Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 16.
Keesokan paginya, rumah masih diselimuti ketegangan. Arsyi sibuk di dapur, membantu pelayan menyiapkan sarapan untuk Raisa, sementara baby Aidan masih terlelap dijaga oleh Sinta.
Tugas Arsyi kini bukan sekadar ibu susu, melainkan juga teman sekaligus sandaran bagi Raisa yang rapuh.
Saat ia membawa nampan sarapan ke kamar Raisa, takdir justru mempertemukannya dengan Rendra. Pria itu sudah duduk di sofa dekat ranjang, aura dinginnya memenuhi ruangan. Tatapan keduanya sempat bersinggungan, sebelum Arsyi buru-buru memalingkan wajah.
“Masuklah, Rendra juga baru datang,” suara Raisa memecah hening.
Rendra menoleh, suaranya datar. “Bagaimana keadaanmu, Raisa?”
“Lebih baik, malam tadi aku tidur nyenyak,” jawab Raisa sambil tersenyum tipis.
Arsyi meletakkan nampan di sisi ranjang, tapi tiba-tiba suara Rendra kembali terdengar.
“Aku yang akan menyuapi Raisa, pergilah.”
Nada dingin itu membuat Arsyi mengerenyit, namun ia tak ingin memperpanjang. “Baiklah.”
Belum sempat ia melangkah keluar, Raisa memandang keduanya dengan curiga. “Kalian bertengkar, ya? Wajah kalian sama-sama masam begitu.”
Rendra diam, sementara Arsyi pura-pura sibuk merapikan jilbabnya.
“Aku tidak mau sarapan kalau kalian masih tegang begini,” protes Raisa, bibirnya cemberut. “Atau… perlu aku paksa kalian berciuman, biar baikan sekarang juga?”
“Raisa!” seru Arsyi panik, namun sebelum ia sempat menghindar tangannya dicekal oleh Rendra.
“Kami akan sarapan, perawat bisa menemanimu makan,” ucap Rendra tenang.
Raisa menghela napas panjang, lalu mengusir mereka dengan ekspresi setengah puas. “Baiklah, pergi sana! Aku bukan anak kecil yang harus diurus terus.”
Rendra lalu menarik lembut tangan Arsyi keluar kamar.
Di meja makan, Rendra langsung memerintah. “Duduk, temani aku sarapan.”
Arsyi menggeleng cepat. “Saya lebih suka sarapan di dapur dengan yang lain, Tuan.”
“Menurutlah! Lagipula… nanti siang aku akan mengantarmu ke sidang cerai pertamamu.”
Arsyi terkejut. “Sidang? Kenapa Tuan baru bilang sekarang?”
“Kau yang selalu menghindariku, lagi pula asistenku yang mengurus. Aku juga baru tahu semalam, setelah bertemu denganmu.”
Arsyi terdiam, lalu menghela napas berat. “Kalau begitu… sekali lagi terima kasih, Tuan.”
Rendra tersenyum tipis. “Kalau benar mau berterima kasih, lakukan dengan cara lain. Kau biasa menyuapi Raisa, kan? Hari ini… suapi aku.”
Serentak, para pelayan yang berdiri di belakang langsung terbatuk-batuk menahan tawa.
Arsyi melotot. “Tuan ini sehat-sehat saja, tangan Tuan lengkap. Kenapa saya harus menyuapi Tuan?”
“Sepertinya aku memang sakit.” Rendra mencondongkan tubuh, senyumnya sinis. “Sakit karena... kamu.”
Kali ini para pelayan hampir tak kuat menahan suara, beberapa terkikik geli dan sebagian berpura-pura tak mendengar.
Arsyi merona, mendengus kesal. “Tuan… ini bukan waktunya bercanda.”
“Baiklah, aku makan sendiri. Kau cukup duduk menemani...”
Baru saja suasana mulai tenang, tiba-tiba Arsyi tanpa sengaja menyenggol gelas jus. Isinya tumpah, tepat ke kemeja putih Rendra.
“Ya ampun! Maaf, Tuan!” Arsyi buru-buru mengambil tisu, menepuk dada Rendra dengan panik.
Rendra menunduk, melihat tangan Arsyi yang masih menempel di dadanya. Tatapan matanya perlahan naik, mengunci milik Arsyi.
Wanita itu sontak menarik tangannya, wajahnya memerah. “S-saya hanya… membersihkan jusnya!”
Alis Rendra terangkat, senyum tipis menghiasi wajah dinginnya. “Atau sebenarnya... kau memang sengaja ingin menyentuhku?”
