Aluna terpaksa harus menikahi seorang Pria dengan orientasi seksual menyimpang untuk menyelamatkan perusahaan sang Ayah. Dia di tuntut harus segera memiliki keturunan agar perjanjian itu segera selesai.
Namun berhubungan dengan orang seperti itu bukanlah hal yang mudah. Apa lagi dia harus tinggal dengan kekasih suaminya dan menjadi plakor yang sah di mata hukum dan Agama.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka? Baca terus ya, semoga suka! Dan maaf jika cerita ini agak kurang mengenakkan bagi sebagian orang🙏
Warning!
"Ini hanya cerita karangan semata. Tidak ada niat menyinggung pihak atau komunitas mana pun"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Whidie Arista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 - Kekhawatiran Dean
“Ponselnya tidak aktif,” ucap Jeff.
“Ya sudah biarkan saja dia.” Ungkap Dean tak peduli. Dia lantas bangkit dan berjalan mendekati Jeff.
“Jeff, sudah lama sejak terakhir kali kita menghabiskan waktu bersama. Sekarang hanya ada kita berdua di rumah ini, jadi bisakah kita–,”
Ucapannya seketika di potong Jeff, “haha Dean, sebenarnya aku ... Aku perutku sedang sakit, k-kau tahu aku sering memiliki masalah lambung. Aku akan terus mencoba menghubungi Luna, aku istirahat dulu. Selamat malam.” Jeff langsung berlalu ke kamarnya tak ingin berlama-lama bersama Dean.
‘Hampir saja. Aku tidak tahu harus mencari alasan apa lagi untuk menghindari ajakan Dean, sekarang aku sadar ternyata aku sudah kembali normal, tapi aku ragu untuk mengatakan ini semua padanya. Aku takut dia salah faham dan malah berakhir dengan putusnya pertemanan kami.’ batin Jeff.
‘Dan yang lebih aneh lagi adalah, aku memiliki perasaan lain untuk Luna. Haish, aku bingung harus bagaimana.’ keluhnya dalam hati.
Sedang diluar kamarnya, Dean mematung di tempat menatap pintu kamar Jeff yang kini sudah tertutup rapat. Bahkan Dean mendengar suara pintu terkunci dari dalam, sebegitu tak inginnya kah Jeffrey menghabiskan waktu dengannya.
Dean tahu Jeff sengaja menghindarinya, dia mengepalkan tangannya, ‘mengapa kau terus menghindariku Jeff? Apa kau sudah menemukan orang lain yang lebih baik dariku?’
Dean kembali ke kamarnya dan merebahkan diri di ranjang, menatap kosong langit-langit kamar. Satu nama yang tiba-tiba melintas begitu saja di otaknya, Luna.
‘Kemana sebenarnya si bodoh itu pergi? Kenapa juga dia mematikan ponselnya, jika sampai dia kenapa-napa Ayah pasti akan memarahiku.’ batinnya kesal.
Dia meraih ponselnya yang teronggok di atas nakas kemudian menyalakannya, dia mencoba menghubungi Luna dan benar saja nomor telepon wanita itu tidak bisa di hubungi.
“Ck, apa yang sedang dia lakukan sebenarnya? Apa perlu sampai mematikan ponsel begitu,” gerutunya, sembari melempar ponselnya sembarang arah.
Dean bangkit kembali, entah mengapa ada rasa tak tenang di hatinya, membuat kantuk seolah tertahan di dalam matanya.
Dia mendengar suara pintu terbuka, karena ini sudah malam suara sekecil apa pun bisa terdengar dengan jelas.
‘Apa itu dia?’
Dean lekas keluar, namun lagi-lagi keheningan yang dia dapati.
“Jeff!” panggilnya pelan, namun pintu kamar Jeff masih tampak sama seperti sebelumnya tak ada tanda-tanda terbuka. Atensi Dean teralihkan ke lantai atas, tanpa sadar dia berjalan naik dan membuka pintu kamar Luna pelan.
Cahaya lampu kamar itu masih menyala, bahkan ranjang pun masih tampak rapi karena memang belum terjamah sang pemilik.
Dean menghela nafas pelan, entah apa yang terjadi padanya hingga dia terus mengkhawatirkan wanita itu. Itu pasti hanya karena Ayahnya, ya karena Ayahnya! Dean meyakinkan itu pada dirinya sendiri.
Waktu terus bergulir, jam sudah menunjukkan waktu 02:30 AM. Tapi kegelisahan di hati Dean tak kunjung reda, namun karena kantuknya datang dia terlelap di jam 02:45.
Dean kembali terbangun karena bunyi alarm di ponselnya, waktu menunjukkan pukul 06:30. Dia bangkit dan masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka setelah itu ia pun keluar untuk membuat sarapan.
Matanya otomatis melirik lantai atas tempat Luna biasa berada, sumpah itu tak disengaja, itu karena reaksi ilmiah semata, dia menggelengkan kepalanya.
Jeff keluar sudah dengan pakaiannya rapi, ”pagi Dean,” sapanya sembari duduk di meja pantry.
“Pagi juga Jeff,” sahutnya sembari menaruh roti bakar dan segelas jus di hadapan Jeff.
“Thanks,” ucap Jeff sambil menyantapnya.
“Pagi sekali kau pergi Jeff?” tanya Dean sambil menilik penampilan Jeff.
“Aku di undang ke acara realiti show, acaranya mulai jam sembilan jadi aku sudah harus ada di tempat acara setengah jam sebelum acara di mulai. Terimakasih untuk sarapannya.” Jeff beranjak pergi.
“Eh Jeff...?” tanya Dean ragu.
“Ya?” Jeff kembali menoleh.
“Err, apa dia mengabarimu?” tanyanya gugup.
“Maksudmu, Luna?”
“Ya, siapa lagi.” Sahutnya malas.
“Tidak, semalaman ponselnya mati aku tidak bisa menghubunginya.”
“Oh ya sudah, hati-hati di jalan dan makan dengan benar.” Ucap Dean.
“Baiklah, aku pergi dulu.”
Dean menatap kepergian Jeff dengan tatapan datar. Dia beralih menatap roti bakar yang di buatnya masih tersisa beberapa, biasanya Luna yang akan menghabiskannya.
“Sial, lagi-lagi wanita itu, kenapa isi kepalaku selalu ada dia,” gerutu Dean dengan wajah gusar.
Dean sampai di kantor tepat pukul delapan, dia naik menggunakan lift khusus yang langsung mengarah ke ruangannya. Ada setitik harapan bahwa Luna sudah ada dan duduk di mejanya saat Dean datang. Namun, nyatanya dia masih belum kembali.
Dean merasakan rasa kecewa dan cemas dalam waktu bersamaan
“Sudahlah, mengapa aku terus memikirkannya. Nanti juga dia datang sendiri,” ucapnya.