"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily kembali menatap ponselnya, jemarinya sedikit gemetar saat ia menekan nomor Emma sekali lagi. Ia berharap kali ini neneknya segera mengangkatnya.
Perasaannya gelisah, terutama saat mengingat bagaimana rumah neneknya dijaga ketat oleh beberapa orang berpakaian formal yang berdiri di setiap sudut ruangan atas perintah Zhen.
Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara lembut Emma menyapanya.
"Halo, Li?"
Lily mengembuskan napas lega, tubuhnya sedikit rileks begitu mendengar suara neneknya yang terdengar biasa saja, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Nenek, aku minta maaf. Aku pergi tanpa sempat berpamitan," ucap Lily sambil menggigit bibirnya, merasa bersalah. Ia juga bingung menjelaskan pada Emma tentang keputusannya menikahi Zhen, bukan Hugo.
Sudah jelas Emma akan memarahinya. Namun, Lily terdiam sejenak saat Emma tertawa kecil di ujung telepon dengan nada yang tetap hangat.
"Tidak apa-apa. Aku mengerti. Yang penting kau baik-baik saja."
Lily menunduk, menatap ujung bathrobe yang ia kenakan. "Aku baik-baik saja, Nek."
"Jadi pernikahan kalian berjalan lancar?"
Dada Lily bergemuruh.
"Dan bagaimana dengan rumah yang sedang direnovasi? Apa hari ini kalian akan menempatinya?"
Lily terkejut. Matanya semakin melebar. Bagaimana neneknya tahu?
Sebelum Lily sempat mengatakan apa pun, Emma kembali bersuara dengan nada tenang. "Zhen sudah memberitahuku semua aktivitas kalian."
Lily membeku. Ia merasakan wajahnya mulai panas, terlebih saat tatapannya tanpa sadar jatuh pada ranjang di hadapannya.
Ranjang itu masih berantakan. Sangat berantakan.
Lily menelan ludah. Seakan ranjang itu menjadi saksi dari malam-malam penuh gairah yang ia lalui bersama Zhen.
Pipi Lily merona seketika. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Zhen bisa menceritakan semuanya kepada neneknya. Tentu saja tidak secara detail, kan?
Ia mengerjap beberapa kali, berusaha mengembalikan fokusnya pada percakapan.
Sebelum Lily sempat mengatakan apa pun, Emma kembali bersuara dengan suaranya terdengar sedikit menggoda.
"Apa kau baik-baik saja, Li? Jangan bilang kalau anak jahil itu sudah membuatmu semakin menderita."
Lily mengernyit, tidak mengerti dengan maksud neneknya. "Anak jahil?"
Emma tertawa kecil. "Ah, jadi kau benar-benar tidak ingat? Padahal aku pikir kau akan menyadarinya lebih cepat."
Dahi Lily semakin berkerut. "Apa maksud nenek?"
Emma terdiam sejenak, seolah memberi Lily kesempatan untuk berpikir. "Apa kau sudah melupakan seorang pria kecil yang dingin dan sering menjahilimu saat kalian masih kecil?"
Lily membeku. Jantungnya berdebar kencang. Pria kecil yang dingin dan sering menjahilinya?
"Tepatnya dua puluh lima tahun yang lalu, saat usia kau masih sekitar lima tahun. Kau selalu mengeluh padaku tentang pria yang suka mengusilimu, menyembunyikan boneka kesayanganmu, bahkan membuatmu menangis berkali-kali."
Lily terdiam. Ingatan masa kecilnya yang selama ini terkubur mulai terurai perlahan. Pria yang dingin. Pria kecil yang sering menjahilinya. Sekaligus menjadi cinta pertama yang selama ini ia tunggu tanpa pernah menyadarinya.
Lily menelan ludah, matanya membelalak saat kesadaran itu menghantamnya seperti ombak besar.
Tidak mungkin.
Tidak mungkin Zhen adalah pria itu.
Lily merasakan gelombang emosi yang begitu kuat menghantam dirinya. Nafasnya tercekat, kepalanya sedikit berdenyut saat ingatan itu kembali dengan begitu jelas.
Lily tetap membisu, pikirannya berputar cepat, mencoba menghubungkan semua potongan ingatan yang mendadak menyeruak.
Pria kecil yang selalu muncul di mimpinya, meski wajahnya perlahan-lahan mulai memudar seiring waktu.
"Nenek bercanda kan?" Lily akhirnya bersuara meski suaranya sedikit bergetar. "Tidak mungkin, maksudku, tidak mungkin tuan Zhen adalah anak itu."
