Ayo, Menikah!

Ayo, Menikah!

Prolog

Ini hari senin..

Hanya mau mengingatkan kalau semua aktivitas segera dimulai pada hari SENIN.

Siapa yang benci hari senin?

Sama kalau begitu.

Arkan juga tidak benci hari senin.

Namanya Arkan Rayendra Wicaksana— Pria lulusan Universitas ternama di Indonesia dengan predikat kelulusan MEMUASKAN.

Karena dia bisa memuaskan dalam segala aspek.

Baiklah, itu tidak nyambung. Fokus.

Jadi, dihari senin yang fana ini Arkan sudah bersiap dengan pakaian formal ala pekerja kantoran.

Mau kemana?

Ya, kekantor lah.

Untuk kerja?

Lebih tepatnya untuk melamar pekerjaan yang kesekian kalinya.

Sebelum itu, Arkan sudah bermeditasi dikamar mandi dan mandi kembang 7 rupa agar kali ini ia tak berakhir dengan kalimat, "Kami akan menghubungi anda nanti, Pak"

Sederet kalimat yang dipenuhi harapan palsu, nyatanya tak ada panggilan telpon sama sekali meski Arkan sudah dengan sangat rajin menunggu sambil memegang ponselnya 7/24 tanpa lelah.

Terkadang ia bingung kenapa dirinya selalu ditolak?

Apakah ia kurang tampan?

Tidak mungkin. Menurut kenarsisannya— Arkan termasuk pria dengan visual di atas rata-rata.

Atau karena ia tak fasih berbahasa Inggris?

Tapi Arkan itu pecinta tanah air dengan seluruh jiwa raganya. Jadi ia menolak untuk mempelajari bahasa Asing sama sekali.

Sebenarnya itu hanya alasannya saja.

Otaknya memang tak sampai kalau soal Bahasa Inggris.

Jadi begitu.

Arkan kembali merapikan pakaiannya lalu mengambil tas yang berisi map lamaran kerjanya. Kemudian berjalan keluar dari kamar menuju ruang makan dimana sudah tersedia roti panggang dengan bacon serta telur mata sapi setengah matang.

Ia baru saja duduk sebelum ponselnya berdering heboh disaku celananya.

Kak Emi is calling..

"Halo Kak?"

"Oh.. Tumben sudah bangun. Ini baru jam 8 pagi loh.."

"Aku mau lamar kerja, kak. Jadi wajarlah."

Hening.

"Lagi?"

Arkan bergumam sembari tangannya menyusun bacon serta telur diatas roti lalu menutupnya dengan roti lain hingga seperti sandwich.

"Astaga., Arkan. Berapa kali Aku bilang tid—"

"Ssstt! Kak, Aku ini pria, kalau aku tak bekerja bagaimana aku bisa melamar kekasihku nanti?"

"Memangnya kau punya kekasih?"

"Tidak.. Hehehehe"

"Terserah. Dengar, Kenapa kau tidak—"

"Aduh, Kak Emi Kumohon jangan membuat moodku hancur pagi-pagi."

"Heh! Bahkan aku belum mengatakan apapun, bodoh!"

"Karena aku tahu kakak akan melarangku mencari pekerjaan."

"Bukan melarang, Arkan! Tapi—"

"Sudahlah, Kak. Aku harus pergi, kirim salam untuk Kak Arfan, Ya. Bye~"

Dan Arkan mematikan sambungannya sepihak. Tak perduli jika Emi mungkin saja sedang mengumpatinya saat ini dan Arfan lah yang akan jadi sasarannya.

Lagipula Arkan itu heran pada Emi— kakak iparnya. Kenapa wanita itu selalu saja protes jika dirinya hendak melamar pekerjaan?

Padahal Arkan bukan melamar pekerjaan yang aneh-aneh. Dia hanya sebatas memasukan lamaran pada perusahaan-perusahaan besar lalu diinterview sejenak sebelum ia ditolak dengan cara paling menyebalkan— tunggu ditelpon.

Sialan sekali.

Arkan menyelesaikan sarapannya dan keluar dari dalam rumah mewah miliknya menuju audi hitam yang sudah terparkir dengan cantiknya didepan. Bersenandung pelan saat masuk kedalam mobil lalu menjalankannya menuju perusahaan yang akan ia tuju.

