"Mama masih hidup! Mama masi hidup!" mata bocah itu berkaca-kaca saat Daniel mengatakan bahwa ibunya sudah meninggal. Ia tak terima jika ibunya dikatakan sudah tiada. Ia meninggalkan Daniel yang tidak lain ayahnya sendiri.
Terpaku menatap pundak bocah itu berlari meninggalkannya masuk ke dalam kamar.
Kenzie membanting pintu dengan keras, ia mengunci pintu rapat. hingga Daniel yang berusaha menyusulnya merasa kesulitan untuk membujuk putranya.
Daniel tau putranya, jika sudah seperti itu, Kenzie tidak akan mau bicara dengannya. Ia tidak akan memaksa putranya dalam keadaan seperti ini, hanya ia takut dengan kesehatan putranya semakin memburuk hingga ia memilih pergi.
"Temukan dokter itu, Saya akan membayarnya mahal," ucap Daniel dingin setelah mendapatkan telpon dari seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon desi m, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Pagi harinya
Ariana bangun dari tempat tidurnya, dia bangkit dan berjalan keluar, setiap langkahnya membuat dua meringis kesakitan.
Seharusnya, setelah melewati satu malam, biasanya tidak sesakit ini lagi. Tapi kenapa rasa sakitnya tidak berkurang?
Reva membuat sarapan, setelah mereka menyelesaikan sarapannya. Deffan memutuskan untuk mengantarkan Reva dan Revi terlebih dahulu ke taman kanak-kanak, lalu mengantar Mama untuk merawat Kenzie.
"Tidak perlu Deffan, jika Daniel tau, maka dia akan ...."
"Jangan khwatir, Ma. Aku akan bersembunyi dan tidak akan keluar."
"Itu terlalu berbahaya untuk mu Deffan!"
"Tidak apa-apa, Ma. Aku sudah mengenal rumah besar itu. Mereka tidak akan menemukan aku, Mama harus percaya dengan IQ dan kemampuan putra mu ini."
Deffan berusaha untuk meyakinkan Ariana.
Ariana mengulurkan tangannya dan mengelus kepala kecil putranya.
"Kalau begitu kamu harus hati-hati."
Setelah menyiapkan keperluan medis Mama, mereka segera naik taksi yang sudah di pesan Deffan sebelumnya.
"Untuk berjaga-jaga, aku akan turun du sini saja, agar tidak ketahuan sama mereka."
Deffan sengaja turun mendahului Ariana. Setelah itu barulah Ariana turun setelah mobil taksi itu sampai di depan gerbang rumah itu.
Ariana menghabiskan banyak waktu hanya untuk berjalan ke ruang tamu saja, butiran keringat kecil membasahi pelipisnya. Dia berjalan lambat sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Rasa mau mati saja kalu seperti ini! Dia tidak ingin menatap wajah Daniel yang duduk di ruang tamu. Ariana langsung duduk di sofa tanpa di suruh.
Daniel menyipitkan kedua matanya
Ah ....
"Benar-benar tidak sopan. Siapa yang menyuruh mu untuk duduk?"
Ucap suara dingin itu terdengar jelas di telinga Ariana. Hati Ariana yang sudah meluap penuh amarah sejak kemarin. Ariana tidak sabar ingin memarahi pria angkuh dan arogan ini. Lalu dia berpikir lagi. "Tidak, aku tidak boleh melawannya seperti itu! Harus pakai trik, pakai trik."
Ariana menatap Daniel dengan wajah sedih.
"Pak Daniel, kaki ku benar-benar terluka, sakit sekali. Untuk berdiri saja aku susah."
Mata dingin Daniel itu terpaku pada kaki Ariana.
"Bagaimana bisa terluka?"
Ariana tertegun, dia tidak boleh mengatakan yang sebenarnya.
"Aku tidak sengaja menginjak sesuatu yang tidak seharusnya aku injak."
