NovelToon NovelToon
Voice From The Future

Voice From The Future

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Romansa Fantasi / Teen School/College / Time Travel / Romansa / Enemy to Lovers
Popularitas:50
Nilai: 5
Nama Author: Amamimi

Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Samaran Aset

Siang itu, sinar matahari masuk dengan terik melalui jendela ruang OSIS. Namun, suasana di dekat meja ketua terasa sedikit mendung.

Renjiro Sato berdiri di depan meja Marika, tangannya memegang lengan kiri seragamnya sendiri. Tepatnya, dia memegang badge kain bertuliskan "OSIS - SEKRETARIS II" yang baru seminggu ini terpasang di sana.

"Izin, Ketua," kata Ren pelan.

Marika tidak mendongak dari laptopnya. "Kalau mau ke toilet, tidak perlu izin tertulis. Asal jangan lama-lama."

"Bukan itu," Ren menelan ludah. Dia tahu ini akan sulit. "Aku... aku mau minta izin buat lepas badge ini sebentar."

Jari-jari Marika berhenti mengetik. Hening.

Perlahan, Marika mendongak. Tatapannya tajam, seolah Ren baru saja minta izin untuk pindah sekolah.

"Alasannya?" tanyanya singkat.

Ren sudah menyiapkan alasan ini semalaman. Dia tidak bisa bilang "Karena istrimu di masa depan menyuruhku memata-matai Takae Yumi yang mungkin akan cedera parah." Itu terlalu tidak masuk akal. Dia butuh alasan yang bisa diterima logika Marika.

"Penyamaran," jawab Ren mantap.

Alis Marika terangkat sebelah. "Penyamaran?"

"Iya. Misi lapangan," lanjut Ren, berusaha terdengar meyakinkan. "Kamu tahu kan minggu depan ada pertandingan persahabatan basket? Nah, aku dengar gosip kalau manajemen tim basket lagi... berantakan. Sebagai Sekretaris yang baik, aku mau cek kondisi mereka yang sebenarnya."

Ren menarik napas. "Tapi... kalau aku masuk ke GOR pake badge OSIS ini, mereka bakal kaku. Mereka bakal pasang tembok karena menganggap OSIS itu musuh yang pelit anggaran. Aku nggak bisa dapet info jujur."

Ren menatap Marika serius. "Aku harus jadi 'Sato biasa'. Bukan 'Sato orang OSIS'. Supaya aku bisa ngobrol santai sama mereka."

Marika menatap Ren lama sekali. Dia memindai wajah Ren, mencari kebohongan. Logikanya menerima argumen itu. Memang benar, mengirim orang tanpa atribut resmi kadang lebih efektif untuk mencari informasi.

Tapi hatinya—bagian kecil yang sensitif itu—berteriak tidak setuju.

Badge itu adalah tanda bahwa Ren adalah bagian dari timnya. Melepasnya terasa seperti... Ren ingin kabur sejenak darinya.

"Hmph," Marika mendengus, memalingkan wajah ke layar laptop. "Caramu berlebihan cuma untuk mengecek klub basket."

"Tapi masuk akal, kan?" desak Ren.

"Terserah," kata Marika ketus, nadanya sedikit merajuk. "Lepas saja. Tapi ingat, Sato-kun. Itu cuma sementara. Jangan lupa kamu itu anggota siapa."

Ren tersenyum lega. "Siap, Ketua. Makasih ya."

Dengan cepat, Ren melepas peniti badge itu. Dia merasakan beban tanggung jawab terangkat sedikit dari lengannya. Dia memasukkan benda itu ke saku celananya, lalu berbalik menuju pintu.

"Aku ke GOR dulu sebentar. Jam istirahat masih 20 menit," kata Ren ceria.

Marika tidak menjawab. Dia hanya mengetik dengan lebih keras dari sebelumnya.

Saat pintu tertutup di belakang Ren, Marika berhenti mengetik. Dia menatap pintu kayu yang tertutup itu dengan pandangan kesal.

"Penyamaran..." gumamnya sinis. "Bilang saja mau main sama atlet basket itu."

Suasana di GOR basket sangat berbeda dengan ruang OSIS yang sunyi. Di sini ramai, penuh suara sepatu berdecit, dan semangat yang meluap-luap.

Ren melangkah masuk. Tanpa badge OSIS di lengannya, dia merasa lebih santai.

"Hei! Pak Manajer Kebersihan!"

Sebuah sapaan ceria menyambutnya. Takae Yumi sedang berdiri di tengah lapangan, memegang bola di pinggangnya. Dia menyeringai lebar saat melihat Ren. Keringat membasahi pelipisnya, membuat rambut pendeknya terlihat sedikit berantakan tapi keren.

"Namaku Ren, Takae-san," balas Ren sambil tersenyum, berjalan mendekat.

"Tapi kamu jagonya bersih-bersih," ledek Takae. Dia terdengar sedikit kaku saat mengucapkan kata 'kamu', tapi dia tetap memaksakannya.

Takae berjalan mendekat, matanya langsung tertuju pada lengan kiri Ren yang kosong. Matanya berbinar senang.

