Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Hari demi hari berlalu dengan ritme yang semakin cepat. Tidak terasa Tania sudah 7 bulan bekerja di perusahaan Hartadinata.
Pagi ini. Suasana di rumah besar Tania tetap penuh intrik, namun perlahan perhatian Tania mulai bergeser. Ia tak lagi menghabiskan waktu sepanjang malam dengan mata memerah hanya untuk mengintai pergerakan Dika di layar ponselnya. Ia tak lagi peduli pada pukul berapa suaminya menyelinap masuk ke kamar Farah, atau bisikan-bisikan pengkhianatan apa lagi yang mereka tukarkan di kegelapan.
Tania terlalu lelah, namun bukan karena kesedihan. Ia lelah karena seluruh energi dan kecerdasannya kini terserap habis oleh proyek peluncuran koleksi perhiasan terbarunya di PT Hartadinata. Proyek ini adalah pertaruhan besarnya sebagai Chief Designer.
.....................
Pagi ini, sinar matahari menembus jendela kamar dengan tajam. Tania terbangun dengan pikiran yang sudah penuh dengan sketsa, grafik penjualan, dan detail teknis peluncuran. Ia bergerak taktis. Tidak ada lagi waktu untuk berdandan demi memancing cemburu Farah atau sekadar memoles riasan demi memikat Dika. Ia merias wajahnya dengan gaya bold yang profesional, memancarkan aura wanita karier yang tangguh.
Tania melangkah menuruni tangga dengan tergesa, menenteng tas kerjanya dan beberapa map penting. Di meja makan, Dika, Farah, dan Ibu Dika sudah berkumpul. Bau nasi goreng dan kopi menyeruak, namun Tania tidak berhenti.
"Tania, sarapan dulu, Nak," tegur Ibu Dika lembut, melihat menantunya yang tampak sangat sibuk.
"Nggak sempat, Bu. Tania ada rapat besar pagi ini untuk persiapan peluncuran perhiasan baru. Aku harus sampai di kantor tepat waktu," jawab Tania tanpa menoleh, langkah kakinya terdengar tegas di atas lantai porselen.
Dika mencoba menyapa, "Sayang, tapi kamu belum makan..."
Tania hanya melambaikan tangan tanpa menghentikan langkahnya. "Aku makan di kantor saja, Mas. Duluan ya."
Pintu depan tertutup dengan suara dentum yang mantap. Di meja makan, Dika tertegun. Ia merasa ada sesuatu yang mulai lepas dari genggamannya. Tania yang dulu selalu melayaninya, kini seolah memiliki dunianya sendiri yang tidak bisa ia masuki.
"Tania benar-benar berubah sejak bekerja," gumam Dika, ada nada kehilangan dalam suaranya saat ia melihat Tania keluar dari pintu depan tanpa menunggu jawaban darinya.
Dika merasa seolah Tania mulai menjauh dari jangkauan manipulasinya. Perjanjian pra-nikah yang dulunya ia anggap sebagai alat untuk mengikat Tania, kini perlahan terasa seperti jerat yang mulai mengetat di lehernya sendiri, sementara istrinya sedang terbang menuju puncak kesuksesan.
Sementara itu, Farah menatap kepergian Tania dengan perasaan campur aduk antara senang karena saingannya pergi, dan kesal karena merasa Tania kini terlihat jauh lebih berkelas darinya.
.................
Di dalam mobil pesanan daring yang membawanya menuju kantor, Tania menyandarkan kepalanya sejenak. Ia memejamkan mata, bukan untuk tidur, melainkan untuk memvisualisasikan presentasi besarnya nanti.
Ia mematikan notifikasi kamera rumah di ponselnya. Untuk beberapa jam ke depan, ia bukan lagi seorang istri yang dikhianati, melainkan desainer utama yang akan mengguncang industri perhiasan. Tekadnya sudah bulat: kesuksesan ini akan menjadi paku terakhir di peti mati pernikahan mereka.
Ia sengaja membiarkan Dika dan Farah terlena dalam kenyamanan semu di rumah. Biarlah mereka berpikir ia terlalu sibuk untuk peduli, karena di balik kesibukan itu, Tania sedang membangun kerajaan yang tidak akan bisa disentuh oleh Dika saat badai perceraian dan perjanjian pra-nikah itu meledak nanti.
Layar ponselnya menyala, sebuah pesan singkat dari Rendi masuk: "Pak Rei dan tim sudah menunggu di ruang rapat utama, Bu Tania. Semangat untuk hari besar ini."
Tania menarik napas dalam, memulas kembali lipstiknya, dan menatap pantulan dirinya di cermin kecil. "Hari ini perhiasanku yang akan bersinar, dan kalian..." gumamnya menoleh ke arah rumah yang mulai menjauh, "...akan semakin tenggelam dalam kegelapan."
...----------------...
Mobil berhenti tepat di lobi utama. Tania turun dengan gerakan yang anggun namun penuh energi. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer dengan irama yang mantap, menciptakan suara yang menuntut perhatian. Ia melangkah melewati lobi, mengabaikan bisik-bisik kagum dari karyawan lain yang terpana melihat penampilannya yang sangat berkelas pagi itu.
Ia tidak menuju ruang kerjanya, melainkan langsung bergegas menuju ruang rapat utama di lantai atas. Di tangannya, sebuah tablet dan beberapa berkas penting digenggam erat. Waktunya sangat sempit, namun tidak ada raut panik di wajahnya; yang ada hanyalah fokus yang tajam.
Saat pintu ruang rapat terbuka, suasana mendadak hening. Di ujung meja oval yang panjang, Rei duduk dengan wibawa yang dingin, namun matanya seketika terkunci pada sosok Tania yang baru saja masuk. Rendi segera memberikan kode agar Tania memulai.
Tania berdiri di depan layar proyektor besar. Setelah menarik napas pendek untuk menetralkan detak jantungnya, ia memulai presentasi.
"Selamat pagi semuanya. Hari ini, saya tidak hanya mempresentasikan sebuah perhiasan, tapi saya mempresentasikan sebuah cerita tentang ketangguhan," suara Tania mengalun jernih, tenang, dan penuh otoritas.
Ia mulai menampilkan sketsa desainnya—sebuah koleksi perhiasan bertajuk "The Phoenix". Dengan lihai, Tania menjelaskan setiap detail lekukan emas dan pemilihan batu mulia yang ia gunakan. Ia berbicara tentang filosofi di balik desainnya, tentang bagaimana sebuah permata harus melewati tekanan yang luar biasa sebelum bisa memancarkan kilau yang sempurna.
Peserta rapat, termasuk para petinggi perusahaan yang biasanya sulit dipuaskan, kini tampak terpana. Mereka tidak hanya terpesona oleh keindahan desainnya, tapi juga oleh cara Tania mempresentasikan idenya. Ia menjawab setiap pertanyaan teknis dengan kecerdasan yang luar biasa, argumennya logis, tajam, dan tidak terbantahkan.
Rei, yang biasanya sangat pelit akan pujian, hanya diam mematung. Matanya tidak lepas dari sosok Tania yang berdiri dengan penuh percaya diri di depan sana. Ia melihat wanita yang berbeda; bukan lagi wanita yang terluka yang ia intip dari balik kaca, melainkan seorang ratu yang sedang merebut kembali takhtanya.
Rendi menyikut lengan Rei pelan sambil berbisik, "Sudah saya bilang, dia luar biasa, Pak."
Rei tidak menjawab, namun senyum tipis yang hampir tak terlihat muncul di sudut bibirnya.
Tania menutup presentasinya dengan sebuah kalimat yang menggetarkan ruangan, "Perhiasan ini adalah simbol bagi mereka yang hancur namun menolak untuk kalah. Mereka yang akan kembali bersinar lebih terang dari sebelumnya."
Keheningan melanda sejenak sebelum suara tepuk tangan riuh pecah di ruangan itu. Tania tersenyum tipis, sebuah senyum profesional yang tulus. Di titik ini, ia menyadari satu hal: di kantor ini, ia memiliki harga diri yang utuh, sesuatu yang tidak akan pernah bisa dihancurkan oleh pengkhianatan Dika.
Tania sedikit membungkuk anggun saat gemuruh tepuk tangan dari para petinggi perusahaan perlahan mereda. Sorot matanya yang tadi tajam dan fokus, kini sedikit melunak, namun tetap memancarkan wibawa. Kelegaan menyapu dadanya; semua kerja keras, malam-malam tanpa tidur, dan pengabaiannya terhadap drama di rumah terbayar lunas dalam satu jam yang menentukan ini.
Rei bangkit dari kursinya, memberikan anggukan apresiasi yang paling dalam. "Luar biasa, Tania. Desain ini... akan menjadi sejarah baru bagi perusahaan kita," ucap Rei dengan suara rendah yang berwibawa, membuat semua orang di ruangan itu menyadari betapa istimewanya posisi Tania saat ini.
Tania tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak Rei. Saya hanya melakukan yang terbaik."
Saat rapat resmi ditutup dan para peserta mulai meninggalkan ruangan sambil berbisik kagum, Tania melangkah kembali ke mejanya untuk membereskan tablet dan dokumennya. Tepat saat itu, ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar pendek.
Tania mengira itu adalah pesan dari Luna yang ingin menanyakan hasil rapat, atau mungkin notifikasi dari kamera tersembunyi di rumahnya. Namun, saat layar itu menyala, bukan nama Luna yang muncul. Bukan pula aktivitas Dika di rumah.
Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal, namun isinya membuat napas Tania tertahan sejenak.
"Selamat atas presentasimu, Tania. Perhiasan itu indah, seindah rahasia yang kamu simpan di balik kamera tersembunyi di rumahmu. Hati-hati, tidak selamanya sang pemburu bisa bersembunyi di balik bayangan."
Darah Tania seolah membeku. Jantungnya berdegup kencang, menghantam rongga dadanya. Ia segera mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruang rapat yang kini mulai sepi, mencari sosok yang mungkin sedang memperhatikannya.
Bagaimana mungkin rahasia yang ia simpan begitu rapat bisa bocor? Siapa yang berhasil menembus pertahanannya?
Bagaimana mungkin rahasia kamera itu terbongkar? Ia segera teringat pada rumahnya. Seringai dingin muncul di wajahnya. Hanya ada dua orang di sana saat ini: Dika atau Farah.
Apakah Dika sudah mengetahui semuanya? Atau... apakah si "ular" yang selama ini ia remehkan sudah mulai berani menunjukkan taringnya?
Jika Dika yang tahu, pria itu pasti sudah meledak marah. Tapi pesan ini... pesan ini terasa seperti sebuah ejekan yang licik.
Tania mengeratkan genggamannya pada ponsel. Ia menyadari satu hal: Farah bukan lagi sekadar mangsa yang diam. Ular itu telah menemukan celah untuk menyerang balik.
Tania mengepalkan tangan, menyadari bahwa ketenangannya selama ini mungkin telah membuatnya lengah. Sesuatu telah terjadi di rumahnya saat ia sedang sibuk bersinar di sini.
Bersambung...