NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PENGAMPUNAN

SUASANA kelas lengang.

Semua atensi tertuju pada Zara yang berdiri didepan kelas. Ia sedang 'berpamitan' pada seisi kelas yang tidak merasa Zara pernah meninggalkan kenangan yang begitu berarti untuk mereka selama hampir setahun ini. Selain karena otaknya yang cerdas, parasnya yang cantik, dan posisinya sebagai adik kembar Yesha, mereka tidak yakin bisa menerima gadis yang selalu terlihat angkuh itu. Semua orang tahu bagaimana Zara telah menjadi penyebab perpisahan Yesha dan Nara—setidaknya itu dugaan mereka—serta selalu menjadi sebab pasangan itu bertengkar, bahkan terpisah berhari hari.

Tidak semua orang setuju dengan hubungan Yesha dan Nara. Tapi mereka lebih tidak setuju dengan perbuatan Zara.

"Ya, nice to meet you all, sampai ketemu lagi nanti."

Bu Sara menatap anak muridnya yang hanya diam. Melihat pada Edwin yang juga ada dipintu kelas, Bu Sara segera mengangkat tangan mendahului tepuk tangan, membuat semua murid mau tidak mau harus melakukan hal yang sama.

"Cringe banget anjir." Celetuk Rania pelan.

Nara menyikutnya, melotot, ucapannya bisa terdengar.

Rania menoleh pada Nara. "Kan, emang. Lagian gak ada yang suka suka banget sama dia, cuma modal kembaran Yesha sama cakep doang. Iya gak sih? Apa gue doang?"

"Lo bilang genius juga."

"Iya itu juga."

"Kita doang mungkin yang ngerasa cringe."

Melihat Zara keluar kelas didampingi Bu Sara dan Yesha yang mengekor dari belakang, Rania segera duduk menghadap Nara, menatap gadis itu serius dan penuh harapan. "Serius deh, lo masih ada rasa, kan, sama Yesha? Iya, kan? Ngaku lo!"

Nara menatap Rania ngeri, "Apaan sih lo? Tiba tiba—"

"Yesha juga masih ada rasa sama lo, Ra. Dan masalah terbesar kalian disini udah go out balik ke ostrali dan mungkin gak akan pernah kesini lagi," Rania berceloteh semangat nyaris dalam satu tarikan napas saja. Lalu matanya membulat semakin antusias, "BALIKAN GAK SIH?"

"HEH!" Nara melotot, Yesha masih ada didekat pintu. Bagaimana kalau lelaki itu dengar?

Tapi justru itu tujuan Rania. Ia semakin semangat mengompori, berharap Yesha dengar sindirannya. "BISA KOK BA-LI-KAN YA, RA?"

"Ngarang deh lo!" Nara membekap mulut ember Rania, Yesha menoleh kedalam kelas. Aduh, mulut temannya itu memang kurang ajar.

Tapi, mendadak dari luar terdengar suara teriak teriakan. Yesha terlihat menoleh cepat dan berlari ke lorong. Membuat seisi kelas sontak berdiri penasaran, bertanya tanya, satu dua mulai keluar untuk melihat apa yang terjadi. Termasuk Nara dan Rania yang saat ini berusaha mendesak kerumunan kecil didekat pintu

Dan saat mereka berhasil keluar kelas dan berada dilorong, tepat beberapa meter didepan mereka, Zara terlihat naik ke atas pembatas lorong yang langsung terhubung dengan lapangan dibawah sana. Baik Edwin, Bu Sara, Yesha, dan dua orang bodyguard Edwin mencoba hendak mencegah hal gila apapun yang akan dilakukan oleh gadis itu. Murid murid kelas lain ikut keluar bersama guru pelajaran mereka, menatap terkejut ke arah Zara.

"Dih, caper banget anjir." Rania lagi lagi menceletuk yang membuat Nara harus menyikutnya lagi. Yang disikut menoleh malas, "Iya, kan? Ni anak emang bisanya cuma cari sensasi!" Ia berseru tertahan.

Zara menatap Edwin dengan mata berkaca kaca dari atas pembatas, ia dapat melompat kapan saja. "Jangan pisahin aku dari Yesha, Yah, aku gak mau ke Melbourne lagi..."

