Pelacur mahal milik Wali Kota. Kisah Rhaelle Lussya, pelacur metropolitan yang menjual jiwa dan raganya dengan harga tertinggi kepada Arlo Pieter William, pengusaha kaya raya dan calon pejabat kota yang penuh ambisi.
Permainan berbahaya dimulai. Asmara yang menari di atas bara api.
Siapakah yang akan terbakar habis lebih dulu? Rahasia tersembunyi, dan taruhannya adalah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arindarast, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka dan Kebebasan
Mobil hitam Arlo melaju cepat di jalanan kota yang mulai lengang. Lampu senja menyinari gedung-gedung pencakar langit, sementara di dalam mobil, wajah Arlo menegang. Ponselnya masih menempel di telinga, suara cemas Sekertarisnya, Atlas masih bergema samar. "Ada wartawan, Pak, yang membuntuti Pak Marco," kata Atlas.
Arlo menggeram. Marco, adiknya yang selalu berhasil menciptakan kekacauan di saat-saat paling krusial.
Hari ini, tepatnya saat Arlo sedang berjuang keras dalam pencalonan Wali Kota. Ia baru saja menyelesaikan rapat penting dan pikirannya penuh dengan strategi kampanye, anggaran, dan janji-janji yang harus ditepati. Sekarang, semua itu terancam oleh ulah Marco.
"Di mana dia sekarang?" tanya Arlo, suaranya terdengar berat, diredam oleh amarah yang menggelegak.
Atlas menyebutkan lokasi, sebuah club malam terkenal di selatan. “Putar balik.” Perintah Arlo pada supir sekaligus pengawalnya. Ia harus segera sampai sana sebelum wartawan lebih dulu menemui Marco.
Bayangan berita-berita negatif yang bisa merusak reputasi memenuhi benaknya. Pencalonan Wali Kota ini adalah perjuangan hidup matinya dan Marco, dengan segala kenakalannya bisa menghancurkan semua dalam sekejap. Ia harus melindungi Marco, sekaligus menyelamatkan dirinya sendiri.
...****************...
Mobil Arlo berhenti mendesis di parkiran basement 'Wanna Fly?', sebuah klub malam yang terkenal glamor namun menyimpan aura berbahaya.
Tanpa basa-basi, Arlo langsung memerintah, "Seret dia. Bawa Marco ke sini. Hidup atau mati, aku tidak peduli. Jangan lupa bukti foto yang dia lakukan di sana." Nada suaranya tegas, tak memberikan ruang untuk penolakan.
Marco dengan segala masalahnya harus segera diatasi sebelum lebih banyak kerusakan yang terjadi.
Pengawalnya mengangguk patuh, menghilang masuk ke area dalam klub itu. Sedangkan Arlo menunggu di dalam mobil, menatap sekeliling dengan tatapan tajam, menunggu adiknya yang selalu membuat frustasi itu muncul.
Kegelapan malam seakan menjadi saksi bisu dari amarah dan kekhawatiran yang bergulat dalam hati seorang calon Wali Kota.
Arlo memijat pelipisnya, berusaha meredakan tekanan yang berdenyut di kepala. Ia mencoba menenangkan diri, tapi sebelum berhasil, suara ribut-ribut dari arah luar memecah kesunyian.
“Aku gak nyangka kamu pengecut! Kabur habis make tubuhku? Dasar, Vegetarian Bajingan!” Seorang wanita berpakaian minim tanpa alas kaki, sedang mengejar adiknya sambil memaki dengan kata-kata kasar yang tak pantas didengar.
Dua pengawal Arlo sigap menahan wanita yang menerobos, ketika Marco masuk ke mobil kakaknya. Mereka mencengkram lengan wanita tersebut dengan kuat namun tetap sopan, menghindari kekerasan yang tidak perlu.
Arlo memperhatikan semuanya dengan tenang, namun sorot matanya tetap tajam. Ia melirik ke arah Marco yang sudah duduk di kursi depan sebelah supir. Adiknya itu hanya menunduk, wajahnya pucat pasi.
“Jangan apa-apain Rhaell. Dia gak terlibat sama sekali.” Mohon Marco saat tahu kakaknya mau memghampiri wanita pemuas napsunya.
Angin malam menerpa Arlo saat ia keluar dari mobil. Suara wanita itu, Rhaell, masih terdengar. Meskipun mulai melemah karena ditahan oleh pengawal.
Arlo berdeham, suaranya berat dan tegas.
Pria tinggi bertubuh atletis di hadapan Rhaell itu mengeluarkan dompet dari balik saku jas hitamnya dengan gerakan cepat, rahang wajahnya yang kuat dan alis tebalnya membuat Rhaell mendelik ketakutan.
Mata gelap dan misteriusnya juga memandang rendah Rhaell yang masih berjuang melepaskan diri dari peganggan anak buahnya.
“Berapa hargamu?” tanya Arlo, suaranya datar tetapi jelas terdengar nada hinaan di dalamnya.
Belum sempat Rhaell menjawab, Arlo sudah melemparkan sejumlah uang ke tubuh wanita yang setengah telanjang itu dan semua uang berhamburan jatuh ke tanah.
Marco yang masih duduk di kursi depan, mengangkat wajahnya dan melirik ke arah Rhaell. Ia menyesal dan ada sedikit rasa tidak tega. Tapi ketakutannya pada Arlo membuatnya tidak bisa berkutik.
Rhaell terdiam melihat kakinya sendiri tanpa alas dan lusuh di kelilingi kertas uang persetan. Benaknya bergejolak. Harga dirinya tercabik.