"Apa yang kamu injak?" keningnya mengerut.
"Aku menginjak kerikil!"
"Masa menginjak kerikil saja kau bisa terluka seperti itu, kau benar-benar aneh."
"Ini tumpukan kerikil yang kasar. Coba saja kau berjalan di atas hamparan kerikil yang taham tanpa alas kaki beberapa putaran saja."
Daniel mengernyit menatapnya dan mendengus dingin.
"Aku tidak gila seperti mu, justru kau yang tidak waras. Apakah kau sedang merencanakan sesuatu? Jangan menyiksa diri mu sendiri."
Ariana terpaku.
"Kau. Kau yang tidak waras. Aku juga terpaksa melakukannya!"
"Orang yang berbuat jahat, akan selalu punya alibi!" Daniel langsung menghakimi Ariana.
Ariana sangat marah mendengar Daniel langsung menghakiminya terhadap lukanya. Rasanya, ingin Ariana mengambil vas bunga di sampingnya dan membanting vas bunga itu di atas kepala bajingan Pria ini sampai dia berdarah-darah.
"Benarkah?"
Suara dingin Daniel membuatnya tersadar dari dunia nyata yang keji.
Berkali-kali Ariana mencoba untuk sabar, dan mengelus dadanya supaya tidak meledak.
"Aku tidak berbuat jahat, aku hanya bertemu dengan perampok, dan berlari sambil melepaskan sepatu ku, maka dari itu kaki ku terluka menginjak kerikil itu."
"Perampok ingin merampok mu? Kenapa bisa?"
Daniel tersenyum kecil menatap Ariana, tersenyum mengejek dan menghina.
Ariana menghela napas. "Ya, mengapa mereka mau merampok ku aku tidak tau."
Daniel tersenyum dingin.
"Karena mereka buta."
"Kau ...."
"Sudahlah, jangan membuang-buang waktu, cepat lakukan pengobatan akupuntur Kenzie."
"Pak Daniel, saya benar-benar tidak berani melangkah, jadi saya ...."
"Kau benar mau aku gendong?" Suara Daniel terdengar tidak buru-buru.
Eh ....
"Aku. B ..., bukan." Dia kan tidak sebaik itu.
Dia tadi ingin mengatakan, tidak berani melangkah dan harus berjalan pelan-pelan sekali.
Daniel bangkit dan berjalan ke arahnya, dan membungkuk memeluk. Wajah dinginnya sudah sangat dekat sekali, tapi Pria bajingan ini mengapa tetap saja mengernyitkan kening dengan geli.
Ariana tertegun sejenak.
Apakah Pria ini benar-benar ingin menggendongnya?
Sikap Pria ini benar-benar aneh sekali. Jangan-jangan ia sengaja akan menjatuhkannya nanti.
Memikirkan hal ini, dengan cepat dia merangkul kan tangannya di leher Daniel dengan erat.
Daniel melihatnya dengan geli.
"Lupakan saja, tidak ada gunanya kau mencoba memelukku dengan cara merangkul seperti itu?
Memeluk?
Bukanya Daniel yang memeluknya lebih dulu?
Dia hanya takut di buat jatuh olehnya.
"Aku tidak bermaksud untuk memeluk mu."
Daniel mendengus dingin.
"Merangkul leher Pria seperti ini, masih berani berkata seperti itu! Di mana muka mu?"
"Muka letaknya ya di muka. Orang yang buta baru tidak tau di mana letaknya."
Daniel melangkah ke kamar Kenzie, dan membaringkan tubuh Ariana di tempat tidur Kenzie.
"Sudah waktunya untuk memulai."
"Daniel, kotak obat ku masih di luar."
Daniel menatapnya dingin. Dan dengan tidak sabar ia pergi ke ruang tamu untuk membantu mengambilkannya.
"Kenzie, apakah papa mu tidak menemukan sesuatu yang aneh?"
"Tidak."