"Zara! Turun dulu kamu bisa jatuh!" Edwin panik.

"Aku turun kalau ayah batalin aku berangkat ke Melbourne!"

Nara berdecak. Apa sih yang sedang dilakukan Zara?

"Zar!" Yesha menatap Zara kesal. Gadis itu selalu ada saja kelakuannya yang membuat orang lain merasa terbebani. "Please, stop! Don't be childish!"

"Childish?" Zara terlihat tersinggung, air matanya jatuh. "Kapan sih kamu mau berusaha ngertiin aku?"

"Aku kurang ngertiin apalagi sih? Lagipula kamu ke Melbourne bukan buat di usir, just go there and study, is that hard?" Yesha menyahut cepat, memotong Edwin yang sudah hendak berkata.

"So can you coming with me? Is that hard?" Zara membalik ucapan Yesha. Bagi Zara, kepergiannya ke Australia bukan berarti ia yang meninggalkan Yesha dan ayahnya. Tapi justru dirinyalah yang merasa ditinggalkan oleh dua orang paling berharga dalam hidupnya itu. Apa setidak berharga itu dirinya? Lantas biarkan saja Zara pergi untuk selamanya kalau begitu.

Yesha menggeleng. "Gak bisa."

"Dan kamu pikir segampang itu buat aku pergi?" Zara menatap Yesha, lalu beralih pada Edwin, "Segampang itu ayah ngelepasin aku pergi tanpa siapapun? Aku anak ayah bukan sih?"

"Zara jangan aneh aneh! Turun sekarang!" Perintah Edwin.

Mana mau Zara mendengarkannya. Gadis itu justru melangkah mundur setengah langkah, membuat ujung tumitnya melayang di udara. Suara seruan tertahan terdengar. Lapangan dibawah sana mulai dipenuhi kerumunan, mendongak ke atas, menatap ngeri, takut sewaktu waktu Zara bisa jatuh dari lantai tiga.

"Batalin dulu pesawat aku ke Australia! Atau aku loncat dari sini." Zara terlihat serius dengan ucapannya.

"Yezhara! Jangan bikin ayah marah! Ini semua demi kebaikan kita bersama! Ayah ngelakuin ini semata mata untuk kamu juga!" Edwin mulai marah.

"Untuk ayah dan Yesha aja! Kebaikan bersama apa? I don't feel it," Zara menggeleng, menyeka pipi, "Aku ngerasa dibuang, Yah!" Serunya.

"Zara, stop!" Yesha berusaha menarik Zara turun secepat mungkin.

"JANGAN BERANI."

SRAK!

Tapi pergerakan Yesha kalah cepat dengan tangan Zara. Tiba tiba gadis itu menebaskan sebuah belati yang entah datang dari mana dan sejak kapan Zara simpan. Benda tajam mengkilat itu tepat mengenai lengan atas Yesha, merobek seragam sekolahnya serta merta kulit dan daging lelaki itu. Darah segar mengalir deras membuat sebagian baju putih Yesha berubah merah. Belati di tangan Zara bernoda darah Yesha. Satu dua tetes menetes dilantai lorong.

Murid murid yang menyaksikan itu berseru sungguhan. Kaget. Saling tatap dan ternganga. Suasana tegang memenuhi langit langit lorong lantai tiga.

Yesha meringis menahan sakit, memegangi lukanya yang terasa begitu perih.

Zara terdiam. Tidak menyangka akan melukai Yesha.

"YEZHARA!" Bentak Edwin murka.

"Yesha!" Nara yang menyaksikan itu tepat didepan matanya refleks berlari mendekat pada Yesha. Tidak peduli apa kata orang tentang itu.

Dan saat itulah, saat Zara menjatuhkan pisau belatinya begitu saja, kakinya yang gemetaran tanpa sengaja menginjak udara kosong dibelakangnya. Tubuh Zara limbung, lantas nyaris meluncur jatuh kebawah sana.

Iya.

Nyaris saja dia kehilangan kesempatan untuk hidup.

Jika saja Nara tidak memilih meninggalkan Yesha dan memegangi tangan Zara tepat didetik detik terakhir sebelum dia benar benar jatuh meluncur ke lapangan. Tubuh Zara menggantung di ketinggian, susah payah Nara menahannya agar tidak jatuh.

"Lo gila, Zar!" Teriak Nara, napasnya terengah, "Gue benci sama lo tapi gue gak bisa biarin lo mati gitu aja." Ucapannya itu hanya bisa didengar oleh dirinya dan Zara.

Edwin dan dua bodyguard-nya sontak mendekat, berusaha membantu Nara untuk menarik Zara naik.

Nara menarik tubuhnya, mengatur napas, membiarkan dua bodyguard Edwin mengambil alih tubuh Zara yang bergelantung. Ada seseorang yang lebih membutuhkannya saat ini setelah Zara. Nara menghampiri Yesha, melihat luka di lengan kanannya.

"Are you okay?" Tanya Nara panik. Tidak. Ia tahu Yesha terluka, bisa Nara lihat dengan jelas, itu hanya pertanyaan refleks. "Ayo ke UKS."

"Zara?"

Nara berdecak. "Dia baik baik aja!"

Dibantu Bu Sara, Nara membawa Yesha pergi ke UKS agar lelaki itu segera mendapat pengobatan.

...***...

"Biar saya aja, Bu."

Bu Sara menoleh pada Nara yang berdiri dibelakangnya. Kedua tangannya yang hendak mengambil kapas dan alkohol terhenti di udara. "Oh yasudah, Ra, tolong ya, ibu mau ke ayahnya Yesha dulu, semoga Zara gak kenapa napa." Wanita itu bangkit berdiri dari bangku disamping ranjang UKS tempat Yesha berada dengan lengan atas terbebat perban.

"Saya juga pamit dulu kalau begitu." Perawat UKS yang baru selesai mengobati Yesha ikut pamit undur diri.

"Makasih, Bu." Yesha mengangguk sopan, diikuti Nara setelahnya.

Sisalah mereka berdua diruang UKS.

Kemeja sekolah Yesha tersampir diujung ranjang, penuh darah dibagian kanannya. Tersisa kaus putih polos yang menempel ditubuh Yesha—itupun terkena darah dibagian lengan pendeknya. Tapi kaus itu lebih dari cukup daripada Nara harus melihat Yesha bertelanjang dada kedua kalinya. Lelaki itu mendapat beberapa jahitan. Memang tidak parah, tapi cukup untuk membuat Yesha ngeri menggerakkan tangan kanannya.

Sementara Edwin masih mengurusi Zara yang berhasil diselamatkan.

Nara menarik kursi, duduk, mengambil kapas dan alkohol di nakas, ia hendak membersihkan sisa darah yang ada ditangan Yesha. Lihatlah, lelaki itu terlihat seperti sudah syuting film thriller, berdarah darah. Dia meringis kecil, menahan sakit.

"Sakit ya?" Tanya Nara tanpa menatap Yesha, membuka tutup alkohol.

"Nggak. Seneng kok."

Nara mendongak, menggernyit heran. "Seneng lo luka gini?"

Yesha mengangguk, tersenyum tipis. "Kalau lo jadi perhatian gini gue kayaknya rela luka tiap hari."

"Stres lo." Nara geleng geleng kepala, menuangkan alkohol pada kapas secukupnya. Ia mengambil tangan kanan Yesha tanpa merasa perlu hati hati melakukan itu.

"E-eh, pelan pelan, masih sakit tahu." Yesha protes.

"Tadi katanya nggak." Sahut Nara jutek.

Yesha menatap gadis dihadapannya lekat, ia tahu Nara khawatir, hanya enggan saja dia tunjukkan. Yesha masih mengenalnya dengan baik. "Judes banget, Mbak. Senyum dikit kenapa?"

"Banyak mau." Nara tidak peduli, mulai membersihkan sisa sisa darah ditangan kanan Yesha dengan teliti. Pelan pelan, takut menyenggol luka di lengan atasnya yang masih baru.

Hening.

Yesha sibuk menenggelami paras cantik yang kini sibuk membantunya dengan hati hati. Tidak banyak mau Yesha, ia hanya ingin melihat Nara tersenyum padanya sekali saja. Yesha kehilangan senyum itu sejak hubungan mereka berakhir.

Sementara Nara sibuk menghindari tatapan Yesha. Menguatkan hatinya agar tatapan itu tidak lagi berpotensi menumbuhkan harapan kembali bersama di hati Nara. Tidak, Nara tidak boleh lemah. Tidak boleh ada harapan apapun lagi tentang Yesha dihatinya. Apalagi berharap lelaki itu kembali.

"Ra,"

"Hm."

"Gue mau ngasih tahu sesuatu. Rahasianya Zara. Lo mau tahu nggak?"

Benar. Nara menghentikan pergerakannya, teringat rahasia itu. Yesha belum sempat mengatakannya dulu. Entah lelaki itu lupa atau apa. Segera Nara mengangkat pandang, menatap Yesha dengan penasaran.

"Tapi janji jangan kasih tahu siapa siapa ya?"

Nara menghela napas, mengangguk.

"Zara suka sama gue."

"Semua orang juga suka sama lo, Yesha." Kata Nara malas, berdecak.

"Bukan gitu maksudnya," Yesha menggeleng cepat, memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman. "Zara suka sama gue bukan sebagai kembarannya, Ra. Tapi sebagai cewek ke cowok biasa, kayak rasa suka lo ke gue dulu." Jelasnya cepat.

Nara termangu. Otaknya mendadak lambat mencerna ucapan Yesha. Terkejut? Tentu saja. Nara tidak menyangka rahasia semacam itulah yang disimpan oleh Zara selama ini. Ia kira hanya rahasia seperti perilaku asli Zara atau apalah. Tapi ini? Ayolah, yang benar saja.

"Brother complex maksud lo?" Nara memastikan.

"Right." Yesha mengangguk.

"Lo gak lagi bercanda, kan?"

"Pengen gue tunjukkin diary-nya kalau bisa, cuma udah dibakar ayah."

Nara diam lagi sesaat. Semakin dipikirkan justru semakin tidak masuk akal baginya. Ia geleng geleng kepala, tak paham lagi. "Segila itu." Komentarnya singkat, kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan darah di tangan Yesha.

"Itu alasan kenapa ayah cepet cepet pindahin Zara ke Melbourne lagi, biar dia sekolah sekalian konsultasi ke dokter yang udah disiapin ayah disana."

Nara tidak menanggapi. Ia membuang kapas yang sudah digunakan pada tong sampah disamping nakas, mengambil yang baru dan membuka tutup alkohol.

"Zara udah mau pergi, Ra. Nggak bisa ya?" Tanya Yesha pelan, tapi cukup terdengar ditelinga Nara.

"Bisa apa?" Tanya Nara tidak mengerti, menuangkan alkohol pada kapas baru.

"Kita."

"Ngapain kita?" Nara bertanya lagi, tidak berusaha memikirkan apa maksud sebenarnya dari ucapan Yesha.

"Sama sama lagi."

Nara mendengus mendengar itu, ia melihat kedua mata Yesha menunjukkan harapan yang nyata untuk Nara. Tapi ia sudah berjanji tidak akan goyah. "Lo harap gue bilang 'iya'?"

"Nggak bisa ya, Ra?"

"Gissele gimana?" Nara menatap Yesha penuh, berusaha membuatnya mengerti lewat tatapan itu. "Kalaupun bisa gue gak mau." Ia menggeleng, lantas hendak kembali meraih tangan Yesha untuk dibersihkan.

Yesha terlihat tidak terima, ia menolak tangan Nara yang hendak mengoleskan kapas pada sisa darah ditangannya. "Kenapa?"

Nara menghela napas, tidak mengerti kenapa Yesha sulit sekali paham keadaan mereka. "Mau lo apa sih?"

"Lo, Keinarra."

"Gue gak mau." Nara menggeleng tegas, ia tahu penolakannya menyakiti Yesha. Tapi Nara tidak boleh membiarkan dirinya jatuh lagi untuk kedua kali. "Gue yakin lo ngerti sekali gue bilang gak mau."

"Iya tapi kenapa? Lo udah lupa tentang kita secepat itu?" Yesha semakin terlihat tidak terima, menatap Nara dengan pengharapan. Suaranya memelan, ada rasa sakit yang ikut mengetuk hati Nara dari ucapannya.

"Jangan mulai deh." Nara membalas tatapannya sengit.

"Lo udah lupain gue?"

Lupa tentang Yesha? Bahkan Nara tidak yakin apa ia bisa melupakan lelaki itu untuk sepanjang hidupnya atau tidak. Dan Nara tidak berniat melakukannya secepat ini. "Gue potong rambut kalau udah. Tunggu aja."

"Ra," Yesha terdengar memohon, ia menatap rambut panjang Nara yang terurai indah. Gadis itu selalu terlihat cantik dengan rambutnya, dan memotongnya karena sudah melupakan Yesha itu tidak boleh dilakukan. "Gak perlu. Kalaupun lo udah lupain gue lo gak perlu potong rambut. Rambut lo bagus—"

"Lo suka rambut gue?" Sela Nara.

Yesha mengangguk.

"Gue potong secepatnya," Ucap Nara, tidak peduli ucapannya bisa melukai Yesha atau tidak. Biar saja kalau lelaki itu mau membencinya. Seharusnya itu menjadi kabar baik bagi Nara bukan?

"Dan lupain lo secepatnya." Nara melanjutkan.

Yesha termangu. Sakit melihat gadis yang dulu selalu bilang bahwa dia mencintai Yesha dengan tulus itu kini sangat berusaha untuk membenci dan melupakannya. Sejahat itukah semesta?

"Gue suka nonton, Sha, tapi gue gak suka nonton film yang sama dua kali. Mau di ulang ribuan kali pun endingnya bakal selalu sama, seseru apapun filmnya, gue udah tahu endingnya bakal kayak gimana." Nara menatap Yesha datar, nyaris tanpa ekspresi. Menegaskan pada Yesha bahwa keputusannya sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.

"Sesakit itu ya sama gue?" Tatapan Yesha berubah sendu, dadanya penuh oleh rasa sesak saat ini.

"Iya, lo tahu sendiri, kan." Nara tersenyum pahit. "Gue gak mau berurusan sama cowok yang bahkan belum selesai sama masa lalunya. Jadi jangan bikin gue berharap apapun lagi sama lo, dan lo jangan berharap apapun sama gue. Kita selesai."

"Terus kenapa lo khawatir dan nolongin gue kalau lo berniat lupain gue secepatnya?"

"Rasa kemanusiaan aja. Anggap aja gitu." Jawab Nara tanpa ragu. Ia menghela napas, lalu meletakkan kapas yang sudah dibasahi alkohol di tangan kiri Yesha, beranjak dari bangku. "Bisa bersihin sendiri, kan? Gue masih ada urusan yang lebih penting."

"Ra—"

"Get well soon." Nara berbalik, melangkah keluar dari UKS begitu saja. Meninggalkan Yesha dengan segala goresan luka dihatinya yang jauh lebih menyakitkan dari sabetan belati di lengannya.

Yesha tertunduk. Tidak menyangka akan sesakit ini.

Dan Nara berjalan cepat melintasi lorong sekolah, menyeka pipi, terisak kecil. "Maaf, Sha. Maafin aku..."

...***...

Ruang kepala sekolah itu hening.

Tepat saat Nara melintas didepan ruangan itu lima belas menit lalu, Bu Sara melihat dan memanggilnya masuk. Maka disinilah Nara sekarang, berdiri berhadap hadapan dengan Zara, dibawah tatapan Pak Kepala Sekolah, Bu Sara, Edwin, dan dua bodyguard-nya. Melihat Zara menangis, pertama kali kepalanya tertunduk didepan orang lain.

"Gue minta maaf." Itu ucapan kesekian yang Zara lontarkan setelah hening sesaat.

"Minta maaf sampai Nara mau memaafkan kamu." Ucap Edwin tegas, tidak mau dibantah.

Zara menatap Nara dengan tatapan memohon yang nyata, ia sepertinya sudah tidak tahu harus melakukan apalagi agar Nara mau bicara dan memaafkannya.

