Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Jebakan Harry
Hari itu, udara di luar cukup cerah, matahari bersinar hangat tapi tidak terlalu terik. Harry duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan dekat sebuah café kecil di sudut kota. Pandangannya tertuju ke layar ponsel, menatap pesan terakhir yang ia kirim menggunakan nomor papanya—Calvin—yang masih terhubung dengan aplikasi penyadap yang ia instal diam-diam.
Harry mengetik pesan itu satu jam yang lalu ke kontak bernama "R". Isinya sederhana, namun cukup untuk memancing.
"Sayang, aku ingin kita bertemu. Kita bicara di tempat biasa. Aku sudah di sana."
Tak butuh waktu lama, balasan masuk.
"Oke, Daddy. Aku otw sekarang. Tunggu aku ya…"
Senyum miring langsung mengembang di wajah Harry. Bibirnya menegang dalam ekspresi puas bercampur getir. "Akhirnya," gumamnya pelan. Tangannya mengepal di atas setir, seolah menahan gelombang emosi yang sejak tadi ingin meledak.
Ia tahu, ini adalah langkah penting untuk mengungkap semuanya. Jika Raline benar-benar muncul, maka itu menjadi bukti tak terbantahkan bahwa ia memang menjalin hubungan spesial dengan papanya. Dan kini Harry tak sabar menunggu bagaimana ekspresi gadis itu saat tahu siapa yang benar-benar menunggunya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, dari balik kaca mobil, Harry melihat sosok yang sangat familiar berjalan dari arah tempat parkir.
Raline.
Ia mengenakan blouse putih dan rok panjang berwarna krem. Rambutnya dikuncir setengah, wajahnya terlihat manis seperti biasa. Tapi bukan manis itu yang kini dilihat Harry. Melainkan kemunafikan di balik senyum polosnya.
Raline celingak-celinguk, menoleh ke kanan dan kiri, tampak kebingungan, seperti mencari seseorang.
Tentu saja, Harry tahu siapa yang sedang dicari gadis itu.
Ia keluar dari mobil, melangkah santai mendekatinya. Jantungnya berdetak lebih kencang, tapi ia menahannya, menjaga ekspresi tetap datar.
"Hai!" sapanya tiba-tiba, membuat Raline menoleh kaget. "Lagi cari seseorang ya?"
Raline membeku sejenak. Wajahnya pucat seketika, matanya melebar. "H-Harry?" suaranya gemetar.
Harry tersenyum, lalu menyandarkan tangan ke saku celananya dan berkata dengan nada penuh ironi, "Kamu masih sibuk cari saudara kamu yang sakit itu? Atau sekarang... kamu lagi cari Daddy kamu?"
Wajah Raline langsung memerah, bukan karena malu, tapi karena panik. Ia tersedak napas sendiri dan mencoba tertawa, tapi gagal.
"A-aku nggak ngerti maksud kamu…"
Harry mengangkat alis. "Oh, masa? Padahal aku denger sendiri semalam kamu manggil 'Daddy' dengan manja banget." Ia lalu menunduk sedikit, berbisik di dekat telinga Raline, "Sayang... aku di kamar. Aku kangen..."
Raline mundur satu langkah. "Kamu nyadap?"
Harry tidak menjawab. Ia hanya menatap tajam, matanya menyiratkan luka sekaligus amarah yang mendalam. "Aku cuma mau tahu… dari semua laki-laki yang ada di dunia ini, kenapa harus papa aku?"
Raline terdiam. Wajahnya bingung, matanya berkaca-kaca.
"Kamu tahu nggak, selama ini aku benar-benar percaya sama kamu. Aku bela kamu di depan siapa pun. Aku bahkan siapin liburan ke Bali buat kita." Harry tertawa kecil, getir. "Tapi ternyata, kamu lebih pilih pergi ke luar negeri dengan papaku."
"Harry… aku bisa jelasin—"
"Gak perlu!" potong Harry cepat. "Aku cuma perlu satu hal sekarang. Jawaban jujur. Kamu… memang berselingkuh dengan Calvin, kan?"
Raline menggigit bibir. Tubuhnya gemetar. Tapi tetap tidak berkata apa-apa.
Harry menghela napas dalam. "Baiklah. Kalau kamu masih diam, berarti semua tuduhan aku benar."
Ia lalu menatap gadis itu untuk terakhir kalinya, sebelum berbalik pergi.
"Kamu udah bukan siapa-siapa lagi buat aku sekarang."
