“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mh 18
Mahira terus mencurahkan isi hatinya.
“Kenapa… kenapa hidupku sial sekali? Aku bahkan menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku cintai. Kenapa dia datang dan mengacaukan semuanya? Kenapa… kenapa ini terjadi padaku? Dan gilanya, dia adalah muridku… malas… terus, be—”
Mahira menghentikan ucapannya. Sejak tadi ia ngoceh sambil menangis tanpa benar-benar tahu siapa yang menjadi sandarannya sekarang. Ia menegakkan posisi duduknya, mengusap wajahnya yang basah, lalu mendongak.
“Kamu?” Mata Mahira membulat melihat sosok Doni di sampingnya.
“Sudah nangisnya?” ucap Doni tenang.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Mahira kaget.
“Ya ngikuti kamu lah. Gue takut lu kesurupan. Ini kan di bawah pohon beringin,” jawab Doni sambil nyengir.
“Lu… lu… astaga, tidak sopan banget sih! Aku ini guru kamu!” bentak Mahira kesal.
“Tapi lu kan bini gue,” jawab Doni santai.
“Pluk… pluk…” Mahira memukul-mukul pundak Doni kesal.
“Kenapa sih lu? Beneran kesurupan ya? Gue bacain jampi nih,” ujar Doni.
“Sebal! Aku sebal!” Mahira bangkit dan menghentak-hentakkan kakinya.
“Aku sebal kenapa kamu bisa jadi suamiku. Apes banget nasibku!”
“Apa yang bikin lu sebal?”
“Stop!” bentak Mahira. “Gue nggak suka lu panggil gue ‘lu’. Tidak sopan. Kamu murid gue. Astaga… bisa-bisanya gue nikah sama bocil!”
“Ya elah, sayang. Aku ini bukan bocil.”
“Stop panggil aku ‘sayang’! Enak saja. Eneuk banget dengernya,” sahut Mahira ketus.
“Komunikasi suami istri itu harus romantis supaya langgeng, sayang. Setiap kata, setiap sentuhan, pegangan tangan, remasan, ciuman… dan ituan… semuanya ibadah, sayang.”
“Ya ampun. Kamu belajar dari mana bahasa begituan?”Pikit mahira heran
“Mesum banget kamu. Pasti suka nonton yang aneh-aneh, ya?”
“Ya elah, sayang. Di antara aku dan kamu sudah nggak ada yang mesum. Semua itu ibadah.”
“Aku nggak suka kamu panggil aku ‘sayang’. Status kita berbeda.”
“Terus kenapa kalau status kita berbeda? Apa karena kamu guru dan aku murid, kita nggak boleh saling cinta? Kita bertemu karena takdir. Kenapa nggak kita mulai dari awal, sayang?” Doni mengedip-ngedipkan mata.
“Sudahlah, Don. Kita akhiri saja. Lagian kita juga menikah siri. Jadi kita bercerai saja,” ujar Mahira.
“Tidak bisa. Di keluargaku nggak ada tradisi poligami dan bercerai, kecuali salah satu pihak selingkuh. Jadi selama aku dan kamu nggak selingkuh, aku bakal pertahankan pernikahan ini.”
“Doni!” bentak Mahira.
“Apa, sayang?”
Mahira manyun. Meski kesal, hatinya terasa hangat. Sejak ia minggat dari rumah, hanya Doni yang beberapa kali memanggilnya “sayang”.
“Kamu ini masih bocah, Doni. Belum tahu kerasnya hidup. Berumah tangga tidak semudah yang kamu bayangkan,” ucap Mahira, kali ini nadanya rendah.
“Tapi berumah tangga juga nggak serumit yang kamu pikirkan. Kamu terlalu overthinking.”
Mahira memelototkan mata.
“Kamu ngerti apa itu overthinking?”
“Ya pokoknya… I love you lah,” jawab Doni sekenanya
Hampir saja tawa Mahira pecah, tetapi ia menahannya. Ia harus tetap menjaga wibawanya. Bagaimanapun juga, Doni adalah muridnya.
“Sudah, Don. Hubungan kita tidak bisa dilanjutkan. Ada jarak yang terlalu besar di antara kita,” ucap Mahira tetap pada keinginannya untuk berpisah. Menurutnya, Doni masih muda dan masih memiliki masa depan yang cerah. Ia sudah dianggap merusak masa depan adik tirinya; jangan sampai orang lain menyangka dirinya merusak masa depan anak remaja yang sekarag jadi muridnya sekaligus suaminya..
