Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.
Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.
Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?
Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Tiga
Arkan masih tak percaya dengan apa yg ia lihat. Sedari tadi ia terus menatap Arfan dan Emi bergantian, memastikan bahwa ini benar-benar bukan mimpi sama sekali.
Arfan sendiri hanya terduduk disofa depan Arkan dan tersenyum geli sembari memeluk pinggang Emi. Dia tahu adiknya itu pasti masih syok karena hal ini.
"Kak.. Aku benar-benar sedang tidak bermimpi kan?" tanya Arkan lagi yang kesekian kalinya.
Emi mendengus sembari meminum teh hangatnya sejenak kemudian menyenderkan tubuhnya pada tubuh Arfan.
"Aku capek menjawabmu Arkan. Tak ada pertanyaan lain ya?"
"Bu-bukan.. Aku hanya— siapa-siapa yang tahu soal kalian? Apa Kak Senja dan Langit tahu?"
"Tidak. Hanya Tuan Hans, Ayana dan Elira saja," jawab Arfan kalem.
Arkan melotot kaget. "Elira tahu?!"
"Yup.."
"Tapi dia tak memberitahuku!" Suara Arkan mulai meninggi. Sial, dia merasa seperti orang bodoh disini karena tak tahu apapun. Dan dia kesal karena Elira hanya diam saja tanpa mengatakan apapun.
Pria berdimple itu menghela nafas. "Bukan salahnya Arkan. Tuan Hans yang membuatnya bersumpah untuk tidak memberitahumu. Dia juga sama tersiksanya saat mengetahui kondisimu tapi tak ada yang bisa ia lakukan karena dirinya di kurung."
"Tapi seharusnya kalian memberitahuku! Aku hampir gila saat tahu kalian—kalian— argh!" Suaranya tercekat, tak sanggup mengutarakan yang ingin ia sampaikan. Membayangkan kembali membuat Arkan jadi ketakutan.
Mereka saling melirik melihat reaksi Arkan, jadi Emi bangkit dan duduk disamping adik iparnya. Menggenggam tangan itu lembut dan tersenyum.
"Maaf.. Kami tak bermaksud, Arkan. Tapi, hanya inilah satu-satunya cara agar Ayah percaya bahwa kami memang sudah meninggal."
Arkan menunduk dengan bahu bergetar. "Tapi tidak begini. Aku... Aku pikir aku sendirian, kak. Aku ... Aku bahkan berfikir untuk membunuh diriku sendiri."
Emi melotot. "Kau gila?! Awas saja sampai melakukan hal bodoh itu. Aku akan minta pada Tuhan menendangmu keluar dari akhirat!"
Bukannya takut malah kekehan kecil yang terdengar. Arkan mendongak menatap Emi dan memeluk wanita yang sudah ia anggap kakaknya sendiri itu dengan lembut.
"Aku senang kalian baik-baik saja."
Wanita cantik itu hanya tersenyum dan balas memeluk Arkan erat namun matanya menyendu.
Ya.. Seandainya semua selamat.. Seandainya..
"Hey.. Kau tak lupa sedang memeluk istri Kakakmu ini kan?" Arfan berdehem berusaha memecah keheningan dengan candaan.
"Sebentar lagi. Kak Emi hangat, sih." Arkan malah menggoda sembari menggoyang-goyangkan tubuh mereka kekiri dan kekanan hingga Emi tertawa gemas.
"Hei! Lepaskan istriku..dasar pebinor!"
"Iish.. Aku cemburu loh Daddy~" Suara Elira terdengar dari depan. Membuat semua orang langsung menatap kearahnya.
Arkan kaget karena mendapati Elira yang sedang dalam gendongan Farhan ala bridal. Wajahnya masih memucat tapi ia berusaha terlihat baik-baik saja.
Jadi dengan cepat Arkan berdiri dan menghampiri mereka.
