"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Setibanya di hotel, Lily masih tenggelam dalam pikirannya. Ada sesuatu yang harus ia katakan, tetapi keberanian untuk mengungkapkannya terasa begitu sulit.
Di depan sana, Zhen baru saja melepaskan kancing pakaiannya dengan gerakannya tenang namun tetap membawa aura mendominasi.
Dengan napas sedikit tertahan, Lily akhirnya bersuara, "Tuan, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan."
Zhen berhenti bergerak dan menoleh, alisnya sedikit terangkat, ekspresinya santai tapi tajam, seakan bisa membaca kegelisahan Lily sebelum wanita itu sempat mengucapkannya.
Lily menggigit bibirnya sesaat. "Dalam tradisi keluarga saya, nenek saya pernah bercerita tentang sebuah wasiat. Jika seorang wanita telah menikah, maka di malam pertama, si istri harus mencuci kaki suaminya hingga bersih."
Zhen tetap diam, matanya memperhatikan Lily dengan sorot yang sulit ditebak. Keheningan itu semakin menekan, membuat Lily tanpa sadar mengeratkan jemarinya. Ia buru-buru menambahkan, "Jika tidak, maka istri akan dianggap durhaka terhadap suaminya."
Zhen tidak langsung merespons. Ia hanya menatap Lily beberapa detik lebih lama sebelum tiba-tiba kembali membuka kancing pakaiannya satu per satu, seakan angin yang mengalir dalam ruangan berubah menjadi badai kecil yang mengacaukan napas Lily.
Dengan santai, Zhen berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Lily yang masih berdiri terpaku di tempatnya.
Saat pria itu setengah menoleh, suaranya terdengar tenang tapi menghanyutkan, "Kenapa masih diam? Bukankah kau yang bilang ini tradisi keluargamu?"
Lily tersentak dari lamunannya, keningnya berkerut. "Tuan, yang saya maksud adalah mencuci kaki anda, bukan memandikan anda."
Langkah Zhen terhenti tepat di ambang pintu kamar mandi. Ia menoleh dengan ekspresi setenang permukaan air, tapi di balik matanya tersirat sesuatu yang sulit diartikan. "Di dalam sini ada shower dan bathtub. Sedangkan di dalam kamar, tidak ada wadah kecil untuk kau mencuci kakiku yang tidak kotor ini."
Lily menelan ludah. Ia baru saja menyadari bahwa di hotel tidak menyediakan wadah lain yang bisa ia gunakan. Keinginannya untuk menjalankan tradisi kini malah berubah menjadi sesuatu yang lebih besar dari yang ia duga.
Zhen masuk ke dalam kamar mandi tanpa ragu. Lily berdiri di tempatnya, hatinya berdebar tak menentu, tapi tubuhnya bergerak sebelum pikirannya sempat memproses, ia mengikuti pria itu ke dalam.
Begitu memasuki kamar mandi, hawa hangat langsung menyergap kulitnya. Aroma sabun yang khas memenuhi ruangan, bercampur dengan uap tipis dari air yang mulai mengalir. Lily menelan ludah lagi, menyadari betapa sempitnya ruangan ini ketika hanya ada ia dan Zhen di dalamnya.
Zhen berdiri di dekat bathtub, jemarinya memutar keran shower, membiarkan air hangat mengalir deras, membentuk aliran tipis yang jatuh ke lantai marmer. Ia menoleh ke arah Lily dengan santai, seakan tidak ada yang aneh dalam situasi ini.
"Jadi?" suara Zhen terdengar rendah. "Kau akan berdiri di sana terus atau melaksanakan tradisi keluargamu?"
Lily semakin gelisah. Ia melangkah perlahan mendekat, jantungnya terasa menghantam dinding dadanya sendiri. "Tuan, saya hanya perlu mencuci kaki anda, bukan seluruh tubuh anda."
Zhen mengangkat bahunya, ekspresinya tetap datar tapi ada sedikit ketertarikan dalam sorot matanya. "Aku tidak keberatan kalau kau ingin lebih dari itu."
Lily membelalak. "Tuan!" suaranya hampir melengking, wajahnya langsung berubah merah padam.
Zhen tersenyum kecil, seolah menikmati bagaimana Lily begitu mudah terpancing. Namun, akhirnya ia duduk di tepi bathtub dengan santai. "Baiklah, silakan. Kalau itu bisa membuatmu merasa lebih baik."