Arsyi mendengus, pipinya merona. “Tuan, ini__“
Tiba-tiba saja tawa pecah dari bibir Rendra, tawa lepas yang sudah lama hilang dari rumah itu. Suaranya jernih penuh kelegaan, seakan-akan beban yang menindih dadanya sedikit terangkat. Ia senang sekali melihat wajah Arsyi memerah karena gugup. Betapa polos, betapa mudah digoda dan justru itulah yang membuat udara di antara mereka yang tadinya berat kini terasa lebih ringan.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, rumah itu menyimpan percikan hangat. Ketegangan yang membelenggu akhirnya mulai mencair, walau hanya setitik.
Di atas tangga, Raisa berdiri bersama perawat yang setia menemaninya. Matanya berkaca, namun senyumnya tulus. Ada rasa bahagia yang lirih, karena melihat Rendra tersenyum.
"Ren... ini hutangku padamu. Kamu pantas bahagia, dan kebahagiaan itu... bukan bersamaku. Tetapi bersama wanita setegar dan setulus Arsyi. Dia akan menjagamu, dia juga akan mencintai Aidan. Menyayangi anakku... seolah darah dagingnya sendiri."
Air matanya menetes pelan, namun ia tetap tegar.
"Kelak, jika aku tak lagi sanggup menahan sakit ini... bila waktuku tiba untuk menyusul Rio. Kumohon, maafkan aku. Aku titipkan anakku padamu dan pada Arsyi. Jangan biarkan dia merasa kehilangan cinta seorang Ayah dan ibu."
Kata-katanya begitu pelan hilang ditelan keheningan, tak seorang pun mendengar bahkan perawat di sampingnya pun tidak.
.
.
Siang itu, Arsyi pergi ditemani Rendra ke pengadilan. Baby Aidan dan Sinta juga ikut serta.
Sementara itu, Fajar hanya bisa menahan kecewa. Atasannya melarang ia pergi ke pengadilan, meski ia sudah meminta izin. Ia sangat ingin bertemu Arsyi, istrinya yang sudah lama pergi dari rumah.
Yang tak ia ketahui, Rendra-lah yang meminta atasan Fajar menahannya. Bagi Rendra, hari itu Arsyi harus benar-benar bebas tanpa ada gangguan.
Sidang berjalan lancar, bahkan kabar mengejutkan membuat Arsyi hampir tak percaya. Hakim menyatakan perceraian bisa dipercepat setelah melihat bukti pernikahan Fajar dengan wanita lain tanpa izin istri pertama. Ketidakhadiran Fajar di persidangan menjadi alasan tambahan yang menguatkan.
Secara hukum negara, Arsyi resmi bebas. Hanya saja, secara agama ia masih harus menunaikan masa iddah. Namun itu hanya formalitas, sebab sejak melahirkan Arsyi tak pernah lagi disentuh Fajar. Ia tahu, dirinya tak mungkin mengandung anak dari pria itu.
Selesai persidangan, Rendra meminta supir mengarahkan mobil ke pemakaman. Di sana keheningan menyambut mereka, itu adalah makam Rio.
Rendra berjongkok di depan pusara sahabatnya yang telah pergi setahun lebih. Ia menatap nisan itu dengan mata yang berkabut, suaranya pelan dan bergetar.
“Rio… maafkan aku. Sepertinya aku tak mampu menepati janjiku dulu. Kita pernah berjanji untuk selalu melindungi Raisa. Kau sudah menepati bagianmu, melindunginya dari kakakmu. Tapi aku… hanya bisa menjaganya sebagai teman dan sebagai keluarga. Kau tidak marah padaku, kan?”
Ia menunduk, menggenggam tanah di atas pusara itu.
'Aku tak lagi mencintai Raisa seperti dulu. Aku tetap menyayanginya, tapi sebatas keluarga. Sepertinya, hatiku sudah dicuri oleh wanita lain. Wanita itu… ada di sebelahku saat ini. Dia tulus, dia kuat. Dan entah bagaimana… dia membuatku merasa hidup lagi. Tolong restui aku, kawan! Aku akan tetap melindungi Raisa, tapi bukan lagi sebagai pasangan. Aku mohon… jangan marah. Jangan hantui aku, ya.' Ucap Rendra dalam hati.
Arsyi sendiri ikut berjongkok di samping Rendra, sementara baby Aidan berada di dalam mobil bersama Sinta dan dilindungi para pengawal.