Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Mark berdiri di depan rumah lamanya, wajahnya tegang. Rumah itu, yang pernah ia tinggali bersama Ruby dan Pinky, kini ditempati oleh orang lain.
"Apa? Dijual? Sejak kapan?" tanyanya dengan nada tinggi, suaranya menggema di lorong apartemen.
"Sudah seminggu lalu," jawab pria di depan pintu tanpa ekspresi. Ia langsung menutup pintu dengan kasar, meninggalkan Mark yang terdiam dengan rahang mengatup.
Mark mengepalkan tangan, berbalik meninggalkan gedung apartemen itu dengan langkah berat. Matanya tajam, wajahnya memerah karena menahan amarah.
"Berani sekali mereka menjual tempat tinggalku!" gerutunya, giginya bergemeletuk karena marah.
Saat itu, nada dering ponselnya memecah keheningan. Dengan gerakan cepat, ia merogoh saku dan menjawab panggilan.
"Hallo!" sahutnya kasar.
"Mark! Cepat buka berita!" suara Sania terdengar panik dan penuh emosi, hampir berteriak di ujung telepon.
Mark tanpa berkata apa-apa langsung memutuskan panggilan dan membuka ponselnya. Saat layar menampilkan berita utama, matanya membulat. Napasnya tertahan. Sebuah rekaman video yang mengejutkan terlihat jelas. Wajah Jenny terpampang di layar, dengan nama lengkapnya tertulis besar di bawahnya. Meski wajahnya bengkak, Jenny terlihat jelas, menjadi korban dari sesuatu yang keji.
"Kenapa bisa begini? Siapa yang melakukannya?" gumam Mark dengan suara serak, matanya bergetar menahan air mata. "Tidak mungkin... Pinky? Apakah dia yang melakukannya? Siapa yang menyebar rekaman ini?"
Mark memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Dan kembali masuk ke mobilnya.
Sebuah layar besar di tengah kota menarik perhatian banyak orang. Tayangan lain menggemparkan, memperlihatkan aksi Sania yang memerintahkan dua anak buahnya menahan Pinky di atap gedung tinggi. Wajah Pinky yang ketakutan jelas terlihat. Rekaman lain menampilkan Sania yang berulang kali menampar Pinky.
Kerumunan mulai heboh, beberapa mencemooh keras tindakan itu, sementara kalangan bisnis yang mengenal Sania hanya bisa menggelengkan kepala, kecewa melihat perilakunya.
Mark menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia turun dengan langkah terburu-buru, tatapannya tertuju pada layar besar.
"Apa lagi ini?" gumamnya dengan suara tertahan. "Sania menculik Pinky? Apa yang dia perbuat? Apakah dia sudah benar-benar gila?"
Sementara itu, di sebuah kantor megah, Dev duduk dengan serius di depan layar televisi. Berita itu juga membuatnya terpaku. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, wajahnya penuh konsentrasi.
Di sampingnya, Jastice, asistennya, berdiri dengan raut penasaran.
"Ternyata Nona Pinky pernah diculik. Tapi kapan kejadiannya?" tanya Jastice dengan nada heran.
"Sania adalah ibu tirinya," jawab Dev dengan suara datar namun penuh penekanan. "Dia melakukan semua itu karena cemburu dan dendam."
"Tapi, Tuan... bagaimana bisa ada rekaman semasa dia diculik?" Jastice bertanya lagi, bingung.
Dev mengangkat bahu sedikit, lalu tersenyum tipis.
"Jika itu adalah gedung kantornya Sania, pasti ada rekaman CCTV. Wanita itu terlalu ceroboh. Ia ingin melakukan kejahatan, tapi tidak sadar dengan posisinya yang bisa dipantau kamera. Dan aku yakin, yang bisa mendapatkan rekaman itu hanya Pinky." Dev berhenti sejenak, menatap layar di depannya. "Gadis itu tidak akan diam saja diperlakukan seperti itu oleh orang yang telah menghancurkan keluarganya."
Mata Dev menyipit, seolah memikirkan langkah selanjutnya. "Selain itu," lanjutnya, suaranya berubah dingin, "Sania akan segera tamat."
***
Sania berdiri di ujung ranjang pasien, diam mematung sambil menatap putrinya yang terbaring tak sadarkan diri. Tangannya mengepal erat, tubuhnya bergetar menahan emosi. Jenny, putri kesayangannya, telah dirugikan, dan itu membuatnya merasa marah sekaligus tidak berdaya.