Lily menarik napas panjang, berusaha mengendalikan debaran di dadanya. Setidaknya situasi ini masih bisa ia kendalikan. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengambil shower kecil yang terpasang di dinding dan sabun. Lily mulai menyiram kaki Zhen dengan air hangat.
Zhen diam, membiarkan Lily melakukan tugasnya, tapi tatapannya tetap mengawasi setiap gerakan wanita itu. Ia tidak pernah peduli dengan tradisi seperti ini, tapi melihat bagaimana Lily berusaha keras menjalankannya, ada sesuatu yang menggelitik pikirannya.
"Kau tidak perlu melakukan ini jika merasa terpaksa," ucap Zhen sesaat Lily mulai menggosok lembut kakinya, suara pria itu terdengar rendah dan tenang.
Lily berhenti sesaat, lalu menggeleng. "Saya hanya ingin menghormati wasiat nenek saya."
Zhen mencondongkan tubuhnya sedikit, membuat jarak mereka semakin kecil. "Dan aku suamimu kan?"
Lily terdiam, tangannya yang masih menggenggam kaki Zhen seakan kehilangan tenaga. Wajahnya merona lebih dalam. "Tentu saja, Tuan," jawabnya pelan.
Zhen tersenyum samar, membiarkan Lily melanjutkan tugasnya. Ruangan ini masih dipenuhi uap tipis, tetapi hawa di antara mereka terasa jauh lebih panas dari sekadar suhu air.
Saat Lily mengeringkan kaki Zhen dengan handuk kecil, pikirannya tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan, sesuatu yang tak bisa ia tunda lagi.
"Tuan…" panggilnya pelan, nyaris tenggelam oleh suara tetesan air yang jatuh ke lantai marmer.
Zhen mengangkat alisnya sedikit, ekspresinya santai dan datar.
Lily menarik napas dalam-dalam. "Saya ingin membicarakan sesuatu tentang wasiat dan warisan kedua orang tua saya. Setelah saya menikah, warisan yang mereka simpan untuk saya akhirnya bisa diambil, dan sesuai ketentuan, warisan itu seharusnya dikelola oleh suami saya. Karena itu, anda yang seharusnya mengatur warisan tersebut."
Zhen menatap Lily sekilas sebelum menghela napas kecil. Alih-alih tertarik, pria itu justru tersenyum miring, senyum yang seolah menertawakan gagasan itu. "Aku tidak membutuhkannya," jawabnya santai. "Ambil saja dan atur sesukamu."
Lily terdiam. Begitu saja? Jika Hugo yang menjadi suaminya, pria itu pasti akan langsung berkata bahwa sebagai kepala keluarga, ia yang harus mengontrol warisan itu, dan bahkan mungkin segala pengeluaran Lily.
Zhen yang memperhatikan ekspresi Lily, tiba-tiba meraih dagu Lily dengan dua jarinya, mengangkatnya agar mereka saling menatap. Sentuhan itu ringan, tapi efeknya menghantam Lily terlalu kuat.
"Kenapa melamun?" tanya Zhen dengan suara rendah, nyaris berbisik di udara yang masih dipenuhi uap.
Lily berkedip, mencoba fokus kembali. "Apa karena anda memang sudah terlahir kaya, makanya tidak menginginkan hal semacam itu?"
Zhen tersenyum kecil, kali ini terlihat lebih tajam. "Jika aku miskin sekalipun, aku tidak akan menggunakan warisan itu sepeser pun." Matanya menatap Lily lebih dalam, membuat napas wanita itu tersendat. "Bagiku, aku yang mencari uang, dan istriku yang mengatur keuangan itu."
Lily tercekat. Kata-kata Zhen begitu sederhana, tapi dampaknya terasa begitu besar. Bagaimana pria ini bisa berbicara dengan begitu mudah, seakan semua yang selama ini ia inginkan, suami yang tidak mendominasi, tapi tetap bertanggung jawab, sudah ada di hadapannya?
Uap tipis masih memenuhi kamar mandi, tapi Lily merasa sesak dengan perasaan yang berdesakan di dadanya. Zhen tidak melepaskan tatapannya, seolah menunggu Lily untuk memahami sesuatu yang bahkan mungkin belum ia sadari sendiri.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