Citra adalah seorang gadis culun yang dijodohkan oleh kakeknya pada pria tampan dan kaya raya.
Dan dia juga sengaja menyembunyikan identitasnya pada semua keluarganya, tidak terkecuali pada suaminya sendiri.
Karena dia ingin melihat, apakah suaminya benar-benar mencintainya atau tidak.
Apakah Citra dan Rifki bisa bersama lagi? setelah Citra mengetahui kalau Rifki dan Syasi sudah punya anak.
Sedangkan Syasi adalah adik tirinya Citra sendiri.
Bagaimana kisahnya? yuk intip terus perjalanan kisah cinta antara Rifki dan Citra di Rahasia Menantu Culun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riski iki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Menantu Culun Bab 35
Rahasia Menantu Culun Bab 35
Sinar matahari mulai menembus celah gorden, dan Citra yang sedang terbaring di atas ranjang mulai mengerjap Indra penglihatannya.
"Hoam…!" perlahan Citra kembali menutup mata.
Entah kenapa, pagi ini Citra merasa sangat malas untuk melakukan sesuatu, padahal semalam Robin sudah menghubunginya kalau pagi ini ada meeting penting, dan itu tidak bisa di wakilkan.
Ya, semenjak kejadian kemarin di restoran, Citra mulai menata hati dan pikiran, lalu memantapkan diri bahwa dia tidak mau terpuruk terlalu lama.
Memang masa lalunya yang suram masih tergambar jelas di ingatan, tapi sebagai wanita ia harus kuat, tidak boleh lemah seperti kemarin-kemarin dan kalau perlu Ia harus membalas dendam kepada semua orang yang menyakitinya dulu.
Namun, sebagai naluri seorang wanita tentu saja Citra tak mampu melakukan hal itu semua, terlebih Syasi adalah adiknya.
Memang dulu Citra sangat sakit hati atas perlakuan Syasi terhadap dirinya, bahkan dia berambisi untuk merebut kembali suaminya dari pelukan Syasi.
Namun, Citra menyadari satu hal bahwa mencintai seseorang secara sepihak sangatlah menyakitkan. Maka dari itu ia lebih memilih mundur.
Seiring berjalannya waktu, rasa cintanya terhadap Rifki mulai memudar. Namun, satu hal yang tidak Citra mengerti. Kenapa setelah dirinya memilih mundur Rifki malah semakin terobsesi terhadap dirinya?
Bahkan dengan tega menculiknya dan melakukan kekerasan ******* terhadap dirinya.
Citra yang masih terbaring di atas tempat tidur, tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang mendesak ingin keluar dari perutnya.
Buru-buru ia beranjak dari tempat tidur, dan langsung berlari menuju kamar mandi.
Huek...huek...huek
Citra pun memuntahkan cairan pahit dari dalam perutnya. Dan setelah selesai ia kembali berbaring di atas tempat tidur.
Namun baru saja dia hendak memejamkan mata, tiba-tiba rasa mual kembali mendera, dan mau tidak mau Citra harus berdiri, kemudian berjalan sedikit sempoyongan menuju kamar mandi.
Usai memuntahkan isi perutnya untuk kedua kali, kemudian Citra berpikir sejenak sambil menatap air keran yang masih mengalir.
"Tidak mungkin," ucapnya tiba-tiba. Lalu dia terduduk lemas di atas lantai.
Tanpa terasa bulir bening pun mulai menetes tanpa permisi dari kelopak mata.
Ya, Citra baru menyadari satu hal, bahwa semenjak Rifki menculik dia dan melakukan aktifitas hubungan suami istri dengan dirinya , sampai detik ini ia belum pernah sama sekali kedatangan tamu bulanan.
Menyadari hal itu, Citra menggeleng cepat, lalu dia menepis apa yang dia pikirkan. Dan meyakinkan dirinya bahwa saat ini dia hanya masuk angin.
Citra pun berusaha berdiri dari tempat duduk, karena sejak tadi ponselnya yang berada di atas nakas terus saja berdering.
Dengan langkah sedikit sempoyongan kemudian Citra berjalan menuju nakas.
"Hallo Robin, ada hal penting apa kau menghubungiku pagi-pagi buta begini?"
Robin mendengus kesal, bukankah semalam dia sudah mengingatkan sahabatnya bahwa pagi ini ada meeting penting di kantor, dan meeting penting itu tidak bisa di wakilkan oleh dirinya.
"Kau itu pikun atau apa, semalam aku sudah mengingatkan dirimu bahwa pagi ini ada meeting penting di kantor."
Citra yang mendengar penjelasan sahabat sekaligus orang kepercayaannya, ia pun langsung menepuk jidatnya.
"Oh...iya, maaf aku lupa. Untung kamu mengingatkan aku," jawab Citra lalu dia memutuskan sambungan teleponnya.
Namun, sebelum dirinya memutuskan sambungan telepon tadi, dia berjanji pada Robin bahwa dirinya akan sampai dalam kurun waktu dua puluh menit.
Di lobby, Robin pun mulai merasa tidak tenang. Pasalnya sudah dua puluh lima menit ia menunggu, tapi Citra tak kunjung jua menampakkan diri.
Padahal sekarang rekan bisnis mereka Tuan Mirza beserta yang lain sudah menunggu di ruang meeting sejak tadi. Dan meeting akan dimulai lima menit lagi.
Robin pun mondar-mandir tidak karuan di lobby, hatinya merasa tidak tenang dan gelisah. Namun dirinya tiba-tiba tersenyum saat melihat mobil mewah milik Citra mulai memasuki area perkantoran.
Dengan langkah kaki seribu, Robin pun langsung menghampiri mobil Citra, lalu dia membuka pintu mobil.
"Kenapa lama sekali? Tuan Mirza dan yang lainnya sudah menunggu kedatanganmu sejak tadi?"
Citra tak menjawab pertanyaan Robin, Ia hanya tersenyum melihat wajah masam sahabatnya.
"Maaf," ucapnya kemudian.
Robin menelisik penampilan sahabatnya, kemudian keningnya berkerut saat melihat wajah Citra yang tampak pucat pasi.
"Kau sakit," kemudian Robin dengan refleks menempelkan punggung tangannya di kening Citra.
Citra menggeleng cepat, lalu dia menepis tangan Robin dari kening, sambil mengajak Robin untuk segera masuk karena meeting akan segera dimulai.
Sesampainya di ruang meeting, Citra pun melihat kursi semuanya telah terisi penuh, dan itu berarti hanya dirinya saja yang belum datang.
Sambil tersenyum ramah, kemudian Citra menyapa semua rekan bisnisnya dan langsung meminta maaf atas keterlambatannya.
Angga yang sedang duduk berdekatan dengan Tuan Mirza, mereka berdua langsung menghentikan obrolan, ketika Citra sudah memasuki ruangan.
Meeting pun dimulai, hingga dua jam berlalu barulah meeting itu selesai.
Citra merasakan sekujur tubuhnya lemas, dan wajahnya pun kini sudah berubah pucat pasi.
Robin yang merasa kalau Citra sedang tidak baik-baik saja, lalu dia menuntun Citra masuk ke dalam ruangannya.
Namun, baru saja mereka berdua hendak masuk, Angga tiba-tiba memanggil dari arah belakang.
Sama seperti Robin, Angga pun merasa cemas terhadap Citra, karena sejak tadi memasuki ruangan meeting wajah Citra sudah tampak pucat.
"Ada apa?" ujar Robin.
Angga menatap sekilas wajah Robin, lalu dia dengan cepat mengalihkan pandangannya terhadap Citra.
"Aku tidak memanggil namamu, tapi kenapa kau yang menyahut."
Citra yang merasa tampak kesal mendengar ocehan keduanya, lalu dia menyuruh Angga dan Robin untuk segera diam. Karena rasa pusing di kepalanya semakin menjadi.
Tubuhnya kian melemah, hingga sepersekian detik kemudian Citra pun akhirnya pingsan di dalam dekapan sahabatnya, Robin.
Robin yang menyadari hal tersebut, dia langsung membopong tubuh Citra masuk ke dalam ruangan, sedangkan Angga ia hanya mengekor di belakang Robin.
Angga tampak sangat panik, begitu juga dengan Robin, kedua laki-laki tampan itu bingung harus berbuat apa sekarang.
"Citra... Citra," Angga menepuk-nepuk pipi wanita yang sudah merebut hatinya itu dengan lembut.
Namun, tampaknya Citra tidak ada tanda-tanda untuk bangun. Dan sekarang wajah Citra pun semakin tambah pucat.
"Telepon dokter sekarang Robin, kenapa kau malah diam saja."
Robin menepuk jidatnya sendiri. Kenapa sejak tadi dia tidak kepikiran untuk menelpon dokter.
"Dasar bodoh," umpatnya pada dirinya sendiri.
Dengan rasa panik yang mendera, kemudian Robin men-dial nomor telepon dokter Lisa.
"Hallo," jawab dokter Lisa yang langsung terhubung.
Robin pun mengatakan tujuannya untuk menelpon sang dokter, lalu dia menyuruhnya untuk segera datang ke kantor Pratama Group.
"Baiklah, aku akan segera datang," ucap dokter Lisa.
Kemudian dia memutuskan sambungan telepon, dan langsung beranjak dari tempat duduknya menuju tempat yang diberitahukan oleh Robin.
aneh
hnya dlm novel perempuan itu bego dlm cinta.tp dlm nyata perempuan itu rooaarrr