Dokter dan suster sedang memeriksa kondisi Jenny dengan teliti. Wajah mereka serius, tak menunjukkan secercah harapan.
"Kenapa putriku belum sadar?" tanya Sania dengan nada tertekan.
"Nyonya," jawab dokter dengan suara lembut namun tegas, "pasien mengalami luka yang cukup parah. Selain itu, kondisi mentalnya juga akan memengaruhi proses pemulihannya. Saya harap keluarga siap menerima kenyataan ini."
Sania mengernyitkan dahi, matanya menyala penuh emosi. "Menerima kenyataan ini? Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya meninggi.
"Pasien akan mengalami trauma yang dalam. Untuk sembuh, baik fisik maupun mental, dibutuhkan waktu yang lama," jelas dokter sebelum beranjak keluar kamar.
Sania menatap Jenny dengan air mata berlinang. Ia mendekat ke ranjang, menggenggam tangan putrinya yang lemah.
"Jenny, masa depanmu hancur..." bisiknya dengan suara gemetar. "Semua ini karena Pinky. Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja."
Tidak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Mark muncul dengan wajah kusut, tampak jelas rasa khawatir yang mendalam di raut wajahnya.
"Sania!" serunya seraya melangkah cepat ke dalam kamar.
Sania menoleh, wajahnya langsung berubah menjadi marah. "Apa kau sudah menemukan dia?" tanyanya tajam.
Mark menggelengkan kepala dengan frustasi. "Kenapa kau menculik Pinky? Perbuatanmu sudah tersebar di berita. Dalam rekaman itu jelas terlihat Pinky ditahan oleh dua orang pria," katanya, suaranya berat karena emosi.
"Disebarkan?" Sania terperangah. Ia mengerutkan alis, lalu wajahnya berubah penuh amarah. "Ini pasti perbuatannya! Di mana dia sekarang? Anakku menjadi korban, dan aku tidak bisa diam saja!"
Mark menarik napas panjang, berusaha menahan diri. "Sania, kau telah melakukan kesalahan besar. Semua ini bermula dari tindakanmu. Untuk apa kau menculik dan mengikatnya?" tanyanya, nadanya mulai meninggi.
Sania merasa terpojok. Dengan mata yang berkaca-kaca, ia meluapkan emosinya. "Apakah kau tidak melihat keadaan anak kita? Pinky... hanya dia yang kau pikirkan! Karena dia, Jenny menjadi korban!" Ia mengarahkan jarinya ke wajah Mark. "Di luar sana, wajah Jenny sudah tersebar! Cepat selesaikan masalah ini! Hapus rekaman yang memalukan Jenny!" teriaknya histeris.
"Sania," Mark menghela napas dalam, "kau bukan mafia. Kenapa kau melakukan perbuatan jahat seperti ini? Bukti penculikanmu sudah tersebar. Bagaimana jika polisi datang untuk menangkapmu?"
"Menangkapku?" Sania tertawa kecil, tapi matanya penuh dendam. "Aku akan membawa Pinky ke penjara! Karena dia, anakku menjadi korban kekerasan seksual!" jawabnya dengan suara dingin.
Di sisi lain, Pinky berada di taman rumah barunya. Meski rumahnya sederhana, ada kebahagiaan di sana. Ia menyiram bunga dengan senyum kecil, mencoba melupakan luka-luka dari masa lalu.
Namun, ketenangan itu terganggu oleh kehadiran dua pria asing yang berjalan mendekatinya. Mereka berpakaian rapi, wajah mereka serius.
"Apakah Anda Nona Pinky?" tanya salah satu pria itu.
"Iya," jawab Pinky dengan nada lesu, menatap mereka penuh tanda tanya.
"Sebuah rekaman telah tersebar belakangan ini. Apakah Anda adalah korban penculikan? Dan Jenny, korban pelecehan seksual, apa rencana Anda setelah ini?" tanya pria itu dengan suara tegas.
Pinky mengerutkan kening, matanya menatap tajam. "Tuan, kalian siapa? Polisi atau penjahat lagi?" tanyanya sinis.
"Kami adalah detektif dari bagian kriminal. Harap Anda bekerja sama dengan kami," jawab salah satu dari mereka, menunjukkan lencananya.
Namun, kalimat berikutnya membuat Pinky tertegun.
"Anda juga menjadi tersangka atas kejadian pemerkosaan Jenny," kata pria itu dengan nada dingin.