Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Pemberi Harapan Palsu
Dika mengelap keringat dari keningnya setelah selesai membersihkan taman belakang. Saat hendak kembali ke gudang peralatan, langkahnya terhenti. Matanya tanpa sengaja menangkap sosok Nayla dan Tuan Leon yang sedang duduk di balkon lantai atas.
Dari sudut itu, Dika bisa melihat jelas interaksi mereka. Tatapan Nayla yang lembut, suara lirihnya yang terdengar meski samar, serta senyum kecil Tuan Leon yang muncul meski sekilas.
Hati Dika terasa perih.
Sejak awal, dia sudah menaruh hati pada Nayla. Gadis itu berbeda dari wanita lain yang pernah Dika kenal. Sopan, sederhana, dan berhati tulus. Di tambah lagi sejak Nayla mengenakan pakaian mahal pemberian Tuan Leon, ada yang berubah. Gadis itu terlihat semakin cantik…
Dika menggenggam erat sapu di tangannya. Dulu dia mengira Tuan Leon hanya menganggap Nayla sebagai perawat biasa. Tapi kini, perhatian Tuan Leon pada Nayla sudah terlalu istimewa, bukan lagi seperti perawat dan majikan.
"Dia juga menyukainya..." batin Dika pahit. "Dan sainganku bukan orang biasa. Aku hanya tukang kebun, dia seorang majikan. Kaya, tampan, punya segalanya, meski dalam keadaan lumpuh."
Dika menunduk. Apa Nayla akan memilih pria biasa sepertinya?
Tapi kemudian, tekad itu muncul dalam hatinya. Jika cara biasa tak bisa membuat Nayla menjadi miliknya, maka dia akan mencari jalan lain. Jalan yang luar biasa…
“Dika!” terdengar suara wanita memanggil dari arah belakang.
Dika menoleh. Lisa, salah satu ART di rumah itu, sedang berjalan menghampirinya.
“Ada apa?” tanya Dika, suaranya terdengar dingin.
Lisa memiringkan kepala, penasaran. “Wajahmu kok masam begitu? Ada yang bikin kesal, ya?”
Dika mendengus pelan. “Barusan aku lihat Tuan Leon dan Nayla di balkon. Mereka… terlalu dekat. Sepertinya lebih dari sekadar majikan dan perawat.”
Lisa mengangkat alis. “Memangnya kenapa? Kamu naksir Nayla ya? Aku udah lama curiga kamu suka curi-curi pandang ke dia.” ucap Lisa, pura-pura santai. Padahal hatinya ikut panas mendengar kedekatan Nayla dan majikannya.
Sudah lama Lisa menaruh hati pada Tuan Leon. Tapi berbulan-bulan bekerja di rumah itu, tak pernah sekalipun ia mendapat perhatian lebih. Sementara Nayla, perawat baru itu, belum lama bekerja sudah membuat Tuan Leon luluh.
“Aku memang menyukai Nayla. Nggak salah kan? Tapi masalahnya, bisa nggak aku bersaing dengan majikanku sendiri?” Dika tertunduk, kecewa. “Dia punya segalanya. Aku cuma tukang kebun.”
Lisa menatap Dika lama. Ada kesempatan besar di depan matanya." Ini adalah waktu yang tepat untuk menyingkirkan gadis itu." Batin lisa
“Jadi kamu mau nyerah begitu aja?” tanya Lisa, mencoba memancing.
Dika menggeleng, tegas. “Tentu tidak. Aku akan cari cara agar bisa mendapatkan Nayla. Aku nggak pernah ngerasa sebegini cinta sama seseorang. Jadi akan aku pasti kan, aku harus mendapatkannya.Tapi aku belum punya rencana…”
Lisa tersenyum kecil.
“Aku punya ide. Tapi pelan-pelan. Jangan sampai ada yang dengar.”
Dika menatap Lisa dengan tatapan penuh harap. “Apa itu?”
Lisa mendekat, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Dika. Sesekali matanya melirik kanan kiri, memastikan tak ada orang yang mendengar.
Begitu bisikan Lisa selesai, mata Dika membesar.
“Itu… rencana yang bagus!” gumamnya penuh semangat.
Lisa menahan tawa. Dalam hati ia berkata, “Bersiaplah, Nayla. Setelah ini, kau bukan siapa-siapa lagi. Dan aku... aku akan menggantikan posisimu.”
Senyum licik pun merekah di wajah Lisa dan Dika. Keduanya bersiap menjalankan rencana yang telah mereka sepakati.
---
Pagi yang cerah, udara terasa lebih segar dari biasanya. Baik Leon maupun Nayla bangun dengan wajah berbinar. Wajah mereka masih menyimpan sisa-sisa kebahagiaan dari kejadian semalam. Keduanya terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta... meskipun hanya saling diam.
Wajar jika Nayla tampak berbunga-bunga. Usianya baru dua puluh tahun, belum pernah merasakan manisnya cinta, apalagi pacaran.
Tapi yang sedikit aneh justru Leon. Di usia 29 tahun dan sudah kenyang pengalaman asmara, pria itu kini senyum-senyum sendiri seperti remaja baru puber. Bahkan saat menatap langit-langit kamarnya, senyum itu masih mengembang.
“Gadis lugu itu... sungguh membingungkan,” gumam Leon, mengusap wajahnya.
Saat sarapan pun, keduanya lebih banyak diam. Bukan karena ada masalah, tapi karena canggung. Sesekali tatapan mereka saling bertemu, lalu buru-buru dialihkan. Hening yang aneh, tapi manis.
Di perjalanan menuju kantor pun, suasana tetap sama. Sunyi. Yang terdengar hanya suara mesin mobil dan detak jantung yang entah kenapa rasanya jadi lebih cepat dari biasanya.
Setibanya di ruang kerja, Leon yang sudah tak tahan membuka suara duluan.
“Kenapa dari tadi kau diam saja? Jangan-jangan kau sedang sariawan?” tanya Leon dengan nada sebal, walau ada nada usil di sana.
Nayla yang sedang berdiri dibelakang Leon segera menjawab. “Hah? Tidak, Tuan. Saya tidak sariawan kok.”
“Lalu kenapa diam terus? Apa kau marah padaku? Harusnya aku yang marah,” ucap Leon sambil memutar kursi rodanya menghadap Nayla.
Nayla mengerutkan kening. “Tuan marah pada saya? Memangnya saya salah apa?” tanyanya polos sambil memiringkan kepala.
Leon memijit pelipisnya, antara gemas dan ingin tertawa. Kenapa gadis ini bisa secantik dan sepolos ini dalam waktu bersamaan?
“Kau masih tanya salahmu apa? Tidak ingat apa yang kau lakukan semalam?” Leon menatap Nayla tajam. “Kau itu... PHP.”
“PHP?” Nayla mengulang, matanya membesar. “Maksudnya... saya bohongin Tuan? Maaf, saya nggak ngerti.”
Leon mendengus. “Kau lupa kejadian semalam? Kau mendekat... lalu cuma menempelkan dua jarimu ke bibirku. Itu tidak sesuai kesepakatan,” keluhnya.
Pipi Nayla langsung merona. Ia langsung teringat,dan rasanya ingin bersembunyi di bawah meja."kenapa sih tuan Leon harus mengungkit hal itu lagi."batin Nayla
“Soal itu... anu... saya malu, Tuan,” ucapnya dengan suara lirih, nyaris tak terdengar.
Leon tersenyum kecil melihat ekspresi Nayla. “Sudahlah, tak usah dibahas lagi. Kau memang tidak bisa dipercaya,” ujarnya sok kesal, lalu memutar kursi rodanya menuju meja kerja.
Namun sebelum benar-benar menjauh, Nayla buru-buru menahan. “Maaf, Tuan. Saya... saya janji tidak akan ulangi kesalahan itu lagi. Bisakah suruh saya melakukan hal lain saja, jangan yang itu lagi.”
Leon menoleh dengan alis terangkat. “Hal lain? Baiklah, bantu aku menyusun berkas ini.”
“Baik, Tuan. Itu lebih baik,” jawab Nayla.
Leon langsung berbalik. “Lebih baik?” tatapannya menyipit. “Maksudmu menciumku itu buruk?”
Nayla panik. “Eh, bukan begitu, Tuan. Maksud saya bukan seperti itu...” gadis itu langsung gugup membela diri.
Leon menatap tajam. “Apa kau tidak tahu, di luar sana banyak wanita yang rela antri hanya untuk bisa berada di dekatku. Bahkan menciumku!” katanya dengan nada menggoda. “Atau jangan-jangan... kau tidak normal?”
Nayla semakin bingung. “Tentu saya normal, Tuan. Sangat normal.”
Leon menyandarkan tubuhnya dengan angkuh. “Lalu... di matamu, apakah aku tidak tampan?”
“Tampan, Tuan,” jawab Nayla cepat.
“Tidak gagah?”
“Gagah juga, Tuan.”
Leon menyeringai. “Kalau begitu... apa kau mau menciumku?”
“Mau, Tu—” Nayla langsung menutup mulutnya. Ya ampun, kenapa mulut ini selalu lebih cepat dari otak? pikirnya panik.
Leon tertawa pelan. “Baiklah, karena kau mau... aku beri kesempatan. Sini, cium pipiku,” ujarnya sambil menunjuk pipinya sendiri.
Idih, kenapa jadi begini sih! batin Nayla makin kacau.
“Kenapa diam? Kau tidak mau? Lakukan dengan benar. Kalau tidak, kali ini aku benar-benar akan marah,” Leon mengancam manja.
Dengan pasrah, Nayla akhirnya menunduk pelan dan mulai mendekat. Jantungnya berdebar tidak karuan. Wajah Leon hanya berjarak sedikit dari bibirnya...
Tapi tiba-tiba Cekrekkk ,,,,Pintu ruangan terbuka.
“Selamat pagi, Tu,,,” suara Rafa tertahan di tenggorokan saat matanya melihat pemandangan yang sangat mengejutkan, Nayla dan Leon dalam posisi super dekat. Seolah mereka akan berciuman.
Nayla langsung berdiri tegak, menunduk dengan wajah merah padam.
Leon memejamkan mata, rahangnya mengeras.
“Rafa...” Leon berkata pelan tapi penuh tekanan. “Sekali lagi kau masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu , habislah kau.”
Rafa masih terpaku di tempat, tubuhnya membeku. Ya Tuhan... tolong lindungi aku... bisiknya dalam hati.
tak ada gangguan apa pun
dan Segera bisa jln untuk mempelai pria nya
lanjut thor ceritanya
do tunggu up nya
lanjut bacanya
mungkin ini karena masih Leon yg dingin dan nayla polos dan pemalu,
up yg rutin thoor