Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 8
Aruna menatap Raka dengan lembut, sambil menyendokkan sayur ke piringnya sendiri. “Boleh aku tahu,” katanya pelan namun penuh rasa ingin tahu, “apa yang sebenarnya membuat kamu jadi ragu sama calonmu itu?”
Raka tampak sedikit kikuk. Ia menunduk, mengaduk nasinya dengan sendok. “Wah... kok jadi curhat ya di tengah makan siang begini?” gumamnya sambil tertawa kecil, menutupi rasa malunya.
Aruna ikut tertawa pelan, lalu meletakkan sendoknya. “Tidak apa-apa, Raka. Siapa tahu, aku bisa kasih kamu sudut pandang lain. Anggap saja ini bukan cuma makan siang, tapi jeda hidup yang hangat,” ujarnya, matanya menyiratkan ketulusan.
Raka tersenyum kecil, lalu akhirnya mulai membuka isi hatinya. “Rita itu... cantik, iya. Pintar juga. Tapi... makin ke sini aku merasa seperti bukan jadi diriku sendiri saat bersamanya.”
Aruna mengerutkan alis, mendengarkan.
“Dia terlalu mengatur,” lanjut Raka, nadanya pelan namun jelas. “Dari hal-hal sepele seperti cara aku berpakaian sampai siapa teman-temanku, dia harus tahu. Semuanya harus sesuai versinya. Belum lagi... dia terlalu menuntut soal materi. Setiap kali kita bicara masa depan, yang dibahas selalu rumah besar, pesta mewah, atau liburan mahal. Rasanya... semua tentang citra, bukan isi.”
Aruna mengangguk pelan, tetap fokus mendengarkan.
“Dan yang lucu,” Raka tersenyum miris, “dia bahkan nggak bisa masak. Bukan karena aku butuh istri yang jago masak, tapi lebih ke... dia nggak punya ketertarikan sama sekali sama hal-hal rumah tangga. Padahal, bagiku, hal-hal kecil itu justru yang bikin hangat sebuah keluarga.”
Aruna menghela napas. “Itu bukan hal sepele, Raka,” katanya pelan. “Kalau kamu sudah merasa seperti kehilangan dirimu sendiri, berarti kamu sedang mencoba bertahan di tempat yang salah.”
Raka menatap Aruna sesaat, seolah merasa dipahami sepenuhnya tanpa perlu menjelaskan lebih banyak. Ada ketenangan dalam nada suara Aruna, bukan menghakimi, hanya hadir sebagai seseorang yang mengerti.
Dan makan siang yang awalnya terasa canggung, berubah menjadi obrolan yang dalam tentang pilihan hidup, tentang ketulusan, dan tentang kejujuran terhadap diri sendiri.
Aruna meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap Raka dengan penuh pertimbangan. Ia tidak tergesa menjawab, seolah ingin merangkai kalimat sebijak mungkin. Suaranya terdengar tenang, namun sarat makna.
“Raka, kalau aku boleh bicara sebagai seseorang yang mencoba memahami pikiran manusia,” katanya dengan senyum kecil, “aku tidak akan langsung menyarankan kamu untuk meninggalkan atau mempertahankan hubungan itu. Tapi... aku akan mengajakmu untuk melihat ini dari sisi yang lebih jernih.”
Raka menatapnya. Fokus.
“Setiap hubungan punya dua sisi. Ada sisi di mana kita merasa nyaman karena sudah terbiasa, dan ada sisi lain yang menantang kita untuk jujur pada diri sendiri. Pertanyaannya adalah... apakah kamu melihat dia sebagai seseorang yang akan nyaman bersamamu, atau justru menjadi beban dalam kehidupanmu sendiri?”
Raka masih diam. Mendengarkan dalam-dalam.
“Rita mungkin punya kelebihan yang kamu sukai, mungkin juga dia cocok secara sosial, atau keluarganya sesuai harapanmu. Tapi jika dalam perjalanan ini kamu mulai merasa lelah menjadi versi yang dia inginkan, itu bisa jadi sinyal penting. Karena dalam pernikahan, kelelahan itu akan membesar, dan menjadi masalah.”
Aruna menunduk sejenak, lalu kembali menatapnya. “Tapi, jangan pula buru-buru memutuskan hanya karena emosi sesaat. Coba tanyakan pada dirimu, Apakah aku bisa hidup bersamanya di saat paling sederhana, tanpa tuntutan apapun? Kalau jawabannya ragu, kamu mungkin sedang mencintai idenya, bukan orangnya.”
Raka mengangguk pelan. Wajahnya serius, tapi hatinya berdesir. Ada rasa hangat yang muncul bukan karena dia mendapatkan solusi, tapi karena merasa dimengerti. Aruna tidak membenarkan, tidak juga menyalahkan. Ia netral... namun menyentuh.
Dan saat Aruna kembali tersenyum, ringan namun tulus, Raka mulai menyadari di hadapannya sekarang bukan hanya seorang pemilik kebun, tapi wanita yang punya kedalaman, ketenangan... dan entah kenapa, pesonanya makin sulit diabaikan.
Raka meletakkan sendoknya dan menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, matanya menatap Aruna sejenak sebelum berkata dengan tulus, “Terima kasih.”
Aruna mengernyit pelan, sedikit tersenyum. “Untuk makan siangnya? Atau... untuk jadi tempat curhat mendadak?”
Raka tertawa kecil. “Keduanya. Aku nggak nyangka bisa bicara sejauh ini apalagi denganmu.”
Aruna menyambut senyumnya dengan lembut. “Tak perlu berterima kasih, Raka. Kadang, kita memang cuma butuh seseorang yang cukup tenang untuk mendengar, bukan yang buru-buru memberi jawaban.”
Ia menambahkan, sambil mengangkat cangkir tehnya, “Lagipula, curhatan tadi sepertinya lebih nikmat dari menu hari ini.”
Raka terkekeh pelan. Entah mengapa, hatinya terasa lebih ringan...dan tatapan matanya pada Aruna kini berbeda ada rasa nyaman, ada respek, dan pelan-pelan... tumbuh sesuatu yang lain.
Setelah itu, Raka melihat sekilas ke jam tangannya, lalu bangkit dari kursinya dengan gerakan sopan.
“Aku pamit pulang dulu, Bu. Masih ada beberapa laporan yang harus aku susun dan kirim ke pusat hari ini juga,” ujarnya.
Aruna mengangguk mengerti, meski ada sedikit rasa sayang melepas momen itu begitu cepat. “Tentu, pekerjaan tetap yang utama. Hati-hati di jalan ya, Raka.”
Raka tersenyum sambil meraih tasnya. “Terima kasih, dan... sekali lagi, untuk semuanya.”
Tatapan mereka saling bertaut sebentar. Bukan tatapan biasa, tapi seolah ada percikan yang mulai tumbuh di antara diam dan sisa waktu makan siang itu.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor