WARNING ⚠️
Mengandung beberapa adegan kekerasan yang mungkin dapat memicu atau menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ambivalen
35.>>Ambivalen
***
Agraven terdiam duduk di sofa. Sudah hampir dua jam ia hanya berdiam diri dan bergelut dengan pikirannya.
Selama itu pula istrinya belum sadarkan diri.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu diabaikan oleh Agraven.
Tak lama pintu itu terbuka menampilkan sosok rusuh bernama Galva. Ia langsung duduk di samping Agraven.
"Apa yang terjadi, Rav?" tanyanya mendesak.
Agraven tidak menjawab, ia hanya memberi kode untuk Galva melihat sendiri kondisi Aza, istrinya.
"Ya ampun, Degem! Kenapa bisa, sih?" Ia mendekat ke arah Aza. Ia melihat pergelangan tangan Aza yang dibalut perban.
"Rav Rav Rav!"
"Diam!" sentak Agraven. Galva sangat berisik.
"I-itu tangannya?"
"Lo bisa pulang dulu? Tinggalin gue sama Aza berdua," tekan Agraven.
"Lo usir gue? Itu adek gemesnya gue lagi sakit, Rav! Gue juga baru sampe!" tolak Galva tidak terima langsung diusir.
"Pulang ke rumah atau pulang ke--"
"Eeiits!! Ke rumah, dong! Tega bener, lo. Aza itu udah gue anggap seperti anak sendiri... eh, salah! Maksudnya seperti adek sendiri!"
"Nanti. Kalo Aza udah membaik, gue kasih tau," ujar Agraven sedikit melembut.
"His! Ya udah gue pulang! Awas kalo nggak ngabarin waktu degem udah bangun," ancamnya.
"Hmm," gumam Agraven.
Brak
Dengan keras Galva menutup pintu.
"Fuck!" umpat Agraven karena ulah Galva.
Agraven kembali terdiam. Beberapa detik setelah itu, ia mendekati Aza. Ia berlutut di samping Aza.
Dengan sangat perlahan ia mengangkat tangan Aza yang dibungkus perban.
Ia tidak bisa menyimpulkan keputusannya sekarang. Ia juga perlu mendengarkan penjelasan dari Aza.
Setelah itu ia kembali duduk di sofa.
Beberapa menit dari itu, jari Aza mulai bergerak.
Ia langsung mendekat dan duduk di kasur samping Aza yang kosong.
Mata Aza mengerjap pelan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke netranya.
Aza tersentak karena keberadaan Agraven di sampingnya. Dengan cepat ia menoleh untuk menghindari tatapan Agraven.
"Za ...."
Aza tetap mempertahankan posisinya. Ia tidak terpengaruh sama sekali oleh panggilan bernada penuh penekanan dari Agraven.
"Azananta. Liat saya!" Aza masih tetap diam.
Perkataan Ludira kembali berputar di pikirannya.
"Kenapa lo yakin banget Agraven cinta sama lo, bodoh!"
"Kenapa lo mau aja dinikahin sama orang yang nggak cinta sama, lo?"
"Seorang psikopat tidak akan pernah bisa merasakan apa itu cinta. Jika pun ada... itu hanya cinta semu."
"Cinta semu," gumam Aza sangat lirih. Hanya ia yang dapat mendengarnya.
"Za! Saya butuh penjelasan dari kamu. Apa yang terjadi? Kamu mau bunuh diri? Kenapa? Tertekan hidup sama saya? Nggak suka sama pernikahan ini?"
"Ungkapan saya tadi pagi kamu anggap apa? Angin lalu, hah?" lanjut Agraven menuntut.
"Za, kamu tau saya nggak pernah nanya sepanjang ini, sebrutal ini. Saya nggak pernah sekhawatir ini sama orang. Jawab omongan saya?!" sambung Agraven terus bertanya dan terus mendesak Aza dengan tidak sabaran. Dan Aza tidak menjawab satupun pertanyaan itu.
"Kenapa kamu mau bunuh diri, hah?" sentak Agraven geram.
Aza langsung terkesiap karena nada bicara Agraven yang terkesan membentak. "Siapa yang mau bunuh diri?" gumam Aza begitu lirih.
Ini yang Agraven tunggu. Berarti dugaannya benar.
"Siapa?" tanya Agraven ambigu.
Aza hanya diam. Bukan tanpa alasan ia terdiam, tapi ia tidak mengerti pertanyaan 'siapa' yang dimaksud Agraven.
"Siapa yang lakuin ini sama kamu?" Agraven memperjelas pertanyaannya dengan menunjuk pergelangan tangan Aza.
Aza bungkam. Ia tidak ingin menjawab apapun.
"Oke, kalo kamu nggak mau cerita sekarang."
Ia mengecup kening Aza lama. Perempuan tersebut menegang di tempat.
"Saya cari tau sendiri."
Perkataan Ludira yang sebelumnya mengacaukan isi kepalanya perlahan memudar karena sikap yang Agraven tunjukkan.
"Saya tau mana luka yang diberi dan mana luka yang dibuat sendiri."
Aza langsung menoleh mengahadap Agraven yang baru berdiri. Saat Agraven ingin beranjak, cepat-cepat Aza menahannya.
"Tunggu!"
"Hm?"
"Aza mau tanya sesuatu," ujar Aza.
Agraven kembali duduk di samping Aza. Kali ini ia duduk bersila dengan menghadap ke arah Aza.
"Mau tanya apa?"
"Korban Kakak udah banyak, ya?"
"Banyak," jawab Agraven santai.
Aza kembali mengingat ucapan Ludira yang sangat mengganggu pikirannya.
"Gue nggak mau aja, cewek polos kayak lo bakal jadi korban Agraven selanjutnya."
Yang Agraven maksud adalah korban yang sudah ia bunuh, sedangkan Aza mengartikan korban wanita yang sudah dimainkan oleh Agraven.
"Kalo begitu, Aza korban yang ke berapa?" tanya Aza dengan susah payah.
Alis Agraven terangkat sebelah. Ia kurang paham pertanyaan yang diberikan Aza.
"Korban? Kamu bukan korban saya," jelas Agraven.
"Terus Aza apa?" tanya Aza tidak santai dan terkesan nyolot.
"Kamu istri saya, Azananta. Perlu diperjelas?"
"Enggak usah!" jawab Aza cepat. Agraven terkekeh. Tangannya hinggap di puncak kepala Aza.
"Istirahat, saya keluar sebentar," ujarnya. Aza hanya diam merasakan usapan lembut di atas kepalanya.
"Lain kali, jangan pernah masuk ke ruangan itu. Apapun alasannya," peringat Agraven. Dengan patuh Aza mengangguk.
Setelah Agraven keluar, Aza menghela napas. "Kenapa kak Agra nggak curiga? Kenapa juga dia nggak nanya. Apa dia udah tau kalo kak Ludira yang ngelakuin ini?" monolog Aza.
"Atau ini juga rencana kak Agra sama kak Ludira? Tapi tujuannya apa?"
"Mereka sangat membingungkan. Dasar keluarga psikopat ... dan kenapa Aza malah terlibat dalam keluarga ini?" kesal Aza.
Aza benci sama situasi ini, Aza udan sayang sama kak Agra!" teriaknya kesal. Aza benar-benar ingin gila rasanya. Ia tidak bisa membedakan rasa benci dan cinta untuk seorang Agraven Kasalvori.
"Untuk saat ini, Aza nggak akan cerita ke kak Agra soal kak Ludira yang menginginkan Aza pergi. Aza bakal tutupin ini semua dari kak Agra," gumamnya.
"Biar semuanya terungkap dengan sendirinya. Aza nggak takut sama ancaman kak Ludira. Aza lebih takut bentakan dari kak Agra," monolog Aza bergidik.
Di sisi lain, Agraven masih berdiri di depan kamarnya dan Aza. Ia juga mendengar dengan samar teriakan dari istrinya.
"Ternyata kamu belum percaya sama saya," lirihnya.