Dia sangat lapar tadi malam. Daniel mengira dia sudah memakan semua makanan yang Deffan bawa. Dan karena takut sistem pencernaannya tidak baik, maka Daniel tidak meminta juru masak untuk membuatkan makanan untuknya.
Sepanjang malam Kenzie menahan laparnya, untung dia masih bisa menahannya sampai pagi.
Dia juga malas untuk mengatakannya.
"Baiklah."
Begitu Ariana selesai bicara. Dia mendengar suara pintu lemari di dorong.
"Hey dokter Messa!"
"Deffan!"
Ariana terkejut melihat Deffan keluar dari dalam lemari. Di depan Kenzie, dia tidak bisa memanggilnya Mama, dia hanya bisa memanggilnya dengan sebutan dokter Messa.
"Hehehehe, jangan khwatir, disini aman." Deffan berkata sambil menatapnya dengan mata yang nakal.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Kenzie mengingatkan Deffan untuk bersembunyi dengan cepat. Deffan segera berlari mendekati pintu lemari, kemudian membukanya dan bersembunyi di dalamnya.
Hati Ariana berdegup kencang. Dalam hatinya berdoa: "Deffan, kau harus hati-hati, jangan sampai ketahuan."
Baru saja Ariana menyiapkan jarum perak, tiba-tiba terdengar teriakan dari luar.
"Kakak, kakak, kau ada di mana?"
Lalu dia melihat Reko masuk dengan terburu-buru.
Ketika melihat Ariana, dia tertegun.
"Siapa wanita ini?"
"Dokter yang merawat Kenzie."
"Mengejutkan ku saja, ku kira dia mamanya Kenzie yang juga kakak ipar ku."
"Kau tidak mempunyai kakak ipar dan Kenzie juga tidak memiliki Mama."
"Punya! aku punya Mama!" Kenzie membalas dengan marah.
"Mama mu tidak peduli dengan hidup dan mati mu, jadi anggap saja dia sudah mati."
Daniel berkata dengan sengaja melirik Ariana.
Ariana menatapnya dengan marah. Melihat itu, Daniel sangat senang. Dia sengaja membuat Ariana emosi.
Marah? Rasakan! Apa yang dia katakan memang kenyataan.
Hanya mau melahirkan tetapi tidak mau merawat dan membesarkannya! Dia tidak layak menjadi seorang Mama untuk Kenzie.
"Mama ku belum mati Papa! Kenapa kau selalu mengatakan kalau Mama sudah mati?"
Wajah Kenzie berubah dingin dan menatap Daniel dengan kecewa.
Ariana mengerutkan bibirnya kemudian tersenyum.
"Kenzie, menurut mu, normal tidak jika ada seseorang mengharapkan orang lain untuk mati? Jangan peduli dengan orang gila."
Setelah berkata seperti itu, dia melirik Daniel dengan angkuh.
Reko yang berdiri di samping sangat terkejut. Dari mana asal-usul wanita ini?
Bagai mana dia begitu berani mengatai saudara laki-lakinya tidak bermoral, sadis dan keras kepala itu dengan sebutan orang gila?
Apakah dia benar-benar hebat, atau tidak takut mati?
Jika aku adalah bukan adiknya dari seorang Daniel, maka dia akan mengacungkan dua jempol padanya.
"Dokter Messa, ada pepatah mengatakan, bahwa bencana akan datang dari mulut anda sendiri, dan aku rasa anda sudah cukup mengerti!"
Mendengar kata-kata Daniel yang penuh dengan makna itu membuat Ariana gemetar.
Melihat mata Daniel yang dingin, tiba-tiba tubuhnya seakan menggigil.
Apakah bajingan ini akan membuat rencana untuk melakukan sesuatu padanya?
Ariana menyembunyikan ketakutannya. Riwayatnya akan segera berakhir.
.
.
.
Author sudah update ya
ayo dukung terus karya author