Emma tertawa pelan di ujung telepon. "Oh, seharusnya kau sudah bisa menebaknya sejak awal. Aku ingat betul bagaimana kau menangis karena dia, lalu berlari ke pelukanku dan berkata ingin menikah dengan pria lain yang lebih baik darinya."
Lily menahan napas. Ia bahkan tidak ingat pernah berkata seperti itu.
"Tapi meskipun kau membencinya saat itu, kau selalu mencari-cari dia bukan?" lanjut Emma. "Kau selalu ingin tau di mana dia, kenapa dia tidak datang ke rumah lagi, kenapa dia tiba-tiba pergi tanpa pamit. Dan aku tau, jauh di dalam hatimu, kau selalu menunggunya."
Lily memejamkan mata.
Memori-memori yang tadinya kabur mulai terbentuk lebih jelas di benaknya.
Pria kecil itu memang sering menjahilinya, tapi ada sesuatu yang berbeda darinya. Setiap kali Lily menangis, pria kecil itu akan pura-pura kesal dengan berkata jangan cengeng, lalu diam-diam meninggalkan permen di mejanya.
Dan satu kejadian yang paling Lily ingat, saat ia tersesat di hutan kecil dekat rumah neneknya, pria kecil itu datang mencarinya, menggenggam tangannya erat, lalu berkata dengan nada dingin, jangan ke mana-mana tanpa aku.
Lily membuka matanya perlahan, napasnya tercekat. "Nenek tidak sedang membohongiku kan?"
Emma tersenyum kecil sebelum menjawab dengan lembut. "Itulah kenyataannya, Lily. Zhen telah menjadi suamimu, tanpa kau memikirkannya lagi."
Lily merasakan gelombang emosi yang begitu kuat menghantam dirinya. Nafasnya semakin tercekat, kepalanya sedikit berdenyut saat ingatan itu kembali dengan begitu jelas.
Detik itu juga, ia kembali ke masa kecilnya.
Kecelakaan itu.
Ia ingat, pandangannya kabur, dan suara jeritan orang-orang di sekitar yang terdengar samar. Lalu, di antara rasa sakit dan kebingungan, matanya menangkap sosok anak laki-laki yang tergeletak tak jauh darinya.
Lily menutup mulutnya dengan tangan gemetar. Dadanya terasa begitu sesak.
Bagaimana mungkin ia bisa melupakan ini?
Bagaimana mungkin ia tidak pernah menyadari bahwa anak laki-laki itu adalah Zhen?
Mereka benar-benar terpisah setelah kejadian itu. Lily sempat dirawat cukup lama di rumah sakit, dan ketika ia pulih, Zhen sudah menghilang dari hidupnya.
Ia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Zhen setelah kecelakaan itu. Ia hanya ingat kebingungannya, kesedihannya, dan betapa ia selalu bertanya-tanya ke mana pria itu pergi.
"Nenek, kenapa tidak pernah memberitahuku?" suara Lily nyaris tidak terdengar, bergetar karena emosi yang berkecamuk di dadanya.
Lily menggenggam ponselnya erat, jantungnya masih berdebar hebat.
"Zhen ingin kau mengingatnya sendiri, Lily. Dia tidak ingin aku atau siapa pun memberitahumu lebih dulu."
Lily terdiam sejenak. Ia pun langsung tersadar. Lily harus menemui Zhen.
"Nenek, aku ingin menemui tuan Zhen. Aku ingin bertanya langsung padanya."
Namun, sebelum ia bisa mematikan ponselnya, Lily membeku dan terdiam. Sepertinya Emma benar.
Tetapi Lily menggigit bibirnya, perasaan bimbang masih menyelimuti pikirannya. Di tengah kebingungannya mengingat Zhen sebagai bagian dari masa lalunya, ada satu hal lain yang masih menjadi beban di hatinya.
"Nenek, tentang Hugo—
"Selesaikanlah masalah itu. Kau sudah menikah dengan Zhen. Tidak ada alasan untuk menggantungkan hubungan yang seharusnya sudah berakhir."
Lily terdiam dengan jari-jarinya mengepal di atas pangkuannya. "Baik, Nek," ucapya pelan meskipun Emma tidak bisa melihat anggukannya. "Aku akan menyelesaikannya." Lily tidak mau banyak berbicara pada Emma di mana ia memang sudah memutuskan hubungan itu, akibat perselingkuhan Hugo dan Daisy.
"Bagus. Lakukanlah dengan baik, jangan sampai meninggalkan luka yang tak perlu."
Lily menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.