Dan Raline pun hanya bisa berdiri terpaku, menyadari bahwa semuanya kini telah runtuh.
÷÷÷
Tangis Raline tak kunjung reda sejak ia meninggalkan tempat pertemuannya dengan Harry. Langkah kakinya cepat, namun tidak menentu. Beberapa kali ia hampir tersandung, matanya kabur oleh air mata yang terus mengalir tanpa henti. Ia merasa hancur. Segalanya telah terbongkar, dan kini ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan.
Setibanya di depan pintu apartemennya, Raline menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri walau sia-sia. Tapi saat membuka pintu, tubuhnya justru terpaku di tempat. Di sana, berdiri seorang pria dewasa yang sangat ia kenal, memegang sebuah tas belanja bermerek mewah di tangannya.
Calvin.
Pria itu menoleh cepat saat mendengar suara pintu dibuka, dan matanya langsung membesar melihat kondisi Raline. "Raline? Kamu kenapa?" tanyanya cepat, melangkah mendekat.
Raline hanya bisa berdiri di ambang pintu dengan tubuh gemetar, wajahnya memerah, dan air mata masih terus jatuh membasahi pipinya. Bukannya menjawab, ia justru kembali terisak, lebih keras kali ini.
"Sayang, hey... sini!" Calvin mendekap Raline dan langsung membimbingnya masuk ke dalam unit apartemen. Ia menutup pintu perlahan, lalu membiarkan gadis itu duduk di sofa sementara ia meletakkan bingkisan yang tadi dibawanya ke meja.
"Tenang dulu... kamu bisa cerita pelan-pelan." Calvin mengusap punggung Raline dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan lewat sentuhan hangatnya.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sampai akhirnya Raline membuka suara di sela-sela isakannya. "Harry… dia… dia tahu semuanya…"
Calvin terdiam sejenak. "Apa maksud kamu?"
Raline menunduk dalam, suaranya lirih. "Dia tahu… tentang kita. Dia menyadap ponsel kamu. Dia yang mengirim pesan tadi… Dia jebak aku."
Raut wajah Calvin berubah seketika. Pandangannya mengarah ke jendela kosong, seolah menyusun ulang semua kejadian di kepalanya. Napasnya berat, tapi bukan karena marah. Melainkan karena rasa terkejut yang perlahan berubah menjadi sebuah pemikiran baru.
Namun, alih-alih panik, Calvin justru menghela napas panjang lalu tersenyum kecil. Tangannya kembali menyentuh tangan Raline.
"Kalau begitu… itu kabar baik," ujarnya dengan tenang.
Raline mengerutkan kening, menatap pria itu penuh bingung. "Apa?"
"Ya. Karena kalau dia sudah tahu, dan dia memilih diam selama ini, berarti dia tidak akan membongkar ini sembarangan. Kita tinggal buat cerita versi kita sendiri. Dan yang terpenting..." Calvin menatap gadis itu dalam. "Kita bisa terus bersama, tanpa perlu takut lagi."
"Tapi Harry... dia kecewa... dia marah banget..." Raline tampak ragu, wajahnya menahan perasaan bersalah.
"Aku tahu," balas Calvin cepat. "Dan aku akan hadapi dia kalau memang perlu. Yang penting sekarang kamu tetap di sisiku. Aku sudah terlalu jauh melibatkan diriku dalam hubungan ini, Raline. Aku gak mau kehilangan kamu."
Calvin mengelus pipi Raline yang masih basah. "Sekarang, ayo bersihkan diri dulu! Aku beliin beberapa baju baru buat kamu. Ganti suasana, ya?"
Raline masih diam, tapi perlahan mengangguk. Ia berdiri, lalu berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Calvin yang kini berdiri dengan pandangan jauh.
Di tempat lain.
Harry duduk di depan layar laptopnya, pandangannya fokus pada rekaman yang sedang berjalan. Kamera pengintai yang ia pasang di unit apartemen Raline menangkap semua momen tadi dengan sangat jelas.
Mulai dari tangisan Raline saat masuk, percakapan mereka berdua, hingga kalimat-kalimat tenang dan manipulatif yang diucapkan papanya.
Rahangnya mengeras. Ia menatap layar itu dengan sorot mata tajam penuh luka dan kemarahan. Satu hal yang kini ia sadari sepenuhnya—ini bukan hanya soal cinta yang dikhianati, tapi juga keluarga yang runtuh karena kebusukan dari dalam.
Dan Harry bersumpah, ia akan membuat mereka membayar semuanya.