NovelToon NovelToon
Obsesi CEO Psikopat

Obsesi CEO Psikopat

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Mantan Perawat

Aluna gadis yatim piatu berusia 21 tahun, menjalani hidupnya dengan damai sebagai karyawan toko buku. Namun hidupnya berubah setelah suatu malam saat hujan deras, ia tanpa sengaja menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya. Di sebuah gang kecil ia melihat sosok pria berpakaian serba hitam bernama Darren seorang CEO berusia 35 tahun yang telah melenyapkan seorang pengkhianat. Bukannya melenyapkan Aluna yang menjadi saksi kekejiannya, Darren justru membiarkannya hidup bahkan mengantarnya pulang.

Tatapan penuh ketakutan Aluna dibalik mata polos yang jernih menyalakan api obsesi dalam diri Darren, baginya sejak malam itu Aluna adalah miliknya. Tak ada yang boleh menyentuh dan menyakitinya. Darren tak ragu melenyapkan semua yang pernah menyakiti Aluna, entah itu saat sekarang ataupun dari masa lalunya.

Ketika Aluna perlahan menyadari siapa Darren, akankah ia lari atau terjatuh dalam pesona gelap Darren ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mantan Perawat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB.21

© DEPAN KOS ALUNA: 07:05 PAGI ©

Rayyan masih terduduk di depan Reta dan Yumna, kepalanya tertunduk lesu. Cemilan dan susu stroberi yang ia bawa terasa begitu sia-sia sekarang. Dadanya sesak, pikirannya kusut. Dua tahun. Dua tahun Aluna memendam sakit hati, sementara ia bahkan tidak menyadari betapa dalam lukanya.

Reta menyeruput sisa cokelat panasnya dengan santai sebelum menatap Rayyan penuh penilaian. "Kamu itu ya… bisa-bisanya dulu jadikan Aluna taruhan. Pikir pakai otak nggak sih waktu itu?" katanya dengan nada santai tapi menusuk.

Yumna mengangguk setuju, lalu menyipitkan mata ke arah Rayyan. "Serius deh, kamu waktu itu mikir apa, hah? Aluna itu manusia, bukan barang diskonan yang bisa ditaruhkan gitu aja. Picik banget."

Rayyan menghela napas panjang. Ia mengangkat kepalanya, menatap kedua cewek di depannya dengan wajah penuh penyesalan. "Aku tahu aku salah." Suaranya serak. "Aku mengakuinya. Aku bodoh. Aku keparat. Aku nyakitin Aluna tanpa aku sadari."

Reta mendengus. "Nah tuh, sadar kan sekarang? Terus sekarang mau apa? Nggak mungkin kamu berharap Aluna langsung forgive and forget."

Rayyan mengangguk kecil. Ia menatap langit yang masih mendung, hujan rintik-rintik semakin deras. "Aku cuma ingin minta maaf. Aku benar-benar nggak tahu kalau dia dengar malam itu. Aku… aku nyesel."

Yumna menyandarkan punggungnya ke kursi dengan ekspresi berpikir. "Oke, katakanlah kamu nyesel. Terus? Kamu kira nyesel doang cukup buat ngehapus dua tahun luka Aluna?"

Rayyan menggigit bibirnya. "Aku tahu nggak cukup. Tapi aku juga nggak tahu harus gimana."

Reta menyipitkan mata. "Ya pikir sendiri lah. Kamu yang bikin masalah, kamu juga yang harus mikir solusinya."

Rayyan kembali tertunduk, merasa semakin buntu.

Yumna tiba-tiba terkekeh. "Eh, tapi serius ya. Aku suka Aluna yang tadi. Tatapannya… tajam banget. Kayak habis ikut pelatihan mafia."

Reta menepuk paha Yumna. "Iya! Aku juga suka! Udah terkontaminasi aura Pak Darren. Bayangin kalau Pak Darren tahu soal taruhan itu. Wah, Rayyan, kamu bisa habis."

Yumna menatap Rayyan dengan seringai kecil. "Kemarin aja waktu kamu nyeletuk Aluna matre, Pak Darren langsung cengkram kerah bajumu. Apalagi yang ini… taruhan? Wah, kepala kamu bisa diputar 180 derajat sama dia."

