NovelToon NovelToon
Harga Diri Seorang Istri

Harga Diri Seorang Istri

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Selingkuh / Romansa
Popularitas:48.2k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.

Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.

Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.

Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.

Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Permainan berbahaya

Jam dinding di ruang kerja Rangga menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit. Pria itu menutup laptop di hadapannya dengan gerakan cepat, meregangkan tubuhnya yang pegal setelah duduk berjam-jam menghadiri video conference dengan klien dari Singapura. Ia menoleh ke arah pintu yang menghubungkan ruangannya dengan ruang kerja sekretarisnya.

"Ayunda," panggilnya sambil berdiri, melonggarkan dasinya sedikit. "Ayo makan siang. Aku sudah lapar sekali."

Dari balik pintu kaca, Ayunda yang sedang duduk di mejanya mengetik sesuatu di komputer menoleh. Wajahnya terlihat lelah, ada bayangan hitam tipis di bawah matanya, tanda bahwa ia tidak cukup tidur semalam. Ia tersenyum tipis, senyum yang terlatih dan profesional.

"Maaf, Rangga," jawabnya sambil berdiri dan berjalan mendekati pintu yang terbuka. "Aku masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Laporan triwulan untuk Pak Gunawan harus sudah di emailnya sebelum jam dua siang. Kamu duluan saja."

Rangga mengerutkan kening, ada raut kecewa yang jelas di wajahnya. Sejak Ayunda resmi jadi sekretarisnya, makan siang bersama sudah menjadi rutinitas yang ia nantikan... waktu untuk berdua tanpa gangguan pekerjaan, meski hanya satu jam.

"Kamu yakin? Aku bisa tunggu sampai kamu selesai," tawarnya, melangkah lebih dekat.

Ayunda menggeleng cepat, tangannya sudah sibuk mengumpulkan beberapa dokumen di mejanya. "Tidak usah. Aku tidak mau membuat kamu kelaparan. Lagipula ini tidak akan lama, paling setengah jam lagi selesai. Nanti sore aku buatkan kopi kesukaan kamu sebagai permintaan maaf, oke?"

Rangga menatapnya sejenak, mencoba membaca apakah ada yang tidak beres. Tapi wajah Ayunda tetap tenang, profesional, seperti biasa. Akhirnya ia mengangguk. "Baiklah. Tapi jangan lupa makan, ya. Jangan sampai kamu sakit."

"Iya," Ayunda tersenyum lebih lebar kali ini. "Hati-hati di jalan."

Rangga mengambil jas dan dompetnya, lalu meninggalkan kantor. Begitu suara lift yang membawanya turun terdengar, senyum di wajah Ayunda langsung menghilang. Ia melirik jam tangan, dua belas lewat dua puluh menit. Ia harus bergerak cepat.

Dengan gerakan cekatan, Ayunda mengambil tas kerjanya, memasukkan ponsel dan dompet, lalu berjalan keluar dari ruangan. Ia melewati beberapa karyawan yang sedang bersiap-siap pergi makan siang, tersenyum dan menyapa sekilas tanpa berhenti. Di lift, ia menekan tombol lantai basement dengan jari yang sedikit gemetar.

Mobilnya yang dibelikan Rangga tiga bulan lalu terparkir di spot khusus dekat lift. Ayunda masuk dengan cepat, menyalakan mesin, dan melaju keluar dari gedung Pradipta Medika menuju lokasi yang sudah ia tandai di GPS ponselnya.

Cafe Aurelia terletak di kawasan Kemang, tempat yang cukup jauh dari kantor Rangga untuk menghindari kemungkinan bertemu rekan kerja atau klien.

Ayunda memarkir mobilnya di belakang gedung, masuk melalui pintu samping, dan langsung menuju sudut paling belakang cafe di mana seorang pria sudah menunggunya.

Pria itu duduk membelakangi pintu masuk, mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung hingga siku, kacamata hitam masih bertengger di hidungnya meski berada di dalam ruangan. Di hadapannya, secangkir kopi americano sudah setengah habis. Begitu mendengar langkah kaki Ayunda, ia menoleh.

