NovelToon NovelToon
Kitab Dewa Naga

Kitab Dewa Naga

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Romansa Fantasi / Ruang Bawah Tanah dan Naga / Akademi Sihir / Ahli Bela Diri Kuno / Ilmu Kanuragan
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Mazhivers

Raka secara tak sengaja menemukan pecahan kitab dewa naga,menjadi bisikan yang hanya dipercaya oleh segelintir orang,konon kitab itu menyimpan kekuatan naga agung yang pernah menguasai langit dan bumi...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mazhivers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 33

Raka dengan cepat menghunus Pedang Sinar Naga, cahayanya yang terang memecah kegelapan malam. Maya dan Sinta bersiaga di sampingnya, sementara Kakek Badra berdiri di belakang mereka dengan tongkat kayunya terangkat.

"Sudah kuduga kalian akan mencoba melarikan diri melalui sungai," kata Zyra dengan seringai dingin.

"Sayang sekali, pelarian kalian berakhir di sini."

Ia mengangkat tangannya, dan beberapa sosok berjubah hitam lainnya muncul dari balik pepohonan, mengepung mereka dari berbagai arah. Jumlah mereka kali ini lebih dari sepuluh orang.

"Apa maumu, Zyra?" tanya Raka dengan nada tegas, meskipun ia merasakan gentar melihat jumlah musuh yang begitu banyak.

"Maumu? Tentu saja, kitab itu dan semua artefak suci yang telah kalian kumpulkan," jawab Zyra dengan tawa mengejek.

"Tuanku Kaldor sudah tidak sabar untuk mendapatkan kekuatan penuh dari para Dewa Naga. Dan kalian, para pengganggu kecil ini, akan membayar mahal karena telah menghalangi jalannya." Ia memberi isyarat kepada para pengikutnya. "Serang!"

Pertempuran sengit pun pecah di tepi sungai yang sunyi itu. Para pengikut Kaldor menyerbu mereka dengan pedang dan tongkat sihir. Raka dengan Pedang Sinar Naganya bergerak lincah, menebaskan pedangnya ke arah musuh. Setiap tebasan pedangnya memancarkan energi biru yang kuat, membuat para pengikut Kaldor terlempar mundur dengan luka bakar.

"Maya, Sinta, lindungi Kakek!" seru Raka sambil terus bertarung.

Maya dan Sinta bergerak cepat, menggunakan kelincahan mereka untuk menghindari serangan para musuh dan sesekali menyerang balik dengan senjata seadanya. Kakek Badra, meskipun sudah tua, bergerak dengan gesit dan menggunakan tongkat kayunya untuk melumpuhkan para penyerang yang mendekat.

Zyra sendiri berdiri di belakang para pengikutnya, mengawasi jalannya pertarungan dengan senyum sinis. Ia mengangkat kedua tangannya dan mulai mengucapkan mantra-mantra sihir yang kuat. Bola-bola api ungu melesat ke arah mereka, memaksa Raka dan teman-temannya untuk terus bergerak dan menghindar.

"Raka, hati-hati!" teriak Maya saat sebuah bola api ungu melesat tepat di samping kepalanya.

Raka berhasil menghindar, tetapi ia menyadari bahwa mereka kalah jumlah dan kekuatan sihir Zyra sangat berbahaya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia teringat pada Perisai Naga Perkasa yang ia bawa.

Dengan cepat, ia meraih perisai itu dan mengangkatnya di hadapannya. Perisai itu memancarkan cahaya keemasan yang kuat, menahan bola-bola api ungu yang dilancarkan Zyra.

"Perisai itu kuat!" seru Sinta kagum.

"Tapi kita tidak bisa hanya bertahan!" jawab Raka. Ia melihat kesempatan saat Zyra sedang fokus melancarkan serangan sihir.

"Kakek, Maya, Sinta, ikuti aku!" teriaknya sambil berlari menuju perahu yang masih tertambat di tepi sungai.

Mereka bertiga segera mengikuti Raka, berusaha menerobos kepungan para pengikut Kaldor.

Raka dengan Pedang Sinar Naganya membuka jalan, menebaskan pedangnya ke kiri dan kanan, memaksa para musuh untuk mundur.

Mereka berhasil mencapai perahu dan segera melompat masuk. Raka dengan cepat melepaskan tali yang mengikat perahu, dan mereka mulai mendayung menjauhi tepi sungai.

"Kalian pikir bisa lolos begitu saja?" teriak Zyra marah. Ia mengangkat tangannya lebih tinggi, dan tiba-tiba air sungai di sekitar perahu mereka mulai bergolak hebat. Beberapa sosok berjubah hitam lainnya yang ternyata bersembunyi di dalam air muncul dan mencoba meraih perahu mereka.

"Kita harus cepat!" seru Maya panik, mendayung sekuat tenaga.

Raka dengan Pedang Sinar Naganya menebas tangan-tangan yang berusaha meraih perahu mereka, membuat para musuh itu menjerit kesakitan dan menarik diri kembali ke dalam air. Kakek Badra membantu mendayung, sementara Sinta bersiap dengan pedang kecilnya jika ada musuh yang berhasil naik ke perahu.

Zyra berdiri di tepi sungai, matanya menyala penuh amarah melihat mereka berhasil melarikan diri. "Kalian akan membayar mahal untuk ini!" teriaknya sebelum menghilang di balik pepohonan bersama para pengikutnya yang tersisa.

Raka dan teman-temannya terus mendayung secepat mungkin menyusuri sungai, menjauhi tempat berbahaya itu. Mereka berhasil lolos dari serangan Zyra.

Perahu mereka meluncur dengan lancar di atas permukaan air yang tenang, didorong oleh dayungan Maya, Sinta, dan Kakek Badra. Raka duduk di tengah perahu, memangku kedua Kitab Dewa Naga dan Pedang Sinar Naga di sampingnya. Ia sesekali melihat peta yang terbayang di benaknya, memastikan mereka berada di jalur yang benar menuju utara.

"Sungai ini terasa lebih tenang setelah kita menjauhi tempat tadi," kata Maya, menyeka keringat di dahinya.

"Ya, semoga Zyra dan pengikutnya tidak bisa menemukan kita lagi dengan mudah," timpal Sinta, matanya melihat ke arah hutan lebat di tepi sungai.

Kakek Badra mengangguk setuju. "Kita harus memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat dan memulihkan tenaga. Perjalanan ke pegunungan es akan jauh lebih berat."

"Apa Kakek tahu sesuatu tentang permata yang kita cari di sana?" tanya Raka, menatap pria tua itu dengan penuh harap.

Kakek Badra menghela napas pelan. "Permata itu dikenal sebagai Jantung Es Naga. Konon, permata itu menyimpan kekuatan es dan salju yang tak terhingga, serta kebijaksanaan para naga es purba. Hanya mereka yang memiliki ketahanan fisik dan mental yang luar biasa yang mampu meraihnya."

"Kedengarannya sangat menantang," gumam Maya.

"Memang," sahut Kakek Badra. "Pegunungan es adalah tempat yang keras dan mematikan. Kita harus sangat berhati-hati dan mempersiapkan diri dengan baik sebelum kita tiba di sana."

Saat hari semakin siang, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak di tepi sungai untuk makan siang. Mereka menyalakan api unggun kecil dan memanggang beberapa ikan yang berhasil mereka tangkap di sungai. Sambil makan, mereka terus berdiskusi tentang rencana mereka untuk menghadapi pegunungan es.

"Mungkin kita bisa mencari pakaian hangat dan perlengkapan mendaki di desa-desa yang kita lewati nanti," usul Sinta.

Raka mengangguk. "Itu ide bagus. Kita juga mungkin bisa mendapatkan informasi lebih lanjut tentang pegunungan es dari penduduk setempat."

Setelah selesai makan, mereka kembali melanjutkan perjalanan menyusuri sungai. Pemandangan di sekitar mereka perlahan mulai berubah. Hutan lebat di tepi sungai mulai digantikan oleh pepohonan yang lebih jarang dan bebatuan yang terjal. Udara pun terasa sedikit lebih dingin, pertanda bahwa mereka semakin dekat dengan utara.

Saat matahari mulai terbenam, mereka melihat sebuah desa kecil di tepi sungai. Beberapa perahu nelayan tertambat di dekatnya, dan tampak beberapa orang sedang beraktivitas di darat. Mereka memutuskan untuk berhenti di desa itu untuk beristirahat dan mencari perbekalan.

Mereka disambut dengan ramah oleh penduduk desa yang tampak sederhana namun baik hati. Setelah menceritakan sedikit tentang perjalanan mereka, penduduk desa menawarkan mereka tempat untuk bermalam dan makanan hangat. Raka dan teman-temannya sangat berterima kasih atas keramahan mereka.

Malam itu, di rumah kepala desa, Raka bertanya tentang pegunungan es yang mereka tuju. Kepala desa, seorang pria tua dengan wajah yang bijaksana, menghela napas.

"Pegunungan es adalah tempat yang berbahaya, anak muda," katanya.

"Banyak pendaki yang tersesat dan tidak pernah kembali. Tapi konon, di jantung pegunungan itu memang tersimpan sebuah permata yang sangat berharga, dijaga oleh makhluk-makhluk es yang sangat kuat."

Kepala desa juga memberi mereka beberapa potong pakaian hangat dan informasi tentang jalur pendakian yang mungkin bisa mereka gunakan untuk mencapai puncak pegunungan es.

Raka dan teman-temannya sangat berterima kasih atas bantuan dan informasi yang mereka dapatkan. Mereka merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi tantangan yang menanti mereka di utara.

Keesokan paginya, setelah berpamitan dengan penduduk desa, mereka kembali melanjutkan perjalanan menyusuri sungai, dengan pegunungan es yang tampak semakin jelas di kejauhan sebagai tujuan akhir mereka.

1
anggita
like👍iklan👆. terus berkarya tulis. moga novelnya lancar.
anggita
saran sja Thor🙏, kalau tulisan dalam satu paragraf/ alinea jangan terlalu banyak, nanti kesannya numpuk/penuh. sebaiknya jdikan dua saja.
إندر فرتما
moga bagus ini alur cerita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!