Rayyan meremas rambutnya. "Jangan bikin aku makin stres, bisa nggak?"

Reta dan Yumna saling berpandangan, lalu tertawa kecil.

Rayyan memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam. "Aku cuma… ingin menebus kesalahanku. Tapi Aluna terlalu sakit hati."

Reta mengangkat bahu. "Ya iyalah, dua tahun, Rayyan. Dua. Tahun. Itu bukan waktu yang sebentar. Cewek itu ingatannya kayak gajah, lho. Bahkan mungkin sampai detik ini, Aluna masih ingat kamu pakai baju warna apa waktu ngomongin taruhan itu."

Yumna terkekeh. "Baju warna merah belel, kalau nggak salah."

Rayyan menatap mereka dengan bingung. "Hah? Kok kalian tahu?"

Reta menyeringai. "Ya iyalah tahu. Malam itu, Aluna pulang kerja terus tiba-tiba diem di depan pintu kos, mukanya sedih banget. Aku nanya kenapa, terus dia cerita."

Yumna mengangguk. "Tapi dia bilang jangan kasih tahu kamu. Suruh kami diam aja. Makanya selama ini kami nggak pernah bahas. Tapi ya sekarang… dia akhirnya meledak sendiri."

Rayyan menelan ludah. "Jadi kalian tahu selama ini…"

"Kami tahu," kata Reta santai. "Kami tahu, tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Itu urusan kalian berdua."

Rayyan merasa semakin sesak.

Ia menatap kantung cemilan dan susu stroberi yang masih di tangannya. Sudah tidak ada gunanya lagi. Ia menggesernya ke arah Reta dan Yumna. "Udah. Ini buat kalian aja."

Reta menatap kantung itu, lalu ke wajah Rayyan. "Lho? Kok malah buat kami? Harusnya ini dikembalikan ke toko biar kamu dapat refund."

Yumna menepuk pundak Reta. "Oi, ini cemilan, bukan barang elektronik. Nggak bisa di refund!"

Rayyan menghembuskan napas panjang. "Terserah deh. Aku udah nggak tahu harus ngapain."

Ia berdiri, berjalan menuju tangga.

Reta dan Yumna saling melirik sebelum Reta berteriak, "Mau ke mana, Upil Semut?"

Rayyan berhenti sejenak di anak tangga pertama. "Ke kamar. Pengen sendiri dulu."

Yumna berdecak. "Cieee, galau."

Reta menimpali, "Hati-hati, jangan sampai Pak Darren tiba-tiba nongol dari balik pintu. Bisa-bisa kamu langsung diculik dan diinterogasi ala mafia!"

Rayyan tidak merespons. Ia melanjutkan langkahnya, naik ke lantai dua dengan kepala penuh pikiran.

Sementara itu, Reta dan Yumna menatap kantung cemilan di depan mereka.

"Jadi… kita makan ini atau enggak?" tanya Yumna.

Reta mengangkat bahu. "Ya dimakan lah. Nggak mungkin kita kasih ke kucing, kan?"

Yumna mengambil sekotak susu stroberi, menyesapnya. "Hmm… enak juga sih. Tapi ya ampun, Rayyan sih goblok banget dua tahun lalu."

Reta mengangguk sambil membuka bungkus wafer. "Bener. Untung aja Aluna akhirnya meledak. Kalau nggak, mungkin dia bakal terus nahan rasa sakitnya."

Keduanya terdiam sejenak, sebelum Yumna mendecak pelan.

"Eh, tapi kalau Pak Darren tahu soal taruhan ini, kira-kira dia bakal marah nggak ya?"

Reta terdiam sebentar, lalu menyeringai kecil. "Marah sih pasti. Tapi yang lebih menarik adalah… apa yang bakal dia lakukan sama Rayyan?"

Yumna ikut menyeringai. "Aku udah bisa kebayang… Pak Darren dengan tatapan dinginnya, tangannya melipat, terus dia bilang, 'Jelaskan. Sekarang.'"

Keduanya langsung tertawa kecil, menikmati cemilan sambil membayangkan nasib Rayyan.

© Kamar Kos Rayyan ©

Rayyan duduk di tepi kasur, tangannya terkepal di atas lutut, napasnya berat. Hujan di luar semakin deras, suara tetesan air di jendela terasa seperti dentuman di kepalanya. Pikirannya kacau, dadanya sesak, seakan ada beban berton-ton yang menghimpitnya.