"Wah... pengawal setia-nya enggak ikut? Dan... kamu lepas kalung identitas kamu?" tanyanya sambil menunjuk lengan Ren.

Ren tertawa kecil. "Lagi 'cuti' sebentar. Pengen liat latihan aja. Katanya minggu depan tanding?"

"Iya dong! Lawan SMA Seihoku. Mereka kuat, tapi... aku bakal acak-acak pertahanan mereka," kata Takae penuh percaya diri, menepuk dadanya sendiri. "Sini bolanya. Liat nih. Aku lagi ngelatih gerakan baru."

Takae mengambil bola dari tangan Ren. Jari mereka sempat bersentuhan sedikit, membuat Takae tersenyum miring.

Dia mulai bergerak. Dia melakukan gerakan memutar yang sangat cepat, lalu melompat tinggi untuk memasukkan bola ke keranjang (lay-up).

Gerakannya indah. Kuat. Penuh tenaga.

Tapi Ren, yang sudah diberi "bocoran" oleh Marika dewasa, tidak melihat bolanya masuk ke keranjang. Matanya terpaku pada kaki kanan Takae.

Saat Takae mendarat setelah melompat...

TAP.

Ada jeda sepersekian detik. Wajah Takae mengernyit, sangat tipis, hampir tak terlihat. Lutut kanannya sedikit goyah sebelum dia menyeimbangkan diri lagi dengan cepat.

"Gimana? Keren kan?" seru Takae, berbalik menghadap Ren dengan senyum lebar, menyembunyikan rasa sakitnya.

Ren tidak membalas senyumnya. Dia berjalan mendekat sampai jarak mereka cukup dekat.

"Takae," panggil Ren, nadanya serius. "Lutut kamu... sakit?"

Senyum Takae sedikit memudar, lalu dia tertawa keras, mencoba menutupi kekagetannya. "Hah? Sakit apaan? Aku sehat banget kok! Itu tadi cuma... pendaratan gaya baru!"

"Tadi kamu ngeringis pas mendarat," desak Ren lembut. "Dan pas lari balik ke sini, langkah kaki kanan kamu agak diseret. Kelihatan kok."

Takae terdiam. Dia menatap Ren dengan tatapan aneh. Biasanya orang cuma liat bolanya masuk atau enggak. Enggak ada yang merhatiin kakinya sedetail itu. Bahkan pelatihnya pun enggak sadar.

" Kamu... cerewet banget sih jadi cowok," elak Takae, memalingkan wajah sambil memantulkan bola pelan ke lantai. Pipinya sedikit merona. "Ini cuma pegel dikit. Biasa lah atlet. Nanti juga sembuh."

"Jangan dipaksa," kata Ren tegas. "Kalau sakit, istirahat dulu."

Takae berhenti memantulkan bola. Dia menatap Ren lagi. Kali ini tatapannya melembut. Sisi kerasnya runtuh sedikit demi sedikit.

" Kamu khawatir sama aku, Ren?" tanyanya. Nada suaranya berubah, terdengar menggoda tapi tulus. Dia melangkah maju, mempersempit jarak di antara mereka.

Ren tidak mundur. "Aku khawatir tim sekolah kalah kalau pemain andalannya jatuh sakit." (Ren menggunakan alasan logis ala Marika agar tidak terdengar terlalu perhatian).

Takae tertawa. "Alasan kamu klise banget."

Tiba-tiba, Takae merangkul leher Ren dengan lengan kirinya yang berkeringat. Dia menarik Ren mendekat, membuat Ren sedikit membungkuk karena Takae cukup tinggi. Posisi mereka sangat akrab, seperti sahabat lama—atau lebih.

"Tenang aja, Pak Sekretaris," bisik Takae di telinga Ren, napasnya yang terengah terasa hangat. " Aku kuat kok. Tapi... makasih udah merhatiin aku sedetail itu. Aku jadi makin semangat nih."

Dia melepaskan Ren, menepuk punggungnya cukup keras, lalu berlari kembali ke tengah lapangan. "AYO LATIHAN LAGI! ADA REN YANG NONTON NIH! JANGAN MALU-MALUIN!"

Ren mengusap lehernya yang basah kena keringat Takae. Dia menghela napas panjang.

"Keras kepala," gumamnya. "Sama aja kayak si Ketua."

Ren memutuskan untuk duduk di bangku penonton paling bawah. Dia akan mengawasi latihan ini sampai selesai. Dia harus memastikan Takae tidak melakukan gerakan bodoh yang membahayakan kakinya lagi.

Dia tidak sadar, bahwa dari jendela lantai dua gedung seberang—jendela ruang OSIS—ada sepasang mata yang menatap tajam ke arah GOR.

Di ruang OSIS, Marika berdiri mematung di samping jendela. Tirai sedikit tersibak oleh tangannya.

Dari posisinya, dia bisa melihat ke dalam GOR lewat pintu samping yang terbuka lebar. Jaraknya cukup jauh, tapi penglihatannya cukup tajam untuk mengenali dua sosok itu.