***

"Jadi.. Namamu Arkan Rayendra Wicaksana?"

Arkan tersenyum lebar, "Iya pak.."

Pria paruh baya itu mengerutkan kening sejenak, "Namamu kok sepertinya tidak asing, ya," gumamnya sambil seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Ah, masa, sih pak? Ini pertama kalinya saya melamar di sini, loh," jawab Arkan yakin.

Ngomong-ngomong dirinya sedang diinterview saat ini, duduk dihadapan 3 orang pria paruh baya yang sepertinya memiliki jabatan cukup penting.

Pria yang ditengah sibuk membuka berkas-berkas Arkan sebelum ia membelalak syok membaca biodata diri anak itu lebih dalam lagi.

Kemudian menutup map itu cepat dan berdehem dengan senyuman canggung ke arah Arkan.

"Jadi, Kau melamar dibagian Marketing?"

"Iya, Pak."

"Tidak berminat bidang lain? Sekretaris misalnya?"

Dahi Arkan mengernyit heran, kenapa mereka jadi menawarkan bidang lain sementara ia hanya tertarik dibidang Marketing?

Lagipula menjadi sekretaris itu bukan keinginan Arkan. Pekerjaan itu tak cocok dengannya yang bahkan mengatur dirinya sendiri saja tidak becus, apalagi mengatur jadwal bosnya.

Hancurlah.

"Umm.. Saya rasa saya lebih cocok dibagian Marketing, pak.." Jawab Arkan seadanya.

Pria tua itu hendak berbicara lagi sebelum temannya mengalihkan perhatiannya pada ponsel yang ia pegang. Kemudian mereka bertiga saling berpandangan sejenak sebelum kembali menatap Arkan yang masih menatap mereka dengan raut wajah bingung.

"Jadi.. Bagaimana pak? Saya diterima atau saya harus menunggu panggilan telpon lagi?" Arkan bertanya tak sabaran, biarlah dianggap tak sopan. Toh, ia juga sudah tak sabaran.

Maklum, Semenjak lulus kuliah ia jadi menganggur selama setengah tahun sebelum memutuskan mulai mencari pekerjaan. Bosan terus-menerus bolak-balik luar Negeri hanya untuk liburan.

Ketiga orang dihadapannya tersenyum lebar dan bertepuk tangan, Arkan yang bingung otomatis ikut tepuk tangan juga. Padahal dia tak tahu ada apa sebenarnya. Tubuhnya hanya refleks mengikuti saja.

"Anda kami terima. Selamat datang di Perusahaan kami, Pak Arkan."

Arkan membelalak, ia hampir meloncat kegirangan jika tak mengingat Manner yang selalu diajarkan oleh kakeknya.

"Anda serius kan pak?!"

"Tentu saja."

"Wahh.. Terimakasih.. Terimakasih!"

Akhirnya..

Arkan punya pekerjaan juga setelah ia menunggu selama beberapa bulan lamanya. Tak sia-sia mandi kembang 7 rupa yang selalu ia lakukan setiap malam jumat.

***

Ditempat lain..

"Bagaimana?" Tanya Emi sembari menyeduh kopi hitam kesukaan suaminya, Arfan.

Pria ber-dimple itu menghela nafas dan meletakkan ponselnya diatas meja sembari mengurut keningnya.

"Terkadang aku tak mengerti isi pikiran anak itu.. Kenapa ia malah repot-repot melamar di Perusahaan Keluarga? Kan ia calon direkturnya."

Emi mendengus, "Sudah ratusan kali aku mencoba mengatakan padanya dan dia selalu saja memotong ucapanku. Adikmu itu ingin sekai kugetok kepalanya dengan panci pemberian ibuku!" Geram Emi sebal.

Sementara Arfan hanya meringis saja, mau bagaimana lagi Arkan adiknya itu memang tak bisa ditebak.

Anak itu sebenarnya terlalu polos yang menyerempet bego.

Dia terlalu sibuk dengan dunianya sampai-sampai tidak tahu tentang hal-hal yang seharusnya sudah ia ketahui.

Untung Arfan sayang padanya, kalau tidak sudah ia tenggelamkan adik semata wayangnya itu di sungai Ciliwung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!