Namun, di sisi lain sebuah bagian kecil di dalam dirinya, bagian yang telah lama terkikis dan terluka, mengakui kenyataan pahit ini. Kodratnya sebagai pelacur yang terbuang.
Walaupun uang itu sebegitu hina dan menjijikkan, tetaplah satu-satunya yang mampu membungkam jeritan hatinya yang terluka.
Ia meraih uang itu, jari-jarinya gemetar. Bukan karena takut, melainkan karena campuran rasa malu dan keputusasaan yang begitu dalam.
Air mata Rhaell mengancam membasahi pipi karena amarahnya yang membuncah. Ia marah pada dirinya sendiri yang lemah, pada dunia yang kejam dan pada nasib yang membawanya ke titik terendah ini.
Suara Arlo kembali memecah keheningan. “Jika kamu ingin melindungi dirimu, lebih baik kamu jadi pelacur yang pintar. Tubuhmu sudah rusak dan menjijikan. Selagi punya, gunakan otak kecilmu yang tak seberapa itu.” Katanya, menegaskan bahwa ini bukan cara yang baik untuk berurusan dengan masalah.
Arlo dan rombongannya masuk ke mobil dan meninggalkan Rhaell sendiri yang sedang memunguti uang di tanah.
Ia mengusap matanya, bukan karena air mata penyesalan, melainkan dengan gerakan cepat dan tergesa.
Seketika, Rhaell kembali ingat jati diri yang asli.
Dengan langkah pasti, ia mengetuk kaca mobil Arlo. Dan Arlo yang masih dipenuhi amarah, langsung membukanya.
“Tubuh dan otakku bukan urusanmu," ujar Rhaell menatap Arlo dengan penuh menantang. “Urusi saja adikmu yang pengecut itu!" Lalu, dengan ekspresi yang masih dipenuhi senyum tanpa beban, Rhaell meludahi wajah Arlo.
Suara tawa Rhaell bergema saat tau kalau ludahnya tepat sasaran dan Arlo terdiam, terkejut bukan hanya oleh ludah yang mengenai wajahnya, tetapi juga oleh keberanian dan kepercayaan diri Rhaell yang begitu tak terduga.
...****************...
Mobil Arlo pergi meninggalkan basement, suara mesinnya memudar di kejauhan. Keheningan sesaat kemudian digantikan oleh suara halus mesin motor yang mendekat. Seulas senyum bahagia mengembang di bibir Rhaell. Ia tahu siapa yang datang menjemputnya.
"Cia! Kamu habis ngapain? Sendalmu mana?" Suara Edgar memecah kesunyian dini hari, diiringi deru motor yang baru saja dimatikan. Cahaya lampu parkiran menerangi wajah khawatir Edgar yang masih mengenakan celana seragam SMA-nya.
Ia menatap Rhaell, atau Cia dari nama belakangnya Lussya, dengan tatapan penuh pertanyaan dan sedikit cemas.
Rambut Rhaell acak-acakan, pakaiannya sedikit kusut, dan yang paling mencolok adalah ketidakhadiran sendalnya. Kaki Rhaell yang biasanya selalu rapi, kini tampak kotor dan sedikit terluka.
Edgar menghela napas panjang. Ia sudah menduga ada yang tidak beres. Pukul dua pagi bukanlah waktu yang biasa untuk kakak satu-satunya itu pulang.
Biasanya, Edgar sendiri yang menjemput Rhaell di tempat biasa mereka bertemu, tetapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda karena Rayan menelponnya.
Edgar masih terpaku, menatap kaki Rhaell yang kotor dan luka. Pertanyaan menggantung di udara, tetapi Rhaell sudah mendahului dengan ajakan makan. "Makan yok, Gar. Cia laper," katanya, suaranya sedikit serak, namun tetap berusaha terdengar ceria.
Ia mengambil helm dari bawah kaki Edgar dan memasangnya dengan cekatan, gerakannya sedikit tergesa-gesa.
Edgar terdiam sesaat, mencoba mencerna semua yang dilihat dan dirasakannya. Kekhawatiran masih membayangi, tetapi ia memilih mengikuti keinginan Rhaell untuk saat ini.
"Cia," ujarnya lagi, suaranya masih lembut, "Kita ngobrol nanti, ya? Pokoknya ceritain semuanya." Ia tak memaksa, mengetahui bahwa Rhaell butuh waktu dan ruang untuk membuka hatinya.
Edgar menyalakan mesin motor, suara mesin itu mengalahkan keheningan malam. Ia merasakan tangan Rhaell yang dingin dan gemetar di pinggangnya.
Bau alkohol masih samar-samar tercium, mengingatkannya pada pekerjaan Rhaell yang penuh risiko.
“Ayo, Gar. Gas motornya… Cia pengen ayam yang saosnya pedes mampus," kata Rhaell lagi, suaranya sedikit lebih bersemangat, mencoba menutupi getaran.
Ada sebuah tekad tersirat dalam kata-katanya, tekad untuk bertahan, untuk tetap kuat di tengah kesulitan. Edgar mengangguk, menggerakkan motornya perlahan meninggalkan parkiran basement, membawa Rhaell menuju tempat makan, menunggu saat yang tepat untuk mendengar cerita yang disembunyikan di balik senyum dan kata-kata ceria sang kakak.
Di dalam hatinya, ia berdoa agar Rhaell baik-baik saja dan ia berjanji akan selalu ada untuk melindungi kakaknya, sekuat tenaga yang dimilikinya.
Bersambung…
tu kan mo arah ke ❤❤ gituu 😅🤗