"Akhirnya," ucapnya dengan nada datar. "Aku pikir kamu tidak akan datang."

Ayunda duduk di hadapannya dengan napas sedikit tersengal. "Maaf, Mas Arya. Rangga agak sulit kubujuk tadi. Dia ingin makan siang bersama."

Arya, pria berusia tiga puluh lima tahun dengan wajah yang memiliki kemiripan dengan Ayunda di bagian mata dan hidung melepas kacamata hitamnya. Matanya yang tajam menatap adiknya dengan intensitas yang membuat Ayunda sedikit menciut.

"Kamu masih bisa melanjutkan ini?" tanyanya blak-blakan. "Atau kamu sudah mulai luluh dengan permainan kasih-kasihan pria itu?"

"Tidak," jawab Ayunda cepat, terlalu cepat. "Aku... aku tidak luluh. Aku hanya perlu berhati-hati agar dia tidak curiga."

Arya menatapnya lebih lama, seolah mencoba menembus kebohongan di balik kata-katanya. Kemudian ia mengambil map coklat tebal yang tergeletak di samping cangkir kopinya dan mendorongnya melintasi meja.

"Ini dokumen pengalihan perusahaan," jelasnya dengan suara rendah. "Semua sudah aku urus. Yang kurang hanya satu: tanda tangan Rangga Pradipta di halaman terakhir."

Ayunda membuka map itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada puluhan halaman dokumen legal dengan header notaris terkemuka. Matanya menyapu cepat kata-kata yang tertulis di sana: Pengalihan Kepemilikan Saham, Pradipta Medika, Penerima: Arya Kusuma...

"Ini..." suaranya tercekat. "Ini akan membuat Rangga kehilangan semuanya."

"Justru itu tujuannya," Arya menjawab dingin. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya turun menjadi bisikan yang tajam. "Atau kamu lupa apa yang pria itu lakukan pada Amara? Atau kamu lupa bagaimana adik kita yang malang itu mengakhiri hidupnya karena dia?"

Ayunda menutup matanya, napasnya berat. Nama itu, Amara selalu berhasil membuka luka lama yang tidak pernah sembuh.

"Aku tidak lupa, Mas," bisik Ayunda, suaranya bergetar. "Aku tidak akan pernah lupa."

"Bagus," Arya bersandar kembali, mengambil kopinya dan meneguk hingga habis. "Maka selesaikan ini. Buat dia menandatangani dokumen itu. Gunakan cara apapun yang kamu bisa. Kamu sudah sampai sejauh ini, Ayunda. Jangan mundur sekarang."

Ayunda menatap dokumen di tangannya. Otaknya berputar cepat, memikirkan strategi. Rangga tidak bodoh... dia tidak akan menandatangani dokumen penting tanpa membaca detail. Tapi Rangga juga punya kelemahan: dia terlalu percaya pada Ayunda, terlalu nyaman dengan rutinitas mereka.

"Aku akan menyisipkan dokumen ini di antara tumpukan surat yang harus dia tanda tangani hari ini," katanya pelan, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Arya. "Dia biasanya tidak membaca detail kalau aku yang sudah memeriksa terlebih dahulu. Dia... dia percaya padaku."

Ada sesuatu yang bergetar di suaranya saat mengucapkan kalimat terakhir. Arya menangkapnya.

"Kamu tidak boleh merasa bersalah," ucapnya tegas. "Ingat kenapa kamu melakukan ini. Ingat Amara yang menangis setiap malam karena pria itu. Ingat bagaimana kita menemukan tubuhnya di..."

"Cukup!" Ayunda memotong, suaranya lebih keras dari yang ia maksudkan. Beberapa pengunjung cafe menoleh. Ia menurunkan suaranya. "Aku tahu, Mas. Aku ingat semuanya. Aku akan menyelesaikan ini. Aku janji."

Arya menatapnya dalam-dalam, kemudian mengangguk. "Ini semua akan segera berakhir. Dan dendam Amara akan terbalaskan. Dia bisa beristirahat dengan tenang."