“Tidak bisa. Alasan kamu tidak masuk akal. Dalam agama tidak ada larangan nikah beda usia, dan lagian usia kamu dan aku juga…” Doni memotong kalimatnya sendiri.
“Usia kita terlalu jauh. Tujuh tahun, Don! Dan aku lebih tua dari kamu. Kalau kamu yang lebih tua mungkin tidak masalah, tapi ini aku yang lebih tua. Masa depan kamu masih cerah, Don. Kamu masih harus sekolah, kuliah, kerja, dan mengejar cita-cita kamu. Apalagi kamu anak laki-laki, pasti nanti jadi tulang punggung keluarga. Ayo, Don, kita akhiri saja hubungan ini.”
“Tidak bisa. Aku tidak akan menceraikan kamu. Kecuali kamu selingkuh, dan itu pun kalau aku melihat dengan mataku sendiri, baru aku akhiri hubungan ini. Kalau alasannya cuma umur, aku tidak mau. Kamu tahu, Rasulullah saja menikah dengan Siti Khadijah saat beliau berusia 25 tahun, dan Siti Khadijah 40 tahun. Bedanya 15 tahun,” jelas Doni mantap.
Mahira tertegun. Memang tidak ada alasan logis yang kuat untuk berpisah.
“Tapi, Don… aku dan kamu akan jadi cemoohan banyak orang. Saat ini saja aku sudah dicemooh guru-guru, dibuang keluargaku, diabaikan teman-temanku. Kalau hubungan kita diketahui, tetangga, orang satu RT, RW, kecamatan, bahkan mungkin tingkat nasional akan menghujat kita ramai-ramai. Aku takut kamu tidak kuat mentalnya. Kamu ini masih remaja, masih labil, Don, aku saja sampai terpuruk begini” ujar Mahira panjang lebar.
“Itulah kesalahan kamu,” ucap Doni pelan.
“Apa maksud kamu?”
“Kamu terlalu peduli dengan pandangan orang lain. Kamu terlalu peduli dengan penilaian orang lain. Kamu terlalu rapuh, mudah goyah hanya karena pendapat orang lain.”
Doni menatap Mahira dalam-dalam.
“Kamu sedih karena orang tidak percaya sama kamu. Kamu sedih karena semua orang membuang kamu. Kamu sedih karena kamu merasa sendirian, tidak ada yang peduli.”
Mahira menatap Doni tak percaya. Anak SMA bisa mengatakan hal seperti itu?
“Aku katakan pada kamu,” lanjut Doni. “Andaikan semua orang tidak percaya sama kamu, maka akulah satu-satunya orang yang percaya sama kamu. Dan andaikan aku pun tidak percaya… percaya saja pada diri kamu sendiri.”
Mahira tercekat.
“Aku ingatkan pada kamu,” Doni melanjutkan, suaranya mantap, “cintailah dirimu sendiri sebelum kamu mencintai orang lain. Percayai dirimu sendiri, tidak perlu dipercaya orang lain.”
“Kamu selama ini menyakiti dirimu sendiri hanya karena kamu kehilangan cinta dari bapakmu. Kamu menyakiti dirimu sendiri hanya karena teman-teman menjauh. Kamu menyakiti dirimu sendiri hanya karena orang lain tidak percaya sama kamu. Dan itulah yang membuat kamu rapuh, gampang goyah, gampang nangis sampai ingusan.”
Mahira mendongak, menatap Doni tak percaya. Ucapan anak SMA itu terasa seperti tamparan keras di wajahnya. Selama ini, ia menangis hanya karena tidak dipercaya, tidak dihargai, tidak dicintai, tidak diakui.
Mahira kembali memandang Doni yang sejak tadi bicara berapi-api.
“Jadi… sekarang aku harus apa?” tanya Mahira lirih. Lalu ia mengumpat dalam hati. Aduh, Mahira! Bisa-bisanya kamu nanya begitu. Di mana harga dirimu sebagai guru?
“Ya bangkit, dong. Kebahagiaan itu datang dari dalam hati. Bahagiakan hatimu. Damai dengan perasaanmu. Bahagialah apa pun yang terjadi. Tersenyumlah. Hadapi dunia dengan bahagia. Hinaan, cacian, makian, pujian, penghormatan… itu hanya suara. Tidak terlalu berpengaruh pada dirimu kalau kamu sudah berdamai dengan dirimu sendiri.”
“Don…” lirih Mahira.
“Apa?” sahut Doni, terdengar sedikit kesal.
“Benarkah aku ingusan pas nangis?” tanya Mahira pelan.
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh