Keenan Arka Adrian, pemuda berusia hampir 21 tahun. Mengalami sebuah masalah yang membuatnya harus berjuang keras guna membayar kuliah. Pekerjaannya sebagai model pun sedang sepi Job.
Sementara ia membutuhkan uang dalam jumlah besar. Guna menutupi hutang orang tuanya dan juga membiayai pengobatan sang ayah tiri yang selama ini sudah mengasuhnya seperti anak sendiri.
Di lain pihak, Amanda Marcellia. Seorang CEO dari grup perusahaan ternama. Yang selama hampir 31 tahun hidupnya tidak pernah terpikir untuk menikah dan menganggap jika laki-laki itu tidaklah penting.
Amanda tiba-tiba saja ingin memiliki anak. Ia ingin ada penerus bisnisnya di kemudian hari. Namun Amanda tidak mau terikat pernikahan secara resmi. Tetapi ia juga tidak mau memiliki anak di luar nikah.
Akhirnya ia memutuskan untuk mencari laki-laki yang mau menikah siri dengannya dan memberinya anak. Tentu saja dengan bayaran yang tinggi.
Pada saat yang bersamaan, ia bertemu dengan Kenan Arka Adrian. Yang juga tengah mencari pekerjaan tambahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pratiwi Devyara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Mudah
Turn down the lights
Turn down the bed
Turn down these voices inside my head
Lay down with me
Tell me no lies
Just hold me close, don't patronize
Don't patronize me
'Cause I can't make you love me if you don't
You can't make your heart feel something it won't
Here in the dark, in these final hours
I will lay down my heart and I'll feel the power
But you won't, no you won't
'Cause I can't make you love me, if you don't
Sama seperti makna lagu bertajuk, "I Can't Make You Love Me." Yang belakangan dipopulerkan kembali oleh Shane Filan. Begitulah perasaan Keenan Arka Adrian, ketika melihat Amanda Marcelia akhirnya berlabuh di dalam pelukan Zhio Nino Andhika.
Setelah sekian purnama mereka terpisah, Amanda menangis di pelukan Nino dan begitu juga sebaliknya. Sementara Arka seketika remuk demi menatap semua itu.
Ia tak bisa membuat Amanda mencintainya, tak akan pernah bisa. Sebab hati wanita itu telah tertinggal di dalam hati Nino, meski kini didalam rahim Amanda tumbuh bayi mereka. Meski di dalam setiap erangan saat mereka bercinta, Amanda selalu meneriakkan nama Arka. Tetap saja hatinya bukan milik Arka.
"Kamu kemana aja, Nin?"
Amanda terisak menatap Nino, sedang Nino pun berurai air mata sambil memegang wajah Amanda.
"Maafin aku, Amanda."
Nino seperti sesak dadanya dan mereka kembali berpelukan. Arka berbalik dalam diam, melangkah gontai ke arah mobil dan meninggalkan tempat itu. Sementara Amanda dan Nino kini berjalan menuju ke suatu tempat.
Nino mengajak Amanda ke kediamannya. Disebuah apartment mewah yang tak begitu jauh dari penthouse Amanda. Disana mereka bercerita banyak hal, termasuk dimana Nino selama ini.
"Jadi, kamu tinggal di Jerman?" tanya Amanda.
"Iya, aku tinggal dalam sebuah keluarga yang sangat baik. Aku punya ayah, ibu, juga punya seorang saudara, anak kandung mereka. Kami hidup bahagia disana." jawab Nino.
"Kenapa kamu nggak ngasih tau aku, waktu kamu pergi?"
Nino membuang pandangannya.
"Sebenarnya waktu itu, aku baru akan berangkat seminggu kemudian. Tapi karena bisnis ayah angkatku yang tiba-tiba mengalami masalah di sana, kami harus berangkat secepatnya. Waktu itu aku sempat datang ke rumah kamu, dan titip surat ke pembantu dirumah." jawab Nino.
Amanda terkejut mendengar pernyataan itu. Karena ia sama sekali tak mendapatkan surat tersebut.
"Aku nggak ada terima, mungkin Rachel yang buang." ujar Amanda.
Nino menatap wanita itu. Memang sangat mungkin sekali ibu tiri Amanda yang membuang surat tersebut. Sebab ia pernah mendengar Amanda berbicara pada Nino mengenai kejahatan ibu tirinya didalam telpon. Dalam pembicaraan itu Amanda kerap kali menyebut nama Nino, sedang surat itu sendiri bertuliskan dari Nino.
"Intinya sekarang aku bahagia, biasa ketemu kamu lagi." ujar Nino.
"Aku juga." ujar Amanda menatap Nino dengan penuh haru.
"Aku lega, kamu masih hidup. Setelah sekian banyak tekanan mental yang dulu kamu alami dirumah." lanjut Amanda lagi.
Nino pun menghela nafas, mengingat betapa buruk masa lalunya dulu. Hanya pada Amanda lah ia berani terbuka dan berbicara banyak hal.
"Man, aku tau ini terlalu cepat. Tapi aku, aku benar-benar nggak mau menyia-nyiakan kesempatan lagi."
"Maksud kamu?" tanya Amanda bingung.
Nino lalu mengeluarkan sebuah kotak dari dalam sakunya. Ia lalu membuka kotak itu dihadapan Amanda. Amanda pun terkejut, sebab sebuah cincin terlihat dari dalam kotak itu.
"Will you marry me?" tanya Nino kemudian.
Amanda terdiam, tubuhnya kini gemetar.
"Nin."
"Aku tau mungkin cincin ini nggak pas di ukuran jari kamu. Karena kita udah lama nggak ketemu dan aku nggak tau size kamu. Tapi, kamu mau kan?" tanya Nino lagi.
Amanda memejamkan matanya. Ia membuang pandangan ke kaca apartment, lalu kembali menatap Nino.
"Kamu nggak ngeliat?" tanya Amanda dengan tatapan yang serius. Nino mengerutkan kening karena bingung.
"Apa?" tanyanya kemudian.
Amanda menghela nafas lalu membuka kancing blazer tebal yang masih menutupi tubuhnya. Karena sering hujan dan mendung, Amanda selalu mengenakannya akhir-akhir ini.
Amanda menyibak blazernya. Seketika Nino pun terdiam, ia syok menatap perut Amanda yang membuncit.
"Amanda?" Suara Nino terdengar gemetar.
"Aku hamil, Nin."
"Ha, hamil?" Nino masih tak percaya.
Amanda menunduk lalu mulai menceritakan semuanya.
"Aku terikat pernikahan kontrak saat ini, dan pernikahan akan berakhir saat bayi ini lahir."
"Maksud kamu?" Nino makin tidak mengerti.
"Aku butuh anak untuk jadi penerus perusahaanku. Karena aku nggak mungkin menikah, jadi aku ambil keputusan ini."
Nino memejamkan matanya seraya mencoba mengambil nafas dalam-dalam. Ini adalah pukulan paling berat yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Ia terlambat menemui Amanda, harusnya ia datang beberapa bulan yang lalu. Sejurus sesal pun menyeruak di ruang hati pria itu. Nino tertunduk, begitu juga dengan Amanda.
"Maafin aku, Nin."
"Aku yang minta maaf." ujar Nino kemudian. Membuat Amanda seketika mengangkat kepala dan menatap cinta pertamanya itu lekat-lekat.
"Aku yang salah, Man. Selama ini akulah yang pergi, aku yang nggak ada kabar."
Nino balas menatap Amanda, Amanda sendiri tak menyangka jika Nino akan memberikan respon seperti itu.
"Tapi aku nggak akan melewatkan kamu lagi." imbuhnya.
"Maksud kamu?" tanya Amanda heran.
"Aku mau menunggu sampai pernikahan kamu berakhir, aku mau jadi bapak untuk anak itu."
Amanda terhenyak, hatinya seperti diremas-remas.
" Tapi, Nin."
"Kamu dulu pernah bilang, kalau kamu nggak percaya sama laki-laki dan pernikahan. Tapi kamu juga bilang kalau ada pengecualian, kamu mau menikah kalau laki-lakinya adalah aku. Jadi aku mau menagih janji itu." ujar Nino.
Amanda tak mampu berkata sepatah pun, karena dalam hatinya ia memang masih menyimpan rasa yang besar untuk Nino bahkan sampai detik ini. Ia pun hanya diam dan tak menolak ketika Nino menggenggam tangannya.
"Aku akan menikahi kamu nanti." ucap Nino.
***
"Braaak."
Arka menutup pintu mobilnya dengan cukup keras. Ia kembali ke penthouse setelah berjalan kesana kemari tak tentu arah, sekedar untuk mengusir penat dan sakit yang bersarang dihatinya.
"Arka, baru pulang?"
Liana keluar dari loby penthouse, namun pemuda itu tak menjawab pertanyaan Liana. Ia hanya menatap gadis itu sekilas, lalu memberikan bunga yang tadi hendak ia berikan pada Amanda.
Ia sudah malas menatap bunga itu. Sementara Liana mengira jika Arka sengaja membelikan untuknya. Arka berlalu masuk ke dalam, sementara kini Liana tertegun dengan perasaan yang berbunga-bunga.
Arka melepaskan seluruh pakaian yang melekat ditubuhnya. Lalu membiarkan dirinya basah di bawah terpaan air shower.
Perlahan bayangan Amanda terlintas dibenak pemuda itu. Tatapan Amanda dihari pernikahan mereka, teriakan, dan erangan Amanda saat mereka tengah bercinta. Cara wanita itu berbicara, tersenyum, marah, tertawa. Semuanya kini seperti tayangan slide, yang muncul di setiap kali Arka terdiam.
Ia juga ingat saat tadi pagi mereka bercinta, betapa Amanda berkali-kali menyebut namanya. Lalu teringat pula bagaimana tadi Amanda begitu haru, saat bertemu dengan Nino.
"Huuuh."
Arka mengusap wajah dan kepalanya berkali-kali dibawah terpaan air.
"Aarrgghh." teriaknya penuh kemarahan.
Ia menyudahi mandinya, berjalan keluar dan berpakaian. Ia lalu duduk disebuah kursi sudut dan menyalakan sebatang rokok.
"Udah gue bilang, Ka. Jangan pake hati. Kalau lo pake hati, elo yang sakit."
"Jangan pake perasaan."
"Manfaatin aja kesempatan."
Kata-kata yang pernah diucapkan Doni tersebut mulai bergulir dalam ingatan Arka. Ia tak tahu apakah kini saatnya untuk mengakui, jika semua ucapan sahabatnya tersebut memang benar adanya. Hati dan perasaan telah menghancurkannya secara serta merta.
***
Amanda menoleh dan menatap Nino, sebelum akhirnya ia masuk ke mobil. Hatinya kini gundah gulana. Antara bahagia, sedih, dan juga bimbang.
Ia bahagia karena akhirnya bertemu kembali dengan pria itu. Namun ia sedih karena harus mengecewakan Nino dengan kehamilannya. Kini ia juga bimbang, apakah ia pantas menerima kebaikan Nino untuk menikahinya. Sementara ia sudah tersentuh tubuh pria lain.
"Andai saja waktu itu ia sedikit bersabar. Andai Nino datang lebih awal. Andai...."
Amanda membenamkan wajah pada kedua tangannya dan menarik nafas. Malam itu ia dan Arka sama-sama pamit untuk tidur. Arka tak memberitahu Amanda jika ia telah melihat wanita itu bersama Nino.
Sedang Amanda pun merasa tak perlu menceritakannya. Lalu keduanya kini tenggelam dalam sebuah kebohongan. Bohong jika mereka sama-sama mampu memejamkan mata.
udh brp kali yaa baca ini
best, stelah delil nih si kembar
aku suka
. Suwun thor
Bagus bannnnnnget