“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Jumat siang yang terik, langit di atas ibu kota tampak cerah tanpa awan.
Audra muncul tiba-tiba di depan meja kerja Ara, lengkap dengan kacamata hitam dan aura santai khasnya. Dengan senyum yang manja, ia langsung menggandeng lengan Ara.
“Ayo temenin aku ke mall, Mbak. Mau beliin kado buat pacarku,” ujarnya ceria.
Semenjak kejadian di lift, keduanya kini semakin akrab. Bahkan setelah pulang liburan dari Paris, Audra membawakan banyak souvenir untuk Ara.
“Sekarang?” tanya Ara. “Duh, gimana ya, kerjaan aku lagi numpuk banget, Dra. Dan ... aku juga harus minta izin ke Pak Elan dulu—”
“Sudah,” sela Audra cepat, sambil berkedip nakal. “Aku udah bilang ke Elan. Dan dia nyuruh kamu ikut.”
Mau tak mau, Ara menuruti. Mereka lekas turun ke lobby, dan saat pintu putar kaca terbuka, sebuah mobil mewah warna hitam mengkilat sudah menunggu. Sedan berkelas itu tampak mencolok, dengan velg chrome mengkilap dan emblem merek Jerman yang membuat siapa pun menoleh dua kali. Saat pintu belakang dibuka oleh sopir pribadi, Audra menyenggol Ara agar masuk terlebih dulu.
Begitu Ara duduk, ia langsung terhenyak—matanya tak berkedip melihat Elan sudah standby di belakang kemudi.
Pria itu mengenakan kemeja putih bersih yang digulung hingga siku, jam tangan mahal membalut pergelangan kirinya. Rahangnya tegas, tatapannya seperti biasa—dingin tapi menawan, sangat mematikan.
Ara meneguk ludah, suara lirihnya nyaris tak terdengar. “Pak … Bapak ikut juga?”
“Kalau enggak ikut, siapa yang nyetir?” jawab Elan ringan tanpa menoleh.
“Itu ada sopir, Pak.” Ara menunjuk pria paruh baya yang tadi membukakan mobil untuknya.
“Oh, itu.” Elan terdiam sejenak, tampak memikirkan jawaban yang masuk akal. “Si Bapak lagi vertigo. Jadi biar saya aja yang nyetir.”
Audra tertawa di kursi belakang, “Bisa ae si kadal!”
Gadis cantik itu merogoh ponsel di dalam tas dan mengirim pesan pada Rico, pacarnya.
“Sayang, kamu lagi di mana?”
Tak lama, setelah pesan itu terkirim—ponsel Audra pun berdenting. Balasan pesan masuk.
“Lagi bantu Ayah di bengkel, Sayang. Kenapa? Kayaknya aku rada susah ini main hp.”
Audra tersenyum kecil, lalu meletakkan ponselnya di pangkuan. Ia tak lagi membalas, sengaja memberi ruang untuk kekasihnya membantu sang ayah.
Selama perjalanan, hanya suara musik dari speaker mobil yang terdengar. Ara memilih diam, memperhatikan suasana luar. Sementara di kursi pengemudi dan belakang, dua saudara itu mulai saling serang dengan kata-kata.
“Elan, kamu tuh terlalu mikirin yang enggak-enggak. Rico tuh baik banget, ngerti gak sih? Gak semua cowok itu kayak yang dipikiran mu itu lhooo!”
Elan mendengus. “Baik? Dra, udah berapa banyak uang yang kamu gelontorkan untuk pacarmu itu? Kamu ngasih dia jam tangan limited, sneakers branded, baju-baju mahal, bahkan bayarin cicilan motornya. Dia itu cowok lho, harusnya dia yang berusaha untuk kamu. Ini kok malah sebaliknya.”
“Ya, mumpung aku nya ada. Kalau dia ada—pasti dia juga beliin ini itu buat aku, El. Pasti ada effort nya lah.”
“Yakin kamu? Aku sih nggak yakin. Dia pasti cuma manfaatin sifat kamu yang royal itu.”
“Yakin dong, Rico itu baik. Nggak pernah macem-macem—nggak mungkin dia manfaatin aku. Lagian, manfaatin apaan sih? Dia bahkan dari dulu nggak tau aku siapa, latarbelakang aku gimana,” potong Audra tajam.
“Mustahil dia nggak tau, wajah kamu bahkan pernah masuk koran, Dra.”
“Ah, udah ah! Stop bahas itu.”
Elan menghela napas panjang, menggeleng pelan. ‘Manusia yang paling susah dinasehati ya cuma manusia yang lagi bucin!’ batinnya kesal.
...****************...
Sesampainya di mall, mereka berjalan keliling. Ara hanya mengikuti di belakang, sesekali dimintai pendapat oleh Audra saat memilih kado. Namun saat mereka mampir ke toko jam, Elan memanggil Ara.
“Ar, tolong pilihkan jam yang cocok buat saya.” Ucap Elan sambil menunjuk etalase kaca.
Ara mengangguk—menatap sejenak, lalu menunjuk jam kulit berwarna gelap dengan desain sederhana namun elegan. “Yang ini … cocok sama gaya Bapak.”
Elan mencoba jam itu, lalu menoleh ke pelayan. “Yang ini ada versi wanita?”
“Versi couple maksud Bapak?” tanya pelayan.
Elan hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Tanpa sepengetahuan Ara, ia meminta dua kotak disiapkan—untuk pria dan wanita.
Mereka keluar dari toko dengan dua kantong belanja. Dan saat langkah mereka melewati area food court, Audra tiba-tiba berhenti.
Langkahnya membeku. Matanya menatap lurus pada dua wajah yang sangat dikenalnya. Rico, kekasihnya, duduk bermesraan dengan seorang gadis seusianya.
Gadis dengan rambut di kuncir rapi, tertawa sambil menyuapi pria itu sepotong daging dari piringnya. Mereka tampak terlalu akrab. Terlalu mesra.
Audra mengepalkan tangan. “Brengsek, itu kan … Dwi.”
Ara menoleh cepat. “Dwi?” dirinya pun mendadak tegang kala melihat sosok yang merupakan mantan adik iparnya dulu. “Astaga, Dwi ....”
Audra melirik cepat. “Mbak kenal?”
Ara menoleh perlahan ke arah Audra. “Kamu juga kenal?”
“Sangat kenal, dia cewek yang beberapa bulan ini selalu godain Rico!” Suara Audra menggeram.
Ara memalingkan wajahnya kembali ke meja itu. Jantungnya berdetak tak karuan. “Dia … dia mantan adik iparku.”
Audra tampak makin syok. “Seriusan? Yang sering ngata-ngatain Mbak?”
Ara mengangguk perlahan.
Makin mendidih lah darah Audra, ia menggulung lengan bajunya—melangkah cepat ke arah Rico dan Dwi yang sedang bermesraan.
Dengan satu jambakan, Dwi menjerit. “Awwwwh! Adudududuh!”
*
*
*
Dengan menjadi istri sholehah, itu udah termasuk sempurna
Wah dari judul dan cover nya kelihatan wah banget Kak, gak sabar nunggu launching nya🥳
Bisa jadi belum dikabulkan, biar kamu bisa lebih mengenal sosok suamimu, menghabiskan waktu berdua sebelum punya bayi.
makasih untuk cerita yang apik ini kk😘😘😘