Setelah itu ia masuk ke dalam ruangannya. Ia tidak bisa melihat apa yang terjadi kepada Aza sebelumnya. Karena di ruangannya tidak terpasang CCTV.
Ia duduk di ranjang. Matanya menatap darah Aza yang masih tercecer di lantai.
"Tidak ada orang lain yang tau seluk-beluk ruangan ini. Kecuali ... Ludira?"
"Apa motif Dira lakuin ini?"
Agraven berpikir beberapa saat. Namun, setelah itu ia teringat sesuatu.
Dengan cepat ia menghubungi nomor seseorang.
"HALLO, RAV! GIMANA DEGEMNYA GUE? UDAH SADAR? DIA BILANG APA? KENAPA DIA NEKAT BUNUH DIRI? KAYAKNYA DIA TERTEKAN HIDUP SAMA LO, DEH!"
"Fuck!"
"ASTAGHFIRULLAH, COCOTMU, MAS!"
"Lo bisa serius? Gue matiin, nih. Sekalian lo gue matiin--"
"Eh, jangan dong! Baperan amat, lo! Jadi gimana keadaan adek gue?"
"Sejak kapan istri gue jadi adek, lo?" sinis Agraven.
"Mending gue anggap adek, Rav! Kalo gue anggap istri nanti lo ngamok!"
"Mimpi!"
"Wanjinkk!"
"Gue mau nanya sesuatu."
"Mau tanya apa, Mas--"
Tuut
"Galva sialan!" umpat Agraven. Ia sangat kesal, padahal ia ingin bertanya serius kepada cowok itu.
Ponsel Agraven berbunyi, Galva, lah, yang meneleponnya.
"Nggak penting, gue matiin!" ketus Agraven, setelah menjawab panggilan itu.
"Kan yang nelpon gue duluan tadi siapa? Bukannya lo, Rav?"
"Shitt!" umpat Agraven sangat kesal.
"Hahahaha lo kayaknya frustasi amat? Degem, kan, udah sadar. Dia juga baik-baik aja, 'kan? Terus lo kenapa depresot amat?"
"Seperti dugaan gue sebelumnya, Aza nggak bunuh diri."
"M-maksud lo ada yang coba nyelakain Degem, begitu?"
"Hm... lebih tepatnya menjebak."
"Lo punya musuh berapa, sih, Rav? Kok bisa lo kecolongan gini?"
"Musuh gue juga nggak bakal tau seluk-beluk ruangan gue. Musuh juga nggak tau Aza itu istri gue dan nggak tau juga Aza didiagnosa menderita Agoraphobia ...." jelas Agraven.
"Nggak mungkin mereka tau cara buat Aza ketakutan. Pelakunya pasti tau persis trauma yang Aza alami," sambungnya.
"Tunggu-tunggu! Jadi menurut lo, yang lakuin itu orang terdekat?"
"Hm."
"Lo nggak nuduh gue, 'kan?"
"Emangnya lo orang terdekat gue?"
"Bwangkweh!"
"Jadi lo curiga sama siapa?"
"Dira."
"Untung lo pinter, Rav!"
"Maksud lo apa?"
Terdengar helaan napas dari seberang sana. Agraven mengerutkan dahinya.
"Dari dulu gue bilang sama lo. Percuma jadi adeknya, tapi nggak paham sama sifat dia."
"Maksud lo apa, bangsat!"
"Lo pernah nanya nggak sama Dira, kalo dia bahagia sama pernikahan, lo? Atau dia pernah bilang sesuatu terkait lo dan Aza?"
Agraven langsung terdiam. Ia memang kurang terbuka kepada kakaknya. Bahkan ia mengabaikan izin dari kakaknya.
Apa benar Dira nggak restuin? pikir Agraven.
"Jadi, menurut lo, Dira nggak suka sama pernikahan gue?"
"Aih! Lo nggak jadi pintar, Rav! Pikir aja sendiri, dia suka kagak! Bodoh juga ternyata lo!" ungkap Galva kesal.
"Lo mau gue bu--"
Tuut
Damn it!
To be continue...