Diumur yang tidak lagi muda, susah mencari cinta sejati. Ini kisahku yang sedang berkelana mencari hati yang bisa mengisi semua gairah cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertengkaran Dan Pengusiran
Hari ini kesibukanku adalah mengambil laporan mengenai kemajuan hotel, yang datang diantar Dio. Rasa heranpun sempat menyelimutiku, sebab aneh saja pada Dio yang kelihatan penting dan tahu sekali tentang hotel ini, tapi diri ini belum sempat menanyakan apa yang dilakukannya sekarang, sebab dia tadi kelihatan buru-buru ingin mengambil jalan arah lain.
Saat laporan sudah berada ditangan, mataku melihat heran kepada orang-orang yang berlarian kalang kabut seperti ada sesuatu menghebohkan. Karena banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan diperusahaan nanti, jadi tak perlu kupedulikan orang-orang yang sibuk berlarian. Langkah terus saja berjalan lurus kedepan, dan netra kini tertuju heran saat banyaknya orang yang semakin banyak berkerumunan, seperti menyaksikan sesuatu yang berhasil membuatku jadi ikut penasaran, sebenarnya ada apa didepan sana, ya?.
"Ayo cepat ... cepat, kita lihat perkelahian artis itu!" ucap seseorang wanita memanggil temannya yang sedang berlari lelet.
"Artis? Siapa sih yang sebenarnya mereka bicarakan sedang berkelahi? Kenapa pada heboh semua ini?" bathin hati berbicara merasa aneh.
Sebab penasaran yang begitu mengebu, akupun kini melangkah cepat untuk mencoba ikut menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat banyak sekali para wanita sedang memegang handphonenya, mungkin dengan maksud untuk merekam adegan didepanku sekarang ini. Akupun mencoba menerobos masuk dari celah-celah orang-orang yang berkerumunan, untuk ikut melihat agar bisa menghilangkan rasa penasaranku.
Bhug ... bghuugh, suara pukulan bertubi-tubi terdengar terlayangkan.
Matakupun terbelalak kaget saat menyaksikan apa yang tengah terjadi, dengan lutut terasa mulai gemetaran khawatir, akibat melihat Dio tanpa hentinya memukuli wajah Reyhan, yang kelihatan hanya pasrah atas tonjokan Dio yang bertubi-tubi terlayangkan.
"HENTIKAN DIO!" pekikku dengan suara lantang.
Semua orang berbalik terpusat melihat kepadaku, yang mana tak menghiraukan tatapan orang-orang saat melihatku aneh dan heran. Yang terpenting sekarang ini, aku harus segera menghentikan Dio yang tanpa henti memukul wajah Reyhan.
"Hentikan Dio ... hentikan," teriakku lagi.
Seketika tangan Dio hanya bisa mengambang diudara, saat suara lantangku yang kedua telah berhasil didengarkannya. Mata Dio begitu tajam menatap kearahku, yang terlihat bara api kemarahan sedang membakarnya. Cengkraman tangan Dio dikerah baju Reyhan telah dilepasnya secara kasar, dan Reyhanpun sudah melemah meletakkan kepalanya tergeletak diubin keramik.
"Apa yang kalian sekarang lihat? Puas ... puas kalian, saat orang yang lemah dipukuli, kalian hanya menjadi penonton saja tak mau melerai mereka. Pergi ... pergi ... pergi kalian, aku bilang PERGI!" teriakku kasar, mencoba mengusir orang-orang yang berkerumun.
Terlihat mereka satu persatu bubar, dengan perasaan ada yang dongkol, ada yang menatap tajam dan tak senang, bahkan ada yang hanya berbisik-bisik saja sambil berlalu pergi.
Dio nampak masih kesal namun terdiam terpaku tanpa mengeluarkan suara sama sekali dari mulutnya, yang terlihat dari kedua tangannya masih nampak mengepal kuat. Langkahku kini mencoba menghampiri Dio, yang masih mematung menatap tajam kearah Reyhan.
"Dio?" panggilku.
Wajah Dio langsung menoleh menatap kearahku.
Plaaaak, tamparan keras telah terdarat dari tanganku.
"Aku tak menyangka kepadamu, yang masih saja memukul orang yang lemah secara bertubi-tubi," Kekecewaanku berkata pada pengawal.
"Aku bisa jelaskan. Apa yang sebenarnya terjadi," Pembelaan Dio sambil memegang pipi.
"Ngak perlu ada penjelasan, semua sudah nyata didepan mataku. Pasti ini semua adalah salahmu," jawabku tak ingin mendengar kata-kata Dio.
Menduga begitu, sebab sudah menimbang atas kepasrahan Reyhan yang tidak melawan sama sekali.
"Aku beneran tidak salah disini, dan dialah yang salah atas tindakanku tadi," kekuhnya Dio membela diri.
"Jangan dengarkan Dilla, pasti dia ingin cari gara-gara padaku saja. Oleh aku dibawah kamu saja tadi, pasti kalau tidak, kita akan berduel dan pastinya berkelahi secara adil," saut ucapan Reyhan.
"Kamu? Sudah salah masih saja tidak mau mengaku," Kekesalan Dio berkata, sambil langkah ingin maju memukul Reyhan lagi.
"Hentika , Dio! Plaaak," cegahku sambil menampar pipi Dio untuk yang kedua kali.
Terlihat sorot mata Dio begitu tajam, seperti tak suka atas tindakanku yang menamparnya. Tangan kanannya lagi-lagi sudah memegang pipi putihnya, yang sudah terhias mahakarya memerah dari cap tanganku, yaitu akibat terlalu kuatnya diri ini menamparnya.
"Kamu jangan main-main lagi Dio. Aku tidak tahu apa masalah dan sebab kamu sehingga menghajar Reyhan sampai parah begini.
"Aku bisa jelaskan, paham."
"Bagiku sudah tidak perlu ada penjelasan. Sungguh-sungguh aku sangat kecewa padamu," jelasku.
"Ok. Sebenarnya kamu jangan menyalahkan satu pihak saja, dan jangan pulak membenarkan diantara kami. Mentang-mentang kamu kekasihnya, bukan berarti jika ada kesalahan pada diri Reyhan kamu bisa membela dia seenaknya saja," cakap Dio emosi.
"Aku tidak mau tahu apa yang menjadi kesalahan Reyhan, yang jelas aku kini benar-benar kecewa sama tindakanmu saja," tuturku dengan bibir sudah bergetar.
"Asalkan kamu tahu saja, bahwa Reyhan sudah keterlaluan menyakiti hati kamu, maka dari itu aku membalasnya dengan cara memukulnya," terang Dio.
"Bohong Dilla, jangan percaya ucapannya. Dia itu hanya iri saja pada hubungan kita," saut Reyhan saat kubantu dia untuk berdiri.
"Jangan dengarkan dia, Non! Kamu harus percaya pada ucapanku, bahwa Reyhan benar-benar telah menghianati dan menyakiti hati kamu," kekuh Dio berkata.
Kami bertiga berdebat. Dio kekuh tidak bersalah, sedangkan Reyhan mengaku jadi korban saja.
"Mana buktinya kalau aku menyakiti Dilla, kamu itu jangan asal main tuduh saja pada orang yang selalu menyayangi kekasihku ini," balas Reyhan tak mau kalah, yang tangan kanan merengkuh bahuku pelan.
"Haaaaissst, kamu ini!" Kemarahan Dio yang berusaha ingin memukul Reyhan lagi.
"Hentikan, jangan melangkah lagi kau ini," cegahku yang kini menghadang berdiri didepan Reyhan, dengan kedua tangan sudah merentang lebar.
"Minggir ... minggir kamu, Non! Muak melihat mukanya. Sini kamu, mau kutambah bogeman 'kah?" gertak Dio, dengan wajah menahan amarah yang hanya bisa mengemerutukkan giginya saja.
"Aku tidak akan minggir, justru yang harus minggir sekarang itu adalah kamu," tekanku berkata.
"Ooh, jadi kamu itu lebih membela dia yang telah salah, bahkan boleh disebut seorang pencundang, dari pada pengawal yang berusaha melindungi dirimu?" balasnya kelihatan emosi.
