Satu malam naas mengubah hidup Kinara Zhao Ying, dokter muda sekaligus pewaris keluarga taipan Hongkong. Rahasia kehamilan memaksanya meninggalkan Jakarta dan membesarkan anaknya seorang diri.
Enam tahun kemudian, takdir mempertemukannya kembali dengan Arvino Prasetya, CEO muda terkaya yang ternyata adalah pria dari malam itu. Rahasia lama terkuak, cinta diuji, dan pengkhianatan sahabat mengancam segalanya.
Akankah, Arvino mengetahui jika Kinara adalah wanita yang dia cari selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Pernikahan
Tiga hari berlalu begitu cepat. Langit sore Jakarta berwarna keemasan ketika halaman luas kediaman keluarga Prasetya dipenuhi oleh para tamu undangan berpakaian elegan. Bunga putih dan merah muda menghiasi setiap sudut taman, harum wangi mawar dan melati berpadu dengan semilir angin yang lembut.
Di tengah taman itu, di bawah pelaminan berlapis kain gading dan emas, Kinara berdiri anggun mengenakan kebaya modern berwarna ivory. Rambutnya disanggul rapi dengan selendang tipis menutupi bahu. Di sampingnya, Arvino berdiri tegap dalam setelan jas hitam, wajahnya tenang meski di matanya jelas ada badai yang disembunyikan.
Para tamu berbisik pelan, sebagian kagum, sebagian masih tak percaya, pernikahan yang berlangsung secepat ini, antara pewaris keluarga Prasetya dan seorang dokter muda yang selama ini dikenal sederhana. Padahal Nona muda dari keluarga Taipan.
Oma Mei Lin duduk di kursi kehormatan, mengenakan cheongsam berwarna merah tua dengan bros giok di dadanya. Tatapan matanya lembut, namun penuh wibawa. Ia tersenyum ketika Kinara mendekat setelah prosesi ijab kabul selesai dan cincin telah disematkan.
“Sekarang, semuanya sudah selesai,” kata Oma Mei Lin lirih namun penuh penekanan. Tangannya menggenggam tangan Kinara erat. “Keputusanku sudah tepat. Cucu perempuanku akhirnya mendapatkan kebahagiaannya.”
Kinara menunduk, air matanya menetes pelan di pipi. “Terima kasih, Oma. Tanpa Oma, saya mungkin tidak akan pernah berani menghadapi semuanya.”
Oma tersenyum kecil. “Sudah cukup enam tahun kau menanggung hinaan, tudingan tanpa nama, dan hidup dengan bayangan masa lalu. Sekarang, kau punya tempat. Kau punya suami, dan yang terpenting kau punya Ethan yang bikin kamu kuat selama ini…”
Tatapannya beralih ke arah bocah kecil yang duduk di pangkuan Mawar sambil memainkan bunga, “akhirnya punya nama yang layak untuk disandang.”
Kinara menatap ke arah Ethan, bibirnya bergetar menahan haru. “Ya, Oma … sudah cukup semua penderitaan itu.”
Arvino menatap keduanya dari kejauhan, diam, tapi dalam sorot matanya ada sesuatu yang sulit dijelaskan, antara tanggung jawab dan sesuatu yang jauh lebih dalam, yang belum sempat ia akui.
Upacara berlanjut dengan doa dan ucapan selamat dari tamu-tamu penting. Para pelayan berlalu-lalang membawa nampan berisi hidangan mewah, musik lembut mengalun di udara. Dari luar, semuanya tampak sempurna. Tapi di tempat lain, jauh dari kemewahan itu, api lain sedang menyala.
Di sebuah apartemen mewah yang kini berantakan, Savira berdiri di tengah ruangan dengan napas tersengal. Meja riasnya porak-poranda, vas bunga pecah di lantai, dan kaca besar di dinding retak akibat lemparan botol parfum. Riasannya berantakan, matanya merah menyala.
“Menikah?!” suaranya menggema keras, mengguncang dinding apartemen itu. “Mereka … menikah?!"
Savira berteriak lagi, kali ini lebih keras, lalu menghantam layar ponsel itu ke lantai hingga pecah. Napasnya memburu, wajahnya penuh kebencian.
“Mereka pikir aku akan diam?!” katanya dengan suara parau, nyaris seperti lolongan binatang terluka. “Kau menang sekarang, Kinara … tapi aku bersumpah, kau tidak akan tenang.”
