"Menikahlah segera jika ingin menepis dugaan mama kamu, bang!."perkataan sang ayah memenuhi benak dan pikiran Faras. namun, bagaimana ia bisa menikah jika sampai dengan saat ini ia tidak punya kekasih, lebih tepatnya hingga usianya dua puluh enam tahun Faras sama sekali belum pernah menjalin hubungan asmara dengan wanita manapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggilan sayang.
Sebelum Faras datang menjemputnya, Inara memilih pamit kembali ke kamarnya. Apalagi sudah lebih dari setengah jam ia berada di kamar Za, ngobrol ngawur ngidul, ibarat dari Sabang sampai Merauke jalur pembahasan mereka tadi.
Ceklek.
Setibanya di kamar, Inara masih mendapati Faras berkutat di depan layar laptopnya, duduk bersandar pada headboard ranjang. Pandangan Faras sontak beralih ke arah datangnya Inara.
"Maaf....Aku kelamaan ya, mas?." Inara mengulas senyum tipis saat bertanya.
"Kalau lagi ngerumpi pasti lupa sama suami." Faras mematikan laptopnya, meletakkan benda itu ke atas nakas, lalu menepuk sisi tempat tidur yang kosong. "Kemari lah!."
Inara manut, naik ke tempat tidur. Faras merebahkan kepalanya dipangkuan Inara, membenamkan wajahnya ke arah perut Inara, melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Istrinya itu. rutinitas yang sudah menjadi kebiasaan Faras selama mereka menikah jika merasa lelah bekerja.
"Mas capek banget ya?." menyisir rambut suaminya dengan jemari.
"Lumayan." dengan mata terpejam Faras menjawab.
"Aku tidak sabar ingin melihat perut kamu membesar." setelah sesaat terdiam, justru kalimat itu yang terucap dari mulut Faras.
"Kamu serius pengen punya anak sekarang, mas?." Inara mencari kalimat yang paling tepat untuk menanyakan perihal anak kepada suaminya itu. apa kamu serius ingin punya anak dariku, mas? Sebenarnya pertanyaan itu yang ingin dilontarkan Inara, tapi terlalu ekstrim menurutnya.
Merubah posisi, jadi telentang, menatap dalam wajah Inara. Sementara yang ditatap justru mengusap tengkuk karena merinding.
"Kenapa bertanya seperti itu?." aura-aura berbeda terbit di wajah Faras.
"Bukan apa-apa, hanya sekedar tanya saja." mengulas senyum semanis mungkin agar tidak terlihat mencurigakan di mata suaminya.
"Jangan bilang kamu pernah kepikiran untuk melakukan hal yang aneh-aneh." kedua alis tebal Faras nampak menukik tajam.
"Haha...mana mungkin aku berpikir melakukan hal semacam itu, mas." Inara langsung tertawa. menyembunyikan raut terkejut atas tebakan Faras, dibalik tawanya.
Tawa Inara meredup perlahan saat Faras sudah merubah posisinya, mengung-kung tubuhnya dengan bertumpu pada lutut dan kedua lengan berotot miliknya. Hanya tersisa beberapa centi jarak di antara mereka, Inara bahkan dapat mengendus aroma mint yang berasal dari hembusan napas Faras.
Mereka memang sudah sering melakukan hubungan suami-istri, tapi bila di tatap seperti ini juga jantung Inara pasti jadi kurang aman. Perlahan kedua bola mata indah milik Inara terpejam tatkala Faras mulai me-magut bibirnya dengan begitu lembut. Ya, Faras selalu mencum-bui istrinya dengan lembut hingga Inara selalu terbuai dan menik-mati setiap sentuhan suaminya itu.
Untuk kesekian kalinya Faras menyemburkan be-nihnya ke rahim Inara. kini keduanya berbaring dengan berbagi selimut dengan posisi Inara menyandarkan kepalanya pada dada bidang Faras, dan sebaliknya Faras terlihat merengkuh tubuh istrinya seakan tak ingin istrinya itu jauh darinya. Seperti itulah Faras, tipikal pria yang suka mengungkapkan rasa dengan sentuhan, kalau kata anak muda sekarang physical touch.
Diperlakukan demikian serasa dirinya begitu disayangi dan dicintai oleh suaminya. Bolehkah aku berkesimpulan kalau mas Faras juga menyukaiku? Dan tidak akan meninggalkan aku? Inara sibuk dengan lamunannya hingga akhirnya tersadar ketika tangan Faras sudah kembali mengge-rayangi tubuh telanj-angnya.
"Mas...." menengadahkan kepala, melayangkan tatapan protes yang justru terlihat lucu dan menggemaskan di mata Faras. Inara kembali pada posisi semula, tak lupa memperbaiki posisi selimutnya.
"Mas..." kali ini seruan Inara terdengar lebih lembut dari sebelumnya.
"Hem." bergumam sambil memainkan helaian rambut Inara.
"Jika mas benar-benar menginginkan anak dariku, aku tidak mau sampai mas menceraikan aku apapun alasannya! sekalipun mas tidak mencintaiku, aku tidak peduli karena aku tidak mau berpisah dari anakku." kini Inara sudah merubah posisi, duduk seraya menatap serius wajah suaminya.
Kedua alis mata tebal milik Faras kembali menukik dengan sempurna. Memangnya siapa yang ingin menceraikan kamu, begitulah kira-kira arti dari sorot mata dan juga ekspresi Faras saat menatap Inara, kaget. Saking kaget dan tidak menyangka Inara akan berkata seperti itu, Faras pun terdiam untuk waktu yang cukup lama.
"Terserah mas setuju atau tidak, yang jelas aku tidak mau menjadi janda menyedihkan yang dipisahkan dari anaknya." hampir setiap malam ia bercinta dengan Faras apalagi suaminya itu tidak pernah menggunakan pengaman dan ia pun tidak mengkonsumsi pil kontrasepsi dengan begitu kehamilan pasti tidak dapat diindahkan. suatu waktu pasti ia akan hamil juga, bukan. Maka sekarang Inara merasa perlu mengungkapkan keinginannya dihadapan Faras. Kalau suaminya itu menolak syarat darinya pasti Faras bersuara tapi sekarang Faras justru diam saja, hingga pada akhirnya Inara menarik kesimpulan jika Faras setuju dengan syarat darinya.
"Kenapa kamu bisa berpikir aku berniat menceraikan mu, Inara? Apa sikapku selama ini belum mampu membuktikan padamu kalau aku menyayangimu, menginginkanmu, dan juga mencintaimu?." lirih Faras setelah melihat Inara mulai terlelap dalam tidurnya.
"Terkadang dengan sikap saja tidak cukup, Ras. Wanita perlu ungkapan rasa secara lisan. Kau tahu sendiri kan kalau perempuan itu makhluk paling sensitif di muka bumi ini. bahkan mereka membutuhkan ucapan cinta yang romantis setiap harinya, Ras." Faras jadi teringat akan perkataan Arga siang tadi saat mereka membahas tentang pekerjaan dan kebetulan Inara tidak ikut bersamanya. Arga adalah satu-satunya orang yang tahu tentang perasaan Faras terhadap Inara.
Keesokan paginya.
Sinar matahari yang masuk melalui Ventilasi kaca membangunkan Inara dari tidurnya. Ia sontak memegang kepalanya saat teringat akan kata-katanya pada Faras semalam. Sepertinya aku sudah mulai tidak waras, bagaimana aku bisa berani bicara seperti itu pada mas Faras semalam? Bagaimana kalau pagi ini mas Faras justru kembali membahasnya dan menolak syarat gila dariku?. Inara hanya bisa meringis dalam diam sampai kemudian merasakan tangan besar Faras mengeratkan pelukan pada pinggangnya, menjatuhkan dagu di bahunya. Inara memejam mata frustasi.
Tidak perlu berlebihan Inara, kau itu istrinya mas Faras dan kau berhak mengutarakan isi hatimu seperti semalam. Di sudut hati terdalam terlintas kalimat yang mampu menguatkan hati Inara, meyakinkan diri bahwa seorang istri berhak mengutarakan keinginannya pada suaminya. Justru yang masalah bila mengutarakan isi hati pada suami orang lain, itu baru masalah.
"Kamu sudah bangun, sayang?."
Deg.
"Mas Faras panggil aku sayang?." Inara hampir terperanjat mendengar Faras memanggilnya dengan sebutan sayang. Memang bukan untuk pertama kali karena pernah beberapa kali suaminya itu memanggilnya dengan sebutan sayang saat berada ditengah-tengah keluarganya, namun kini mereka sedang berada dikamar dan hanya berdua saja, lalu mengapa pria itu memanggilnya dengan sebutan sayang?
"Apa mas Faras lagi demam ya?." batin Inara. ia berbalik badan menghadap pada Faras, menempelkan punggung tangannya di dahi pria itu. "Nggak panas?." imbuhnya dalam hati.
"Memangnya salah kalau suami memanggil istrinya dengan panggilan yang lebih romantis?." Masih dengan mata terpejam Faras bertanya, seakan paham dengan apa yang ada dipikiran istrinya saat ini.
dan Inara gampang ke makan omongan orang...
mana kepikiran Inara klo kamu juga mencintai nya...
Yuni jadi tersangka pil kontrasepsi...
kamu tau Amanda hanya iri padamu...
malah dengerin kata kata Amanda 🤦♀️
tp tdk untuk lain kali