"Iya, aku akan membelanya, sebab aku yakin pasti kamu disini yang telah salah sangka pada Reyhan," jawabku santai.
"Aku salah sangka? Apa ngak salah, atas apa yang aku dengarkan barusan? Kamu jangan terlalu dibutakan oleh cinta, sehingga kamu tidak mengenali kebusukkannya dibelakangmu," balik cakap Dio yang kian emosi.
"Kamu jangan sok tahu, aku sudah mengenal Reyhan selama sepuluh tahun lebih, jadi aku tahu betul sifatnya, yang dibandingkan kamu belum genap sebulan tapi sudah sok tahu," terangku menjawab.
"Aaaah, minggir!" pekik Dio kesal, menjambak rambut sendiri sebab frustasi aku membela Reyhan.
Dio sudah berancang-ancang ingin maju dan akan memukul Reyhan lagi.
"Aaaahh, tidak ... hentikan, Dio?" teriakku dengan memejamkan mata, takut-takut kena pukul Dio.
"Aaaaahhhhhh, sial! Bangs*t kau, Reyhan!" Kekesalannya menahan tinjuan.
Mata seketika kubuka, dan untung saja tangannya diurungkan.
"Sudah, Dio. Hentikan."
"Aaah, bulsit."
Tangan sudah mengayun untuk memberi pelajaran pada Dio lagi, sebab emosinya sudah melampaui batas.
Plaaak, lagi dan lagi untuk kesekian kali kutampar wajah tampannya itu.
"Pergi kamu, Dio!" usirku.
"Apa?" Kekagetanya sambil memegang pipi, mungkin sudah merasa kesakitan akuf akibat tiga tamparan terdarat dipipi yang sama.
"Iya, pergi kamu dari sini! Jangan menampakkan lagi wajah kamu dihadapanku lagi. Aku muak dan benci sekali terhadap kamu. Pengawal dari kampung saja sok-sok'an, dan selalu saja ikut campur urusan pribadiku. Kamu seharusnya ngaca kamu itu siapa dan dari kalangan mana kamu itu berada. Dasar!" Hinaku yang kini emosi.
"Oh, jadi begitu. Ternyata kamu lebih percaya dan mementingkan si b*j*ng*n ini, dari pada diriku. Lidah kamu ternyata bisa tajam juga menghina orang. Aku juga kecewa padamu, sebab tidak menyangka wanita seanggun dan terhomat sepertimu bisa memandang rendah diriku. Cukup sadar dan tahu diri kok, bahwa aku itu berasal darimana, dan asalkan kamu tahu bahwa diriku masih punya harga diri yang tidak perlu kamu hina dan injak-injak hanya gara-gara cowok yang tak berguna seperti dia. Ok! aku akan pergi menjauh dan tak akan penah menampakkan diriku dihadapan kamu lagi," tegasnya suara Dio menjawab.
"Kali ini kamu beruntung Reyhan, sebab aku tadi tidak menghajar kamu sampai mati. Sekarang kamu puas, hah! dan berhasil menang telah membuatku menyingkir dari majikan yang seharusnya kujaga," imbuh kata Dio pada Reyhan.
"Cepat pergi!" teriakku sekuat-kuatnya, sebab terasa sudah muak sekali melihat Dio.
"Baiklah aku akan pergi segera. Tak payah membuang tenaga kamu untuk mengusir dengan cara berteriak-teriak kepadaku. Kalau bukan demi perintah tuan besar, aku juga tak sudi untuk menjaga kamu. Kudoakan semoga kalian bahagia, byeee!" jawab ketegasan dio berucap.
Dio dengan secepat kilat membalik badan, dan aku hanya bisa mematung melihat tubuh Dio yang melangkah pergi menjauh dariku.
anyway bagi satu perusahaannya ga akan bangkrut kalii bole laa
jangan suka merendahkan orang lain hanya karna orang itu dari kampung..
ntar km kena karma.
semoga dio bisa tahan y jadi pengawal Dilla
nekat banget sih km,,agak laen y cewe satu ini.. 😂🤦♀️