Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 34.
Daniel tak pernah setengah langkah. Ia mendekat lagi, sampai jarak mereka hanya menyisakan napas malam yang dingin. Mata Raisa bergetar, lututnya hampir tak kuat menahan. Suaranya kecil, hampir tenggelam oleh desir angin taman.
“Aku… bukan untukmu, Daniel. Semua yang dekat denganku akan hancur, aku benar-benar membawa sial.” Ia menatap tanah, suaranya pecah. “Orang tuaku mati, Rio mati. Daniel... kau pun hampir mati karena aku. Bagaimana aku bisa menahanmu terus bertahan di sampingku?”
Daniel menarik napas dalam, lalu menahan tangan Raisa dengan lembut. Bukan merangkul, hanya menahan agar wanita itu tidak pergi.
“Kau tidak membawa sial ke dalam hidupku, Raisa,” jawabnya pelan namun tegas. "Aku yang telah memilih menanggungnya bersamamu. Kalau kau ingin pergi... biarkan aku ikut. Kalau kau ingin berperang, biarkan aku berdiri di depanmu melindungimu.”
Raisa menutup mata, terisak sejenak. Ada rasa lega yang menyelinap di antara kecemasan, karena Daniel menjawab dengan pilihan.
“Aku takut membuatmu hancur,” bisiknya. “Aku tidak mau lagi ada yang terluka karena aku.”
Daniel menekan semuanya jadi satu suara yang nyaris seperti doa. “Kalau aku harus hancur, aku mau hancur karenamu... tapi aku tak akan pernah membiarkan kau sendirian. Kita hadapi ini bersama, bukan karena aku tak tahu risikonya... tapi karena aku telah memilihmu.”
Di bawah lampu taman yang remang, wajah Raisa berubah. Dari tegang ke rapuh, lalu ke sebuah keteguhan baru yang tak sepenuhnya tulus tapi nyata.
Ia mengangkat tangannya yang gemetar, menutup wajahnya sebentar lalu menatap Daniel perlahan. “Meski aku menerima ini… aku takkan mudah percaya pada apapun. Aku juga takkan mudah menyerah pada dendamku.“
Daniel mengangguk. “Aku tau, dan aku tak akan memaksamu melepaskan dendammu.”
Tapi aku tetap akan berusaha, melepaskan dendam itu dari hatimu... Raisa.
Raisa menghela napas, lalu tanpa peringatan ia membenamkan wajahnya ke dada Daniel. Itu bukan sebuah kelemahan, melainkan penyerahan singkat.... seorang wanita yang lelah mencari sandaran.
Daniel menurunkan dagunya di atas kepala Raisa, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi pelindung wanita itu meski nyawa taruhannya.
Mereka berdiri seperti itu untuk beberapa saat, dua jiwa rapuh yang saling menahan.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti abad, Daniel menunduk dan berbisik sangat dekat ke telinga Raisa. “Mulai sekarang, aku akan menunggu kata ‘ya’ darimu. Bukan dengan paksaan, tapi dengan kerelaan mu. Malam ini kau aman, mulai saat ini... kau hanya perlu bertidak dan aku akan selalu berada di dekatmu."
Raisa mengangkat kepala, mata basahnya. Ada sesuatu yang hampir seperti senyum di bibirnya, namun sangat samar. “Jangan berharap banyak, aku tak mudah dimenangkan.”
“Bagus... karena aku tak mau ‘menang’ dengan cara yang mudah.” Suara Daniel lembut, lalu ia mencium kening Raisa. Sekali, begitu singkat namun penuh penghormatan.
Di saat itu, telepon Daniel bergetar di saku. Ia memandang layar dan itu adalah panggilan masuk dari Rendra. Ia menjauh dari Raisa sebentar dan bicara lalu menutupnya.
Pandangannya kembali ke arah Raisa, ia melangkah kembali mendekat.
“Kata Tuan, kita harus kembali ke dalam. Tapi ingat seluruh kata-kataku padamu, Raisa. Kau tidak sendirian lagi. Aku akan tetap ada, bahkan saat kau mencoba mengusirku.”
Raisa menatap Daniel, mata yang masih basah itu kini lebih jernih. “Aku tidak tahu apa aku bisa percaya sepenuhnya, Daniel. Tapi… untuk malam ini, aku lega kau ada di sini.”
Daniel mengangguk sekali, tidak memaksa. “Itu cukup, ayo masuk."
Lantas keduanya membalikkan badan, berjalan menuju ballroom. Raisa berada di belakang Daniel, ia menatap punggung pria itu yang tegap. Untuk pertama kali setelah sekian lama, hatinya tak sepenuhnya dikuasai rasa takut. Ada sedikit ruang bagi ketenangan, meski kecil dan rapuh.
Di dalam, Axel menunggu dengan wajah masam.
Sementara di sudut ruangan, Brian mengangkat gelasnya dan berbisik pada Rendra. “Kau lihat? Hanya dengan satu langkah, dia berhasil membuat Raisa bergantung padanya lagi.”
Rendra menatap lurus, ekspresinya datar. “Pertanyaannya, bukan apakah Raisa akan bergantung pada Daniel. Tapi… apakah Daniel bisa menahan dirinya untuk tidak menghancurkan semuanya dengan emosinya sendiri.”
Brian tersenyum samar. “Kita lihat saja, ini sangat menarik.”
Lampu ballroom terus berkilau. Malam itu tidak berakhir dengan kemenangan siapa pun, hanya langkah awal pada permainan yang lebih rumit.
Malam itu setelah pesta usai, Raisa buru-buru meninggalkan gedung. Gaun malamnya tersapu angin, langkahnya tergesa meski hak tinggi membuatnya sedikit goyah.
Yang tak ia tahu, dari kejauhan Daniel mengikuti. Bukan dengan cara mencurigakan, melainkan sekadar menjaga jarak. Tatapannya terus mengawasi setiap gerakan Raisa, memastikan wanita itu masuk ke mobil dengan selamat.
Saat mobilnya berhenti di tempat tinggalnya, Raisa menoleh cepat ke kanan. Matanya bertemu sekilas dengan mata Daniel yang berada di dalam mobilnya sendiri . Hanya sebentar, tapi cukup membuat jantungnya berdetak keras.
“Daniel… apa kau benar-benar mencintaiku?” gumamnya pelan.
Daniel tidak turun dari mobilnya, ia hanya mengangkat sedikit tangannya seolah berkata 'Masuklah... aku di sini, tapi aku tidak akan melewati batas.'
Raisa akhirnya membawa mobilnya masuk garasi, ia melangkah ke dalam rumah. Dan malam itu, untuk pertama kalinya ia tidur dengan pikiran bahwa ada seseorang yang berjaga di luar lingkar dunia kecil yang ia rangkai.