Dia berjalan mondar-mandir, rambutnya terurai acak-acakan, matanya liar. “Kau rebut segalanya dariku, bahkan nama yang seharusnya milikku. Tapi aku masih punya sesuatu yang bisa menghancurkan kalian.”
Savira berhenti di depan jendela besar, menatap langit malam Jakarta yang berkilau di bawah sana. Bibirnya melengkung membentuk senyum dingin yang membuat bayangannya di kaca tampak seperti iblis.
Malam itu.
Hujan kembali turun pelan, membasahi halaman belakang kediaman keluarga Prasetya. Tetes air menimpa kaca jendela kamar pengantin yang luas, menimbulkan bunyi lembut yang berpadu dengan aroma mawar putih dari buket yang diletakkan di meja rias.
Kinara duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun putih yang kini sudah diganti dengan gaun tidur satin berwarna lembut. Rambutnya tergerai setengah, sebagian masih disanggul. Tatapannya kosong ke arah lilin aromaterapi yang menyala di meja.
Suara pintu terbuka pelan. Arvino masuk dengan langkah tenang, setelah sempat berbincang lama dengan ibunya dan Zaki di ruang bawah. Jas hitamnya sudah dilepas, hanya mengenakan kemeja putih yang lengan dan kancing atasnya terbuka, wajahnya tampak lelah. Untuk beberapa detik, keduanya hanya diam. Tidak ada sapaan, tidak ada senyum, hanya suara hujan dan detak jam di dinding. Arvino akhirnya berbicara pelan, suaranya berat namun tenang.
“Sudah malam, Kinara. Kau seharian belum benar-benar beristirahat.”
Kinara menoleh perlahan, tersenyum tipis. “Kamu juga Tuan Arvino.”
Arvino melangkah mendekat, berhenti satu meter di depannya. Tatapannya lembut tapi penuh keraguan.
“Kinara…”
Dia menarik napas dalam. “Selama enam tahun aku hidup hanya untuk Ethan. Dan malam ini, tiba-tiba aku jadi istrimu. Semuanya terasa seperti mimpi yang belum bisa ku cerna.” Sela Kinara kemudian setelah lama terdiam.
Arvino mengangguk pelan. “Aku mengerti.”
Dia melangkah mendekat, lalu berlutut di depannya. Wajahnya sejajar dengan wajah Kinara.
“Kamu tidak harus berpura-pura bahagia hanya karena semua orang menginginkannya. Tapi izinkan aku … mulai belajar membuatmu bahagia dengan caraku.”
Kinara menatap pria itu, ada air bening yang menggenang di ujung matanya. “Kamu yakin bisa?”
“Aku akan mencoba,” jawab Arvino pelan. “Setidaknya, kali ini aku tidak ingin kehilangan kalian lagi.”
Keheningan turun di antara mereka, tapi bukan keheningan dingin. Ada sesuatu yang hangat, lembut, perlahan menggantikan jarak yang selama ini membeku.
Kinara mengulurkan tangan, menyentuh wajah Arvino. “Terima kasih…”
Suaranya hampir berbisik. “Untuk pertama kalinya setelah enam tahun, aku merasa … tidak sendirian.”
Arvino tersenyum kecil, menggenggam tangannya, lalu mengecup punggung tangannya lama. “Kamu tidak sendiri, Kinara.”
Malam itu mereka tidak berbagi lebih dari sekadar sentuhan lembut dan tatapan panjang. Tapi justru di sanalah awal hubungan mereka benar-benar dimulai bukan karena kewajiban, bukan karena keputusan keluarga, melainkan karena dua hati yang perlahan belajar memahami luka masing-masing.
"Ethan mau bobok sama Daddy!" seru Ethan di kamar Mawar, bocah itu berulang kali turun dari ranjang, tetapi Mawar berulang kali mengangkatnya dan membawa ke kamar.
"Besok ya, Sayang. Malam ini Mommy dan Daddy Ethan terlalu capek untuk ngobrol sama kamu. Jadi biar kan mereka istirahat, oke. Besok pagi kamu bisa bermain seharian bersama dengan Daddy," bujuk Mawar, Ethan mengangguk, yang akhirnya setuju dengan saran Mawar.
selamat berbahagia keluarga besar Prasetya.
terima kasih untuk ceritanya thor😍
dm lanjut baca mahar 1 m sm jodoh 5 langkah
semangat othor dan sehat selalu untuk othor dan keluarga
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
ayo Thor lanjut baik n penasaran kasihan Kailla ya bingung jadinya....kasihan 😭