Mereka duduk dalam keheningan untuk beberapa saat. Ayunda menutup map itu, memasukkannya ke dalam tas kerjanya dengan hati-hati. Ketika ia mengangkat wajah, ada tekad baru di matanya... tekad yang dipaksa muncul untuk menutupi keraguan yang mulai tumbuh.

"Aku harus pergi," katanya sambil berdiri. "Rangga mungkin sudah selesai makan siang. Aku harus sampai di kantor sebelum dia."

Arya berdiri juga, meraih lengan adiknya dengan genggaman yang cukup kuat. "Ayunda, jangan sampai kamu jatuh cinta pada target kita. Jangan sampai kamu lupa siapa sebenarnya Rangga Pradipta."

Ayunda menarik lengannya perlahan. "Aku tidak akan lupa, Mas."

Ayunda kembali ke kantor dengan perasaan campur aduk. Ia memarkir mobilnya di tempat semula, memeriksa wajahnya di kaca spion untuk memastikan tidak ada jejak air mata, kemudian naik ke lantai kantor dengan elevator. Begitu sampai di mejanya, ia melihat Rangga belum kembali, laptopnya masih tertutup seperti yang ia tinggalkan tadi.

Dengan cepat, Ayunda mengeluarkan map coklat dari tasnya, menyembunyikannya di laci paling bawah mejanya. Ia akan menunggu waktu yang tepat. Harus sempurna. Tidak boleh ada yang salah.

Ponselnya berdering. Nama 'Rangga' muncul di layar.

"Halo?" jawabnya, berusaha membuat suaranya terdengar normal.

"Sayang, kamu sudah selesai?" suara Rangga terdengar hangat. "Aku sedang di Ristorante Bella. Kenapa kamu tidak menyusul? Aku pesan makanan kesukaanmu."

Ayunda terdiam sejenak. Ini kesempatan untuk bersikap normal, untuk tidak membuat Rangga curiga. "Baiklah. Aku selesai sekarang. Tunggu aku, ya."

"Oke, aku tunggu."

Ayunda meraih tasnya lagi, memeriksa riasan sekali lagi, dan berusaha mengubur semua keraguan di sudut paling dalam hatinya. Ia harus fokus. Harus menyelesaikan misi ini. Untuk Amara.

Ristorante Bella adalah restoran Italia kelas menengah, favorit Rangga untuk makan siang bisnis. Ketika Ayunda tiba, ia melihat Rangga sudah duduk di meja dekat jendela, menu terbuka di hadapannya.

"Hai," sapa Ayunda sambil duduk di hadapan Rangga, memasang senyum terbaiknya.

"Akhirnya," Rangga tersenyum lebar. "Aku sudah pesan aglio olio untukmu. Dan tiramisu untuk dessert."

"Terima kasih, sayang," Ayunda meraih tangannya di atas meja, menggenggamnya dengan lembut. Sentuhan yang terlatih, yang sudah ia pelajari selama berbulan-bulan.

Mereka berbincang ringan tentang pekerjaan, tentang rencana akhir pekan, tentang hal-hal sepele yang membuat hubungan terasa normal. Rangga tertawa pada lelucon Ayunda, matanya berbinar dengan kebahagiaan. Ayunda membalasnya dengan senyum, tapi di dalam dadanya ada rasa sakit yang menusuk.

Maafkan aku, Amara, batinnya. Ini semua untuk membalas dendammu.

Tepat saat pelayan membawa pesanan mereka, pintu restoran terbuka dan seorang wanita melangkah masuk.

Indira.

Mantan istri Rangga itu berdiri di pintu masuk dengan balutan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana hitam high-waist, rambutnya diikat ponytail tinggi, memancarkan aura profesional dan elegan. Ia menyapu pandangannya ke seluruh restoran, mencari meja kosong.

Mata Rangga dan Indira bertemu. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti.

Indira mengalihkan pandangannya dengan cepat, mencari meja lain. Tapi sialnya, restoran sedang ramai di jam makan siang, hampir semua meja terisi. Yang kosong hanya satu: meja tepat di samping meja Rangga dan Ayunda.

Indira menutup matanya sebentar, menghela napas panjang. Ia melihat jam tangannya, waktu sudah mepet, meeting dengan klien dari Korea akan dimulai satu jam lagi dan ia harus makan sesuatu sebelum itu. Dengan terpaksa, ia berjalan menuju meja kosong itu dan duduk, punggungnya menghadap Rangga.

Rangga menyaksikan semua ini dengan rahang yang mengeras. Kemudian, sesuatu dalam dirinya yang tidak dewasa... sesuatu yang lahir dari ego yang terluka dan keinginan untuk membuktikan diri mengambil alih.

Ia meraih tangan Ayunda di atas meja dengan lebih erat, lebih demonstratif. "Sayang, kamu tahu aku semakin sayang sama kamu," ucapnya dengan suara yang sedikit lebih keras dari biasanya, cukup keras untuk bisa didengar dari meja sebelah.

Ayunda tersentak, bingung dengan perubahan mendadak ini. Tapi kemudian ia mengerti, Rangga sedang pamer di depan Indira. Ada sesuatu yang menyakitkan di dalam dadanya, menyadari bahwa bahkan sekarang, Rangga masih belum bisa melepaskan mantan istrinya.

Tapi ia memainkan perannya. "Aku juga, sayang," jawabnya sambil tersenyum manis, membiarkan Rangga menggenggam tangannya.

Rangga mencondongkan tubuhnya ke depan, menyentuh pipi Ayunda dengan lembut... gerakan yang terlalu intim untuk tempat publik, terlalu dipaksakan. "Aku beruntung sekali punya kamu. Kamu sempurna."

Di meja sebelah, Indira memutar bola matanya. Ia membuka menu dengan gerakan yang sedikit kasar, berusaha mengabaikan drama murahan di sampingnya. Tapi kata-kata Rangga terus berdatangan, semakin menjengkelkan.

Pelayan datang ke meja Indira. "Ibu mau pesan apa?"

"Pasta carbonara dan lemon tea," jawabnya singkat.

"Baik, Bu. Mohon ditunggu."

Tepat saat pelayan pergi, pintu restoran terbuka lagi dan sosok tinggi melangkah masuk. Adrian Suryatama, mengenakan setelan jas abu-abu dengan dasi yang sedikit dilonggarkan, matanya langsung mencari-cari. Begitu menemukan Indira, wajahnya menyala dengan senyum.

"Dira!" panggilnya sambil mendekati meja wanita itu.

Indira menoleh, dan senyum tulus mengembang di wajahnya... sangat berbeda dari ekspresi datarnya beberapa detik lalu. "Adrian! Akhirnya kamu datang. Aku pikir kamu tidak jadi."

"Maaf, meeting mendadak tadi," Adrian duduk di hadapan Indira, meletakkan kunci mobilnya di meja. "Kamu sudah pesan?"

"Baru saja."

Di meja sebelah, Rangga menyaksikan kedatangan Adrian dengan rahang yang semakin mengeras. Tangannya yang menggenggam tangan Ayunda sedikit mengencang hingga Ayunda meringis.

"Rangga, sakit," bisik Ayunda.

Tapi Rangga tidak mendengar. Matanya terpaku pada Adrian dan Indira yang sekarang sedang berbincang dengan akrab...terlalu akrab menurut Rangga. Indira tertawa pada sesuatu yang Adrian katakan, tangannya menyentuh lengan pria itu dengan natural.

Sesuatu dalam Indira tiba-tiba tergerak. Mungkin karena ia mendengar semua pameran memuakkan Rangga tadi. Mungkin karena ia ingin membalasnya. Atau mungkin karena bagian kecil darinya ingin melihat reaksi mantan suaminya.

