenangkan. Bi Irah pun akhirnya mengangguk setuju.
Andre segera ke rubanah rumah sakit. Kemudian memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kondisi jalanan malam hari cukup lengang dan sepi. Pedal gas diinjak semakin dalam.
Nyatanya, saat sampai di rumah, Andre memang menemukan sosok laki-laki sepuh yang berdiri di depan pagar. Sesuai perkataan tetangga nya tadi. Andre turun dari mobil, hendak menyalami Mbah Tejo tetapi laki-laki itu menampik uluran tangan Andre.
"Mari masuk Mbah," ujar Andre ramah.
"Kamu cucu dari orang yang sangat kubenci hingga saat ini. Tapi mirisnya, hanya kalian yang kukenali," keluh Mbah Tejo. Saat pintu pagar dibuka, dengan langkahnya yang diseret segera masuk ke dalam rumah Andre.
"Orang yang tadi pagi ke rumahku, suruhan mu kan?" tanya Mbah Tejo tiba-tiba. Dia duduk di kursi teras depan.
Andre mengangguk. Dia merasa tidak ada gunanya untuk berbohong. Lagipula Andre juga penasaran apa yang telah terjadi pada Tabah.
"Aku sudah sangat lama tidak berkunjung kesini. Bahkan kamu sekarang sudah menjadi pria dewasa. Menyedihkan rasanya menyadari jika usia ini sudah sangat tua. Namun sayangnya di usia se jompo ini aku baru menemukan sesuatu yang menarik perhatian. Mungkin kakekmu jika masih ada akan merasakan rasa penasaran yang sama denganku," ucap Mbah Tejo kemudian. Dari sorot matanya, Andre dapat melihat kerinduan. Mungkin sebenarnya Mbah Tejo sudah melupakan konflik di masa lalu, tetapi gengsi untuk mengatakannya.
"Mbah maaf, sebaiknya kita masuk ke rumah dulu. Paling tidak kita bisa ngopi dulu agar obrolan terasa lebih nyaman," sambung Andre tersenyum.
"Temanmu dalam bahaya," bisik Mbah Tejo tiba-tiba. Dia mengabaikan ajakan Andre masuk ke dalam rumah. Sorot mata sang Dukun tampak berapi-api, memberi peringatan yang tentunya bukan hanya isapan jempol.
lanjut bung...tetap semangat....
jngn jngn ini dukunn nya ntar lawannya Mbah Tejo.
ahh komentar ku jngn jngn mulu wkwkwkwk.
Aku curiga sama Lilis omm... bkn suudzon tapi ntahlah Lilis kek manipulatif.
hmmm,,, aq masih blm bisa terima bang Andre sama Lilis ....,,