"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Canggung
Bukan saat yang tepat untuk bertemu dia sekarang, tapi memang sudah resiko kalau sewaktu-waktu ketemu Tama di kantor ini. Binar menatap lurus ke depan, tidak ada pemandangan selain dinding lift. Hanya mereka berdua yang ada di dalam lift. Hari sial yang sama sekali tidak terprediksi oleh Binar.
"Aku dengar Ibu sakit," Tama membuka percakapan. Dia mendengar dari Ibunya kemarin.
Ya, sakit gara-gara kamu brengseeeek!
Jawaban itu hanya bergema di kepala Binar saja, Dia masih waras untuk menahan semuanya. Tangan kanannya mengepal. Andai saja melayang, pasti akan sukses membuat wajah Tama lebam. Dia cukup kuat melakukannya.
"Lusa aku ada kunjungan kerja kesana, aku mau menjenguk Ibu dan Ayah," Tama berkata tanpa ada beban apapun, padahal secara tidak langsung dialah yang menyebabkan ini terjadi.
"Buat apa? bukankah kamu sudah mengingkari janji kamu,?" Binar nampak kesal, tapi pandangannya masih lurus ke depan, enggan melihat ke lawan bicara.
"Aku nggak tahu apapun Bi," Tama menyangkal.
Binar mendengus kesal, percuma juga melawan orang macam Tama, yang kini amat sangat menyebalkan. Lift melambat. Angka di panel digital menyala bergantian, terasa sangat lama bagi Binar. Dia ingin segera sampai di lantai yang dituju dan keluar dari ruang sempit ini, terutama dari keberadaan Tama di ruang ini yang membuat dadanya terasa sesak.
Tiiiing
Khas suara lift saat terbuka terdengar, Binar merasa lega karena bisa lepas dari Tama. Binar melangkah cepat dan bergegas masuk ke ruangannya. Sudah tiga hari ini tak terjamah, Binar meletakkan tasnya dan bergegas menyalakan komputer untuk segera mengerjakan pekerjaan yang menumpuk.
"Bagaimana kabar Ibu mbak Binar,?" tanya Putra yang muncul tiba-tiba, membuat Binar sedikit tersentak kaget.
"Oh...Pak Putra." Binar menatap Putra yang berdiri di depannya sambil membawa map bening. "Ibu masih di ICU Pak,"
"Sedih sekali mendengarnya, semoga Ibu lekas membaik ya mbak,"
"Terima kasih doanya, Pak,"
"Oh ya, ini berkas untuk hari ini," Putra mengulurkannya untuk Binar. Binar sudah sangat hapal jika Putra adalah manusia paling rajin di sini, sepagi ini sudah siap dengan berkas-berkas.
"Siap, Pak,"
"Aku pikir mbak Binar belum masuk, pas lewat sini ternyata sudah ada di sini,"
Binar tersenyum kecil. Menjadi budak korporat tidak boleh seenaknya, ini bukan perusahaan keluarganya. Putra meninggalkan Binar setelah memastikan berkas sudah berada di tangan Binar.
Meskipun berada di tempat kerja, nyatanya Binar harus kerja keras untuk pikirannya agar berada di sini juga, tidak hanya raganya. Binar menatap layar komputernya dan fokus kesana.
"Ayo Bi...fokus...fokus,"
Ponselnya menampilkan sebuah pesan, dari Ayahnya. Binar bergegas membukanya, dan nampak foto Ibunya masih dalam keadaan yang sama seperti kemarin. Binar menghela nafas, sepanjang helaannya ada rasa putus asa, ada harapan juga.
"Sehat ya Bu....." gumamnya. Binar kembali meletakkan ponselnya di meja dan kembali menatap layar komputernya, kembali kerja.
Binar mengambil hasil cetakan agenda hari ini di sampingnya, lalu mengemasinya ke dalam map. Dia berdiri dan bergegas menuju ruang Aksa, bahwa hari ini akan ada agenda rapat jam 10 nanti.
Binar mengetok pintu perlahan, Binar membuka perlahan dan melihat Aksa duduk di kursi kebesarannya. Pandangannya masih menunduk ke arah berkas yang ditanda tangani.
"Permisi, Pak," Binar menyapa. Sontak Aksa mendongak, bukan suara Putra yang dia dengar.
"Kamu sudah ada di sini?."