"Sayang, Kenapa disini? Kau masih belum sembuh benar." Arkan berucap khawatir. Tapi gadis itu tak menjawab dan malah menyender dipundak Farhan.
"Nona muda bilang merindukan anda dan memaksa agar dibawa kesini," jawab Farhan.
Arkan mengangguk lalu mengambil alih tubuh Elira yang mengurus dari gendongan Farhan. "Biar aku saja. Kau istirahatlah. Terimakasih," kata Arkan sopan.
Farhan ikut tersenyum dan membungkuk sebelum berjalan keluar menuju mobil untuk mengambil barang-barang Elira.
"Kelantai atas saja, Arkan. Ada kamar kosong yang bisa kalian tempati disana," kata Arfan.
"Okey.."
Dengan cepat Arkan melangkah menaiki tangga tanpa kesulitan sama sekali. Elira benar-benar mengurus dan itu membuatnya sedih sekali.
"Kenapa seringan ini sayang?" tegur Arkan sembari terus melangkah menaiki tangga.
Elira tersenyum dan menyamankan posisinya dipundak Arkan. "Karena aku rindu padamu."
Arkan membuka pintu kamar dan masuk kemudian menutupnya dengan kaki sebelum ia menidurkan tubuh Elira diatas ranjang. Tanpa banyak kata ia pun ikut naik keatas ranjang dan membiarkan lengannya dijadikan bantal.
"Tetap saja aku benci melihatmu begini. Pokoknya kau harus makan banyak mulai sekarang," ucapnya sembari bermain disekitar poni sang terkasih.
"Apa aku tak terlihat menarik lagi dimatamu, Daddy ? Maaf.."
Tangan bebas Arkan menangkup pipi pucat dan tirus itu untuk menghadapnya. Sedikit menunduk agar bisa mengecup bibir Elira yang pucat.
"Bagaimanapun keadaanmu.. Dimataku kau tetap paling menarik dan mempesona.."
Elira tersenyum lalu berbalik dan memeluk pinggang Arkan. "Daddy.. Bagaimana wanita itu? Apa dia wanita yang baik?"
"Apa maksudmu?"
"Aku tahu Daddy dijodohkan. Jadi, apa dia wanita yang baik? Daddy menyukainya?"
"Elira.."
"Kalau Daddy menyukainya, aku tak keberatan jika Daddy menikah dengannya. Lagipula, dia bisa memberimu keturunan ketimbang aku.."
Ekspresi Arkan berubah.
"Elira!"
Gadis itu menatap Arkan sambil tersenyum, telapak tangannya mengelus lembut rahang tegas sang dominan yang ditumbuhi janggut halus.
"Awalnya akan berat untukku.. Tapi aku akan baik-baik saja seiring waktu. Aku takkan— hmmptt..!"
Bibirnya dibungkam begitu saja oleh bibir Arkan. Melumatnya gemas diikuti perasaan marah yang menguar. Arkan hanya ingin Elira, kenapa Elira malah dengan mudahnya menyerah begitu saja sementara ia tengah berjuang disini.
Itu menyebalkan sekali.
Dengan cepat Arkan sudah berada diatas tubuh Elira, mengukung pria manisnya dengan penuh dominasi. Kemudian melepaskan ciuman menuntut itu dan menatap tajam Elira.
"Aku hanya ingin kau. Jadi berhentilah berbicara omong kosong, Elira. Kau mengerti?"
Elira terisak tapi ia mengangguk, jujur saja ia sakit hati saat tahu Arkan sudah dijodohkan dengan orang lain yang sudah dipastikan bisa memberikannya keturunan.
Ia ingin menyerah saat itu.. Tapi rasanya tak sanggup.
Dan sekarang seluruh hatinya menghangat mendengar ucapan Arkan.
"Cium aku, Daddy," pintanya.
Maka Arkan mulai melumat lagi bibir itu tanpa diminta dua kali. Kali ini bermain lebih lembut dan penuh cinta, seolah ingin menunjukkan pada Elira bahwa ia serius dengan ucapannya.
