Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
"Aku kecewa karena suamiku sendiri berniat menjandakan aku demi membahagiakan wanita lain."
Pelangi Faranisa, seorang gadis taat agama yang dijodohkan dengan pria brutal. Di malam resepsi pernikahan, ia dipermalukan oleh suaminya sendiri yang pergi tanpa permisi dan lebih memilih mabuk-mabukan.
Pemberontak, pembangkang, pembuat onar dan pemabuk berat. Itulah gambaran sosok Awan Wisnu Dewanto.
"Kamu tidak usah terlalu percaya diri! Aku tidak akan pernah tertarik denganmu, meskipun kamu tidak memakai apa-apa di hadapanku!" ~ Awan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hubby-nya Mana?
Awan membeku menatap Pelangi yang tengah kesulitan menyembunyikan rona merah di wajahnya. Sikap malu-malu yang ditunjukkan Pelangi terasa sangat menggemaskan baginya. Kulit wajah yang tampak putih bersih tanpa noda membuat rona merah di wajahnya terlihat sangat jelas.
Ingin sekali Awan membelai wajah itu, hingga memaksa otaknya berpikir keras bagaimana cara agar dapat melakukannya.
“Kamu sakit, ya? Pipi kamu merah.”
Bukannya berkurang, rona merah di wajah Pelangi malah terlihat semakin jelas. Bahkan rasa panas terasa merambat ke seluruh bagian wajahnya.
“Tidak apa-apa, Mas,” jawabnya gugup.
“Masa sih? Coba sini aku lihat!” Awan menarik lengan Pelangi hingga terduduk di tepi tempat tidur. Sikap lembut yang membuat Pelangi seketika menundukkan pandangan. Awan meletakkan tangannya di kening, kemudian turun ke pipi.
Kala tangan hangat itu menyentuh wajahnya, tubuh Pelangi bereaksi dengan cepat. Ia gemetar, ini adalah pertama kali ia disentuh seorang pria selain ayah dan Zidan. Dan Awan dapat membaca reaksi istrinya itu.
“Mas, aku mau bawa itu ke kamar mandi dulu.” Pelangi menunjuk wadah berisi air dan handuk kecil yang tadi ia gunakan untuk membasuh tubuh Awan.
“Tunggu sebentar!” Dengan cepat, Awan menarik pergelangan tangan Pelangi. “Ada sesuatu yang mau aku katakan.”
“Apa?” tanya Pelangi dengan pandangan tertunduk.
“Mungkin kamu sudah bosan mendengarnya, tapi aku benar-benar minta maaf untuk semua kesalahanku selama ini.” Awan menjeda ucapannya dengan hela napas panjang. “Aku terlalu banyak menyakiti kamu, melalaikan kewajibanku sebagai suami dan tidak memberikan hakmu sebagai istri. Dan setelah semua keburukan yang kulakukan, dengan mudahnya kamu memaafkan aku.”
“Kita akan memulai semuanya dari awal dan membuka lembar baru.”
Awan mengangguk pelan. Keduanya larut dalam tatapan itu. Pelangi semakin berdebar saat Awan menariknya sedikit lebih maju. Hingga bibir pria itu hampir menyentuh kening. Namun, suara ketukan pintu yang terdengar secara tiba-tiba berhasil menunda ciuman itu. Keduanya refleks saling menjauh dengan wajah yang sama-sama memerah.
Pintu terbuka, disusul oleh kemunculan Zidan dari balik pintu. “Assalamu’alaikum, Kak.”
“Ganggu aja lo!” Namun, makian itu hanya ia teriakkan dalam hati.
“Wa’alaikumsalam,” balas mereka bersama.
Seperti biasa, pemuda itu tersenyum ramah ke arah kakak dan kakak iparnya. “Ibu minta aku ke mari membawa makanan untuk Kakak.”
Pelangi meraih paper bag pemberian Zidan, lalu meletakkan ke atas meja. Ia memang belum makan sejak siang tadi karena sibuk mengurus suaminya. “Terima kasih, Dek. Maaf, membuat kamu repot.”
"Sama sekali tidak, Kak." Zidan mendekati pembaringan dan menatap kakak iparnya. “Kak Awan bagaimana keadaannya? Mendingan?”
“Jauh lebih baik,” jawabnya. “Ibu bilang kamu yang mendonorkan darah untuk kakak. Terima kasih, Zidan.”
“Sama-sama, Kak. Syafakallah.”
"Ya udah, sekarang lo pulang! Gue ada urusan sama kakak lo."
“Oh ya, Kak. Ibu minta aku tetap di sini menemani Kakak. Katanya biar Kakak ada yang menemani,” ucap Zidan kepada Pelangi.
Hela napas panjang dari Awan pun terdengar. Zidan membalikkan tubuhnya setelah melihat wajah Awan yang cukup mendung. Reaksi lucu yang memaksa Zidan untuk mengatupkan bibirnya demi menahan tawa.
..........
Awan tertidur setelah meminum obat. Sementara Pelangi dan Zidan sedang mengobrol di sofa.
Pelangi menceritakan tentang keinginan suaminya yang ingin belajar memperbaiki diri. Zidan pun turut mengaminkan niat baik kakak iparnya.
"Alhamdulillah, aku ikut senang Kak Awan mau hijrah. Semoga menjadi imam yang baik untuk Kakak dalam membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah."
"Aamiin. Terima kasih, Dek. Dalam proses belajar itu, mungkin kakak akan butuh bantuan kamu. Kamu tahu kan, seperti apa Mas Awan sebelumnya? Tidak mudah meninggalkan kebiasaan lama yang berhubungan dengan kenikmatan dunia."
Zidan mengangguk penuh semangat. "Insyaa Allah, Kak. Kita akan sama-sama belajar bersama Kak Awan."
Pelangi mengusap bahu adiknya. "Sekali lagi terima kasih, Dek. Kakak mana yang tidak akan merasa beruntung memiliki seorang adik seperti kamu."
"Hmm ... Mulai deh bahasa rayuannya keluar."
Mereka pun tertawa bersama.
...........
Waktu menunjukkan pukul satu dini hari ketika Awan terbangun dari tidurnya. Hal pertama yang hadir dalam pandangannya adalah Pelangi yang tengah menjalankan shalat malam. Ia tersenyum, wajah Pelangi begitu teduh tanpa beban.
Awan menatap sofa bed tak jauh dari tempatnya berbaring. Tak terlihat Zidan di sana.
"Zidan di mana? Bukannya tadi katanya mau nginap di sini ya?" tanya Awan sesaat setelah Pelangi selesai shalat. Pelangi melipat mukenahnya dan memasukkan ke dalam tas.
"Aku suruh pulang, Mas. Besok dia ada kuliah."
"Oh ..." jawabnya singkat. "Kamu belum tidur sejak tadi?"
Sambil tersenyum, Pelangi menggeleng. "Aku belum bisa tidur, makanya shalat dulu."
"Ya sudah, kalau begitu sini dulu sebentar." Awan mengulurkan tangan dan segera disambut oleh Pelangi.
Satu hal yang membuat Pelangi terus berdebar hari ini, sikap Awan sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Ia yang tadinya dingin menjadi hangat dan perhatian.
"Sekarang kamu tidur, ya. Aku tidak mau kamu jadi sakit karena kurang istirahat. Kamu dengar sendiri kan, tadi kata dokter kakiku tidak begitu parah."
"Iya, Mas. Aku akan tidur, tapi kalau Mas butuh sesuatu bangunkan aku, ya."
Awan mengangguk. Dalam hitungan detik dan gerakan yang sangat tak terduga, ia telah berhasil menarik Pelangi hingga bibirnya menyatu dengan kening. Mata Pelangi terpejam rapat, jantungnya semakin berdebar merasakan ciuman yang dalam dan lembut.
Untuk beberapa detik, waktu seakan terhenti. Pelangi baru tersadar ketika tangan Awan mengelus puncak kepalanya yang terbalut khimar.
Saking gugupnya, ia sampai gemetar, dan sayangnya terlihat sangat jelas. Rasanya Awan ingin meledakkan tawa saat itu juga. Baginya Pelangi sangat berbeda dengan gadis-gadis yang selama ini berteman dengannya.
"Selamat tidur!" ucap Pelangi pelan.
"Hubby-nya mana?"
....
..........