Banyak ingatan yang melintas dikepala Nara saat melihat Zara. Kesalahan kesalahannya atas Nara, itu bukan sesuatu yang mudah untuk dimaafkan. Dan hal itulah yang sukses membuat Nara hanya diam dan menatapnya. Nara terlanjur tidak bisa membedakan apakah Zara sungguhan minta maaf atau hanya pura pura saja. Tidak biasanya Zara begini, dan harus minta maaf pada Nara tentu berhasil menyentil harga diri dan keangkuhannya.

"Ra boleh ngobrol berdua sama Zara?" Nara menatap semua orang yang menatapnya dan Zara. Pertanyaan yang membuat Zara mengangkat pandang.

"Silakan, ini urusan kalian berdua. Saya tidak mau setelah pergi dari sini masih ada orang yang merasa tersakiti oleh Zara." Edwin mengizinkan.

"Makasih, Om." Nara tersenyum tipis pada Edwin, lalu beralih menatap Zara. "Ikut gue, Zar."

Zara menatap ayahnya tidak yakin. Tapi Edwin menatapnya tajam, menyuruhnya bergegas mengikuti Nara yang sudah melangkah lebih dulu keluar dari ruang kepala sekolah.

Dan Zara tidak menyangka saat mereka naik kelantai tiga, semua orang—hampir semuanya—sudah berkumpul nyaris memenuhi setiap sisi lorong, di jendela jendela kelas, pintu pintu, berkerumun menatap Zara dan Nara.

Nara berhenti, berbalik menatap Zara yang ikut menghentikan langkah.

Dari arah belakang Zara, Rania dan Laudy muncul dari balik kerumunan, berdiri dibelakang gadis itu.

"Minta maaf." Suara Rania membuat Zara menoleh kebelakang.

Zara kembali melihat pada Nara. Hey, dia serius melakukan ini padanya?

"Lo nggak denger? Minta maaf sama Nara." Rania menepuk bahu Zara, menunjuk Nara dengan dagunya saat Zara menatap Rania tidak suka.

"Lo harus banget ngelakuin ini, Ra?" Zara bertanya pada Nara.

Ini sedikit berlebihan. Nara tahu itu. Tapi sesekali Zara harus merasakannya. Gadis itu harus menghilangkan kebiasaannya merendahkan orang lain. Semoga ini membuatnya mengerti.

"Lo mau minta maaf, kan? Ya minta maaf sekarang, biar Nara gak perlu jelasin lagi ke orang orang. Lagian mereka semua tahu sejahat apa lo sama Nara." Lagi lagi Rania yang menjawab dengan berani, mewakili Nara.

Zara menyeka pipi walaupun air matanya sulit untuk reda. Ia memang mau minta maaf, tapi dengan disaksikan ratusan orang seperti ini, siapa yang tidak merasa dipermalukan?

"Lama lo." Nara berbalik bermaksud pergi.

"Gue minta maaf."

Pergerakan Nara urung, kembali menghadap Zara. Ia hanya mau Zara minta maaf dengan sungguh sungguh. Itulah alasan kenapa ia membawa gadis itu naik kesini. Bukan untuk mempermalukannya.

Zara menghela napas. Sekali. Dua kali. Berusaha tenang. Ia hanya perlu minta maaf dan mengakhiri semua ini bukan? Baiklah. Itu tidak sulit. "Gue minta maaf, Ra. Gue minta maaf udah jahat sama lo, udah bikin lo sama Yesha gak lagi sama sama. Itu salah gue. Gue minta maaf sama lo."

Nara menatapnya lekat, berusaha mengorek kebohongan dikedua mata Zara. "Lo serius minta maaf sama gue? Bukan cuma pencitraan, kan?"

Zara menggeleng kuat, susah sekali membuat Nara percaya dan memaafkannya.

"Minta maaf juga sama Yesha tuh!"

"Songong banget anjir mukanya!"

"Mentang mentang kembarannya lo!"

"Huu!"

"Hu! Udah pergi sana!"

"Sok cantik banget!"

"Maafnya jangan cuma gimmic dong!"

Seru seruan murid yang menyalahkan Zara mulai terdengar riuh rendah. Membuat Zara semakin tertunduk malu. Kali ini, ia dibuat benar benar merasa salah. Nara berhasil menamparnya dengan keras tanpa menyentuh, membuat Zara ingin semua ini cepat berakhir dan Nara memaafkannya saja.

Nara termangu. Menatap Zara. Ucapan Yesha melintas dibenaknya setiap kali Nara melihat gadis itu.

"Zara suka sama gue bukan sebagai kembarannya, Ra. Tapi sebagai cewek ke cowok biasa, kayak rasa suka lo ke gue dulu."

"Brother complex maksud lo?"

"Right."

"Lo gak lagi bercanda, kan?"

"Pengen gue tunjukkin diary-nya kalau bisa, cuma udah dibakar ayah."

Sepertinya Zara tidak tahan dengan seru seruan itu. Gadis itu tiba tiba hendak berlutut dihadapan Nara, memohon maafnya dengan sungguh sungguh untuk membuat semua ini berakhir.

Demi melihat itu, Nara refleks menahan kedua lengan Zara. Terkejut. Tidak. Sudah cukup. Untuk Nara ini sudah berlebihan. "Lo ngapain, Zar?"

"Gue harus apa biar lo mau maafin gue, Ra?"

Nara menghela napas, menatap Zara lekat, lantas memeluk gadis itu. Lihatlah, Zara hanya kesepian. Belasan tahun tanpa sosok seorang ibu tidak ada yang membimbing Zara dan mengarahkannya. Zara sedang tidak sehat. Mentalnya sedang tidak baik baik saja. Astaga, apa yang gadis itu lalui bukanlah sesuatu yang ringan. Melawan perasaan Nara terhadap Yesha bukanlah apa apa. Lantas selama ini bagaimana Zara harus menjalani hidupnya melawan perasaan terhadap kakak kembarnya sendiri? Sesulit apa hari yang dia lalui?

"Kenapa Ra...?" Suara Zara tersendat. Dirinya, bahkan semua orang yang ada disana tidak menyangka Nara akan tiba tiba memeluknya sehangat ini, "Kenapa lo selalu ngalah sama gue? Setelah apa yang gue lakuin ke lo, kenapa lo selalu jadi orang baik sih? Nyebelin tahu nggak...gue benci banget sama lo..." Zara berseru tertahan, hanya bisa didengar oleh dirinya dan Nara saja.

Nara tersenyum, menyeka pipinya yang baru saja dijatuhi air mata. "Lima menit yang lalu gue juga benci sama lo, Zar. But I have a reason to forgive you. Just one reason. Dan selalu ada kata maaf buat setiap kesalahan, Zara, selalu ada kesempatan kedua buat setiap orang yang mau berubah. Gue harap lo salah satu orang yang mau berubah itu..."

Zara semakin terisak, hatinya penuh sesak oleh rasa bersalah yang tiba tiba membludak setelah mendengar ucapan Nara.

"It's okay, Zar. Gue tahu ini bukan kemauan lo, jadi pelan pelan aja. Lo punya banyak waktu buat sembuh." Nara melanjutkan, mengusap punggung Zara untuk menguatkannya.

"Yesha selalu beruntung, Ra...for love an angel like you...and I'm so sorry for everything..." Ucap Zara sungguh sungguh.

"I forgive you, Zara, it's over...everything's gonna be okay."

"Thank you, Ra."

Mereka mengurai pelukan. Nara menyeka air mata, menatap semua orang di lorong. "Guys, gue udah maafin Zara. Tentang Yesha, gak ada yang sayang ke Yesha lebih dari Zara, termasuk gue. Dibanding gue, mungkin rasa sayang Zara jauh, jauh, dan jauh lebih besar buat Yesha. Gue mau kalian maafin dia juga."

Hening. Mereka hanya menatap Nara dan Zara bergantian. Satu dua orang memaafkan, tapi sisanya belum tentu mau melakukan itu.

Zara menyentuh lengan Nara, menarik perhatiannya, membuat Nara menoleh. "Lo bakal balikan, kan, sama Yesha?"

Nara tersenyum pahit, menggeleng. "I can't."

"Why?" Zara menatap tidak mengerti.

"Ada seseorang yang lebih butuh Yesha dibanding gue. Orang yang mempertaruhkan hidup dia demi cintanya buat Yesha. Dan gue yakin suatu saat dia, Gissele, pasti maafin lo juga, Zar."

Zara terdiam lama. Rasa bersalahnya bertambah berkali kali lipat.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!