Ia mencintai Elira.
Ia hanya ingin Elira.
Sampai kapanpun.. Hanya akan ada Elira saja dihatinya.
Bukan Sena atau lainnya. Tapi hanya Elira.
***
Arkan turun dari kamar setelah memastikan Elira terlelap. Ia membelalak saat mendapati Salva sedang duduk bersama Arfan dan Emi yang tengah memangku Sherin.
"Salva?"
Salva menoleh dan tersenyum, ia berdiri untuk menyapa tapi malah dikejutkan oleh Arkan yang tiba-tiba berjalan cepat kemudian memeluknya erat.
"Kau baik-baik saja?"
"Uh.. I-iya, kak," jawabnya kaku.
Ia melepas pelukannya dengan helaan nafas lega. Dia pikir Salva dibawa kemari karena dalam bahaya juga.
"Kenapa kemari? Dan dengan siapa?" tanyanya.
"Kak Ayana yang menyuruhku dan aku bersama kak Raka," jawabnya sambil menunjuk sosok Raka yang sudah tertidur disofa saking lelahnya menyetir.
"Aku meminta Ayana untuk membawa Salva dan Sherin kesini. Aku cemas Ayah akan melakukan hal gila lainnya pada mereka. Cukup aku dan Emi saja yang merasakannya," jelas Arfan sembari mengelus sikecil Sherin yang tengah bersantai dipangkuan Emi sambil bermain game.
Arkan mengangguk dan kembali menatap Salva. "Aku senang kalian baik-baik saja."
Belum sempat Salva menjawab, ponsel Arkan sudah berdering.
Nama Sena tertera disana.
"Hallo?"
"Arkan, kau dimana? Ayahmu terus bertanya. Cepat datang. Aku kehabisan alasan."
"Aku sedang berada ditempat jauh. Katakan saja aku sedang tidur karena lembur."
"Baiklah. Tapi aku serius. Ayahmu sepertinya mulai curiga."
"Aku mengerti.."
Lalu panggilan dimatikan oleh Sena, sementara Arkan mengusak rambutnya kasar dengan helaan nafas.
"Ada apa?" tanya Emi.
"Aku harus kembali ke Jakarta.. Tolong jaga Elira, ya," pintanya kemudian menatap Salva dan mengelus rambutnya. "Baik-baiklah disini.."
Salva hanya mengangguk.
Setelah itu Arkan mengambil kunci mobil yang tadi digunakan Raka dan bergegas kembali ke Jakarta.
Jangan sampai Ayahnya mencurigai sesuatu.
**"
Ditempat lain..
Sena baru kembali dari kamar kecil dan tersenyum pada Tuan Harsa sebelum duduk ditempatnya.
"Bagaimana sayang?" Sang ibu bertanya padanya.
"Sepertinya Arkan masih tidur. Aku ingat semalam kami telponan dan dia bilang sedang lembur," jawab Sena seadanya berusaha tetap tenang agar aktingnya dipercaya.
Tuan Harsa mengangguk. "Begitukah? Ya sudah tak apa, Yang pasti kalian semakin dekat saja aku sudah senang. Apa Arkan memperlakukanmu dengan baik?"
Gadis itu tersenyum manis. "Iya Ayah.. Arkan baik sekali padaku."
"Syukurlah. Aku harap pernikahan kalian akan lancar nanti."
Sena hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun lagi. Dia hanya berharap Arkan bisa menemukan solusi agar ia tak perlu berakting seperti ini lagi.
Baru saja Tuan Harsa hendak bicara sebelum ponselnya bergetar. Ia membungkuk minta maaf pada calon besan serta menantunya untuk menjawab panggilan tersebut.
"Ada apa? Aku sedang—"
"Tuan.. Orang-orang dari pengadilan datang dan membawa semua berkas-berkas penting kita.. "
"Apa?!"