Ketika Adrian bercerita tentang sesuatu yang lucu, Indira tertawa lebih keras dari biasanya, tangannya mencapai dan menggenggam tangan Adrian di atas meja. "Adrian, kamu selalu bisa membuatku tertawa," ucapnya dengan suara yang cukup keras, mata berkilat nakal.

Adrian tersentak, matanya melebar dengan terkejut. Ia menatap tangan Indira yang menggenggam tangannya, kemudian menatap wajah wanita itu. Ada sesuatu yang berbeda di sana, sesuatu yang playful, mischievous.

Kemudian ia mengerti. Ia menoleh sekilas ke meja sebelah di mana Rangga duduk dengan wajah yang semakin memerah, dan semuanya menjadi jelas.

Indira sedang bermain.

Sebuah senyum licik muncul di wajah Adrian. Baiklah, kalau Indira ingin bermain, ia akan menjadi partner terbaik. Ia membalas genggaman tangan Indira, jempolnya mengelus punggung tangannya dengan lembut.

"Untuk kamu, aku akan melakukan apapun," jawab Adrian, suaranya lembut tapi cukup jelas terdengar.

Rangga berdiri dengan tiba-tiba, kursinya bergeser ke belakang dengan bunyi keras yang membuat beberapa pengunjung menoleh. Wajahnya merah padam, napasnya memburu, matanya menatap Indira dan Adrian dengan tatapan yang penuh kemarahan dan... iri.

"Rangga?" Ayunda berdiri juga, bingung dan khawatir. "Kamu, kenapa?"

"Kita pulang," ucap Rangga dengan suara datar tapi penuh emosi yang tertahan. Ia melempar uang di meja, lebih dari cukup untuk membayar pesanan mereka dan berbalik untuk pergi.

"Tapi makanan kita belum..."

"Aku bilang kita pulang!" bentaknya, membuat Ayunda tersentak dan beberapa pengunjung menatap mereka.

Tanpa menunggu Ayunda, Rangga melangkah cepat menuju pintu dan keluar dari restoran. Ayunda terpaksa mengikutinya dengan tergesa-gesa, wajahnya memerah malu karena perhatian yang tertuju pada mereka.

Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Indira tidak bisa menahan tawanya lagi. Ia tertawa lepas, membuat bahunya bergetar. "Oh Tuhan," ucapnya di antara tawa. "Kamu lihat wajahnya? Dia benar-benar marah!"

Adrian ikut tertawa, meski lebih pelan. "Kamu jahat sekali, Dira."

"Dia yang mulai duluan," bela Indira sambil mengelap air mata di sudut matanya karena tertawa. "Dengan semua pameran menjijikkan itu. Aku hanya membalasnya."

Adrian menatap Indira dengan tatapan yang lembut. Ia tahu tadi itu hanya sandiwara, Indira tidak benar-benar bermaksud apa-apa dengan genggaman tangan dan kata-kata manis itu. Tapi bahkan hanya sandiwara pun sudah cukup membuat hatinya berbunga-bunga.

"Aku senang bisa membantumu membalas dendam," ucapnya sambil tersenyum.

"Terima kasih," Indira menggenggam tangannya lagi, kali ini lebih lembut, lebih tulus. "Terima kasih sudah selalu ada untukku, Adrian."

Adrian menatap genggaman tangan mereka, dan dalam hatinya, ia membuat doa. Suatu hari nanti... ia tidak tahu kapan, tapi ia berharap suatu hari nanti genggaman ini akan nyata. Bukan sandiwara. Bukan untuk membalas dendam atau membuat orang lain cemburu.

Tapi karena Indira benar-benar ingin menggenggam tangannya. Karena wanita itu akhirnya membuka hatinya yang terluka dan membiarkan Adrian masuk.

Suatu hari nanti, Indira akan kembali ke pelukannya, tapi kali ini sebagai pilihan, bukan pelarian. Sebagai cinta, bukan kenangan masa lalu.

Dan Adrian bersedia menunggu selama apapun untuk hari itu tiba... Selama wanita itu adalah Indira.