Binar mengangguk, "Iya, Pak. Saya tidak bisa lama meninggalkan pekerjaan, ini tanggung jawab saya,"
"Semoga Ibu lekas membaik," harap Aksa. Binar mengangguk.
Melihat Binar membuat Aksa teringat percakapannya dengan Adis semalam, adiknya secara tak langsung meminta agar Aksa menegaskan hubungannya dengan Binar. Ah rasa-rasanya tak tepat dengan situasi seperti ini, tapi kalau berlalu begitu saja, bisa saja dia benar-benar dijodohkan dengan Rose.
"Terima kasih atas doanya, Pak."
Sudah semestinya
jawaban itu hanya di kepala Aksa, tidak keluar sama sekali.
Aksa mengangguk singkat, lalu kembali menunduk pada berkas yang ada di hadapannya. Memberi kesan seolah perhatiannya tertuju pada pekerjaannya. Padahal sebenarnya sejak mendengar suara Binar bergema, fokusnya sudah pecah.
"Ada agenda rapat jam 10, Pak," ujar Binar sambil meletakkan map di meja Aksa, rapi seperti biasanya.
"Ya," jawab Aksa singkat. Tangannya menerima map itu, jari mereka hampir bersentuhan . Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat Aksa. Tapi cukup membuat Aksa berhenti berhenti sejenak selanjutnya sebelum melanjutkan gerakan.
Binar menarik tangannya cepat, seolah sentuhan itu tak pernah terjadi.
"Kamu sudah makan,?" tanya Aksa tiba-tiba, nadanya datar, terlalu formal untuk sebuah perhatian, tapi terlalu personal untuk sekedar basa-basi di kantor.
Binar terdiam sesaat. "Belum, Pak. Nanti saja."
Aksa mengangguk lagi. Tidak menasehati. Tidak memaksa. Tapi matanya sempat terangkat, menatap wajah Binar lebih lama dari yang seharusnya. Ada garis lelah di sana, ada mata yang terlalu sering menangis.
"Jangan lupa," katanya akhirnya.
Itu saja.
Binar menangkap maksudnya, meski kalimatnya menggantung tanpa penjelasan. Dia mengangguk pelan, "Baik Pak."
Binar hendak keluar ruangan. Tangannya sudah menyentuh gagang pintu ketika suara Aksa kembali terdengar.
"Bi.."
Hanya satu kata. Panggilan itu pun keluar begitu saja, tanpa embel-embel jabatan.
Binar menoleh.
Aksa berdiri dari kursinya, ragu sepersekian detik, lalu berkata, "Kalau....ada apa-apa, kabari."
Tidak ada aku, tidak ada kita. Mata Aksa berkata lebih banyak daripada susunan katanya.
Binar tersenyum kecil. Senyum tipis yang nyaris tak terlihat, tapi cukup membuat dada Aksa terasa hangat sekaligus sesak.
"Iya, Pak."
Binar keluar, pintu tertutup perlahan.
Aksa berdiri diam di tempatnya beberapa detik setelah itu. Dia baru menyadari tangannya mengepal, perasaannya tegang. Perlahan kepalan tangan itu mengendur. Di luar sana, Binar berjalan kembali ke ruangannya dengan langkah yang terlihat biasa saja.
Binar langsung menuju pantri untuk membuat kopi, meskipun belum sarapan sama sekali. Sebenarnya tidak baik bagi lambungnya.
Terdengar langkah kaki mendekat, Binar melirik sejenak.
"Nampaknya kamu akrab dengan Pak Aksa," sebuah suara terdengar jelas di telinganya. Binar menurunkan gelasnya, nampak Tama sedang berada di pantri yang sama. Meskipun divisi Aksa bukan berada di lantai ini. Laki-laki itu menyenderkan tubuhnya di dinding sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. "Berhati-hatilah atau berita itu akan semakin membuat keluarga kamu terluka,"
"Itu bukan urusan kamu," Binar menatap Tama tegas. Tama tertawa kecil. "Kita tidak ada urusan apapun sekarang," Binar meletakkan gelasnya dan berjalan meninggalkan Tama. Tidak ingin berurusan apapun dengannya.
"Jangan terlalu sering terlihat di sini, atau orang satu kantor akan tahu. Bukan aku yang repot, tapi kamu!," tambah Binar sambil berlalu, tapi masih terdengar dengan jelas oleh Tama.