"Bodoh... Bodoh banget..." gumamnya pelan, kepalanya tertunduk dalam. Ia mengusap wajahnya kasar, seolah berharap kesalahannya bisa ikut terhapus bersama keringat dan penyesalan yang mengalir di bawah kulitnya.

Ponselnya masih tergeletak di sampingnya, layar menyala menunjukkan pesan terkirim ke Galang. Ia tidak akan masuk kantor hari ini. Bukan karena sakit fisik, tapi karena pikirannya benar-benar kusut.

"Aluna..." bisiknya, nyaris tak terdengar. Nama itu terasa asing sekaligus begitu dekat. Dulu, ia selalu menyebut nama itu dengan ringan, tanpa beban. Sekarang, menyebutnya saja seperti menelan belati.

Ia mengacak rambutnya frustasi. "Dua tahun... Dua tahun aku sibuk mikir kenapa dia selalu nolak ajakan aku. Kenapa aku nggak mikir lebih jauh? Kenapa aku nggak sadar? Kenapa aku sebego itu?"

Rayyan menundukkan kepala, tangannya mencengkeram rambutnya erat. Bayangan malam itu kembali terputar di benaknya. Tawanya bersama teman-temannya, suara celetukan bodoh yang ia ucapkan, taruhan konyol yang sekarang terasa seperti mimpi buruk.

"Gila... Aku bahkan nggak ingat baju apa yang kupakai malam itu, tapi Aluna ingat? Dia bahkan sampai diem di depan kos Reta karena terlalu sakit hati?" suaranya bergetar, perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya.

Ia menutup matanya erat-erat, mencoba mengusir gambaran Aluna yang berdiri di depan pintu kos, sendirian, terluka. Tapi semakin ia mencoba, semakin jelas bayangan itu muncul di pikirannya.

"Apa aku benar-benar separah itu? Apa aku cuma orang egois yang nggak pernah peka sama perasaan orang lain?"

Rayyan bangkit, berjalan mondar-mandir di kamarnya. Hujan masih mengguyur di luar, menciptakan bayangan-bayangan di jendela yang bergoyang seiring dengan aliran air.

"Aku harus ngapain?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Kalau aku minta maaf, apa dia bakal percaya? Kalau aku berusaha menebus kesalahanku, apa dia bakal nerima?"

Ia mendongak, menatap langit-langit seakan mencari jawaban. "Atau aku udah terlambat?"

Hening. Tidak ada jawaban, hanya suara hujan yang semakin deras.

Rayyan kembali duduk di tepi kasur, tubuhnya melemas. Ia menghela napas panjang, lalu menatap ponselnya lagi. Jarinya melayang di atas layar, ingin mengetik sesuatu, tapi pikirannya terlalu kacau.

"Apa aku harus nelpon Aluna?" pikirnya. Tapi bayangan tatapan tajam Aluna pagi tadi membuatnya ragu. Tatapan itu bukan sekedar marah,itu luka yang sudah mengakar, luka yang ia sebabkan tanpa sadar.

Rayyan mengusap wajahnya lagi. "Aku nggak bisa nelpon. Aku nggak bisa asal chat minta maaf. Itu nggak cukup."

Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku harus cari cara lain. Aku harus bikin dia ngerti kalau aku benar-benar nyesel. Aku harus....."

Tiba-tiba, pikirannya kosong. Apa pun yang ia coba pikirkan, semuanya berujung pada satu hal,ia tidak tahu harus melakukan apa.

Dengan frustrasi, Rayyan menjatuhkan dirinya ke kasur, menatap langit-langit kamar. Ia merasa seperti orang bodoh.

"Aku udah bikin dia sakit hati dua tahun, dan sekarang aku baru sadar? Sialan... Aku keparat banget..."

Mata Rayyan terasa panas, tapi tidak ada air mata yang keluar. Entah karena ia sudah terlalu lelah atau karena ia tahu menangis tidak akan mengubah apa pun.

"Gimana caranya aku bisa tebus ini?" gumamnya sekali lagi, suaranya hampir tenggelam dalam suara hujan yang terus mengguyur di luar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!