1
Ma Em
Tidak mungkin Indira akan kambali padamu Rangga karena Indira sdh dapat penggantinya lelaki yg jauh lbh baik darimu Rangga , nikmati saja penyesalanmu seumur hidupmu .
Mundri Astuti
ntar lagi Adrian ..klo dah halal...girang beud dah, pecah telor y penantian panjangmu Adrian 😂
Aether
kesempatan apa goblok
Mundri Astuti
iya aja Dira....ntar kabur lagi jodohnya....
Rizka Susanto
skrng udh sadar kan bang.... sdh terjawab penyebab kehancuranmu slma ini itu apa😁
Rizka Susanto
kutunggu jandamu ya bang.. 😄😆
gaby
Janganlah sampai Ayunda hamil anak Rangga. Ntar ujungnya2 mreka balikan. Jgn kasih pendamping hidup lg buat pria tkg clapclup. Kasih karma karena dah bikin Amara hamil & bunuh diri. Ksh karma karena telah mengkhianati Indira. Jgn lupa karma buat Ayunda jg, apapun alasannya merusak rmh tangga wanita lain tdk di benarkan. Ksian Indira ga berdosa jd korbannya.
gaby
Knp Lina nyalahin Rangga?? Bukankah dia yg membantu pesta pernikahan Rangga. Coba kalo dia mencegah Rangga slingkuh. Pasti skrg Lina bisa bangga pny kaka ipar pemilik Zamora. Mana tuh kakeknya Rangga yg menghina Indira mandul?? Apakah jantung tuanya msh aman pas tau bahwa mantan cucu menantunya ternyata konglongmerat??
gaby
Aq heran sm Ayunda, ko bisa jatuh cinta sama pria yg dah menghamili adiknya lalu mencampakannya dgn menikahi Indira. Ayunda dah tdr sama Rangga aja haruanya jijik. Jijik karena dia menikmati Senjata yg sama dgn yg mbuat adiknya hamil lalu bunuh diri. Masa adik kaka bisa sama2 di pake oleh pria yg sama, mana sampe jth cinta lg. Ayunda tolol
gaby
Thor tolong hilangkan panggilan Mas utk rangga. Mas itu panggilan hormat yb di tujukan utk pria. Biat apa menghormati pria pengkhianat. Panggil Rangga aja atau ga usah sebut namanya sama sekali sbg wujud kemarahan seorg istri yg di khianati
gaby
Kalo alasan Rangga menikahi Ayunda karena keturunan, knp ga nunggu Ayunda hamil dulu br nikahin. Rugi dong kalo ternyata Ayunda ga bs hamil jg. Bilang aja karena napsu & cinta, bukan karena keturunan. Karena di jaman modern bny cara agar bisa hamil.
Sunaryati
Sadar dari kesalahan taubat dan bangkit jika masih ingin meneruskan hidup dengan baik dan menebus kesalahan, memang kau pria kejam, dan Ayunda aku menanti karnamu mungkin hamil anak Rangga
Aether
awokawok mampus
Lee Mbaa Young
wes hancur jd gembel tinggal ayunda pelakor blm dpt karma nya.
Lee Mbaa Young
Semoga perusahaan rangga itu bangkrut jd ya ayunda dan rangga sama sama gigit jari gk Ada yg dpt.
mau bgaimanapun ayunda adlh pelakor.
mau bgaimanapun alasannya ayunda adlh pelakor dan pelakor hrs dpt hukuman juga biar gk tuman dan gk Ada yg niru.
nnti jd kebiasaan mendukung ayunda jd pelakor krn blas dendam.
Afrina Wati
oke
Rati Nafi
😍😍😍😍😍
Sunaryati
Segitu kejamnya kamu pada wanita muda, Tangga.
Aether: Tangga Saha?
total 1 replies
Aether
wow ternyata sebajingan itu ya, sampai ada korban jiwa
Ma Em
Rangga siapkan saja mental kamu yg kuat jgn sampai kena serangan jantung karena sock perusahaannya sdh diambil alih oleh Arya saudaranya Ayunda atau selingkuhannya .
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!