Dia melihat Ren duduk di pinggir lapangan. Tanpa badge. Terlihat santai. Terlihat... nyaman. Jauh lebih nyaman daripada saat duduk di depan tumpukan kertas bersamanya.

Dia melihat Takae berlari ke arah Ren setiap kali istirahat minum. Tertawa lebar. Menepuk bahu Ren. Dan yang paling menyakitkan... momen tadi. Saat Takae merangkul leher Ren dengan santai dan membisikkan sesuatu.

Dada Marika terasa panas. Sesak.

Pikirannya berusaha rasional: Sato-kun sedang menjalankan misi. Dia harus akrab. Itu wajar.

Tapi hatinya berteriak: Itu tidak wajar! Itu terlalu dekat! Kenapa dia tertawa selebar itu?! Kenapa dia tidak pernah sesantai itu denganku?!

"Ketua?"

Suara Sugawara membuyarkan lamunannya. Marika tersentak, langsung menutup tirai jendela dengan kasar. SREEK!

"Apa?" tanya Marika, suaranya sedikit bergetar menahan emosi.

Sugawara mundur selangkah, kaget melihat wajah ketuanya yang seram. "La-Laporan dari Klub Fotografi sudah masuk. Mau diperiksa sekarang?"

Marika berjalan kembali ke mejanya. Langkah kakinya menghentak lantai dengan keras.

"Taruh di meja," perintahnya dingin. "Dan Sugawara-kun."

"Ya, Ketua?"

"Catat dalam agenda," kata Marika sambil duduk, mengambil pulpen merahnya. "Mulai besok, jam istirahat siang Sekretaris Sato wajib dihabiskan di ruang OSIS untuk... pelatihan administrasi lanjutan. Tidak ada izin keluar."

Sugawara mengerjap. "Tapi... bukannya kerjanya sudah bagus kemarin?"

Marika menatap Sugawara dengan tatapan tajam. Pulpen merah di tangannya ditekan kuat ke kertas.

"Selalu ada yang bisa diperbaiki," desis Marika. "Dan saya rasa... fokusnya mulai terganggu karena terlalu banyak main di luar."

Sugawara menelan ludah. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia tahu satu hal: Jangan pernah membuat Ketua marah.

"Si-Siap, Ketua! Akan saya sampaikan!"

Marika kembali menatap kertas di depannya. Tapi matanya tidak membaca tulisan. Pikirannya masih tertinggal di GOR.

Awas kamu, Sato Renjiro, batinnya geram. Berani-beraninya kamu terlihat bahagia tanpa lencanaku.

Sore harinya, saat Ren kembali ke ruang OSIS untuk mengambil tas, dia langsung disambut oleh hawa dingin yang menusuk, padahal AC sudah dimatikan.

Marika tidak menatapnya saat dia masuk.

"Lapor, Ketua. Misi selesai," kata Ren ceria, sambil mengeluarkan badge dari sakunya dan memasangnya kembali di lengan. "Kondisi lapangan basket..."

"Saya tidak butuh laporan lisan," potong Marika tajam, matanya tetap terpaku pada laptop. "Kirim lewat email. Tulis yang rapi. Jangan ada salah ketik satu huruf pun."

Ren melongo. "Hah? Laporan pengamatan doang harus seformal itu?"

"Dan ini," Marika menunjuk tumpukan kertas baru di meja Ren yang tingginya dua kali lipat dari biasanya. "Arsip tahun lalu berantakan. Rapikan berdasarkan abjad nama ketua klub. Selesai hari ini."

"Tapi ini udah jam 5!" protes Ren. "Ini butuh waktu tiga jam, Ketua!"

Marika akhirnya mendongak. Tatapannya dingin, tapi ada api cemburu yang berkobar di matanya.

"Kenapa? Keberatan?" tanyanya sinis. "Atau kamu lebih suka menghabiskan waktu di GOR? Mungkin kamu lebih suka dirangkul oleh kapten basket daripada kerja di sini?"

Ren terdiam. Gawat, batinnya. Dia liat.

"Itu... itu cuma..." Ren berusaha mencari alasan, tapi tatapan Marika membuatnya kicep.

"Kerjakan. Atau status keanggotaanmu saya cabut," ancam Marika pelan.

"A-Aku kerjain sekarang," kata Ren cepat, langsung duduk di kursinya dan menyambar kertas pertama.

Ren bekerja dalam diam, sesekali melirik Marika yang terlihat sangat kesal.

Dia meraba saku celananya, tempat MP3 player-nya berada.

Marika dewasa, batin Ren putus asa. Istrimu yang muda lagi cemburu berat. Tolong kasih tutorial cara menghadapi ini nanti malam!

Dan di seberang meja, Marika muda mengetik dengan marah, sambil dalam hati mengutuk semua cewek berambut pendek yang seenaknya menyentuh "aset" OSIS-nya.

1
Celeste Banegas
Bikin nagih bacanya 😍
Starling04
Gemes banget sama karakternya, ketawa-ketiwi sendiri.
Murniyati Mommy
Asyik banget bacanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!