Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 : Ciuman Pertama.
Setelah insiden pembullyan beberapa hari lalu, Reagen kini sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari Zenaya. Hampir setiap saat lelaki itu selalu berada di samping Zenaya selama di sekolah. Bahkan, saat jam istirahat pun Zenaya akan lebih banyak menghabiskan waktunya menemani Reagen berlatih basket.
Zenaya sendiri tidak dapat menampik rasa bahagianya. Dia merasa sangat diistimewakan oleh Reagen. Kini Zenaya tidak lagi ragu akan perasaan Reagen, begitu pula dengan kecurigaan Alice, Grace, dan Emily yang berangsur-angsur menguap setelah melihat sendiri bagaimana Reagen memperlakukan sahabat mereka dengan baik. Mereka percaya bahwa perasaan lelaki itu memang nyata.
Senyum sumringah kini selalu terpatri di wajah cantik Zenaya. Bagaimana tidak, selain merasa aman dan sekolah, Reagan juga dengan senang hati mengantar jemputnya setiap hari.
Dia bahkan dengan gentle berkenalan dengan kedua orang tua Zenaya dan sudah dua kali memenuhi undangan makan malam keluarga Winston.
Zenaya merasa mimpinya benar-benar nyata. Perasaannya terbalas, dan dia hanya perlu terus menjaga hubungan ini agar tetap baik-baik saja.
"Zenaya, kan?"
Panggilan seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunan Zenaya yang sedang berdiri di wastafel kamar mandi. Gadis itu segera berbalik dan mendapati Natalie berdiri tidak jauh dari pintu masuk toilet dengan senyum ramah.
Zenaya mendadak canggung, terlebih ketika Natalie berjalan mendekatinya. Gadis bersurai keemasan itu kemudian mengulurkan tangannya pada Zenaya.
"Hei, aku Natalie," sapa Natalie ramah.
Zenaya menyambut hangat uluran tangan Natalie. Rasa canggung sedikit menguap begitu melihat senyum tulus sang gadis. "Zenaya," balasnya.
"Kamu cantik sekali," puji Natalie kemudian. "Sebenarnya aku ingin sekali menemui dan berkenalan denganmu, tetapi pria itu selalu saja mengekorimu ke mana-mana." Natalie tertawa anggun.
Zenaya yang paham akan maksud Natalie sontak menyunggingkan senyumnya. Ternyata Natalie tidak seperti yang dikatakan banyak orang. Dia cukup ramah saat berbicara.
"Kamu pasti sudah mendengar kabar tentang hubungan kami berdua, kan?" tanya Natalie tiba-tiba.
Zenaya menganggukan kepalanya. "Ya." Jawab gadis itu singkat. "Maaf, jika hubungan pertemanan kalian sedikit merenggang karena–"
"Karena dia sibuk melindungimu?" Natalie meneruskan perkataan Zenaya.
Zenaya terdiam dan mengangguk pelan.
Natalie kembali tertawa. "Tenang saja. Lagi pula kejadian waktu itu memang sangat keterlaluan, jadi wajar sekali kalau Rey merasa khawatir padamu."
"Terima kasih atas pengertianmu, Natalie. Kamu baik sekali," puji Zenaya.
"Sama-sama. Semoga kalian bahagia, ya? Jangan terlalu memikirkan nasibku. Aku dan Rey tidak sedekat yang orang-orang kira." Kali ini Natalie memasang sebuah senyuman manis, yang entah mengapa terasa agak janggal di mata Zenaya.
Senyuman itu tampak tidak seperti sebelumnya, dan Zenaya merasa sangat tidak nyaman.
Gadis itu mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang mulai berseliweran di kepalanya. Natalie memang memiliki garis wajah antagonis yang pasti sangat mempengaruhi ekspresinya.
"Terima kasih, Natalie. Aku harap kamu juga bisa berbahagia dengan lelaki pilihanmu," ucap Zenaya.
Natalie mengangguk dan pamit pada Zenaya. Dia pun pergi meninggalkan gadis itu.
Pria pilihanku adalah dia, Zen! Kita lihat saja nanti, akan bertahan sampai kapan senyum kebahagiaanmu itu.
...***...
"Kamu pasti lelah mengantar dan menjemputku setiap hari. Lebih baik mulai besok kamu tidak perlu melakukannya lagi," ujar Zenaya saat dia dan Reagen baru saja tiba di depan gerbang rumah mewah gadis itu.
"Tidak apa-apa, aku hanya tidak ingin kejadian waktu itu terulang lagi," jawab Reagen tersenyum.
"Tidak akan. Kamu bisa lihat sendiri, kan?" Zenaya menatap Reagen lembut. Gadis itu merasa tidak enak jika harus terus merepotkan Reagen, sebab akhir-akhir ini sang kekasih sedang sangat sibuk mempersiapkan pertandingan.
Reagen terdiam sejenak lalu pada akhirnya mengiyakan permintaan Zenaya. "Tetapi di sekolah kamu harus tetap berada di dekatku, mengerti?"
Zenaya mengangguk. Senyum manis terpatri di wajah cantiknya.
"Kalau begitu, aku masuk dulu. Hati-hati di jalan." Zenaya berpamitan dan keluar dari mobil Reagen.
Reagen kemudian memperhatikan Zenaya yang berdiri di depan gerbang rumahnya, menunggu seseorang membukakan pintu gerbang. Sedetik kemudian raut wajah lelaki itu mendadak dingin. Seraya menatap tajam Zenaya, Reagen mencengkeram kuat setir mobilnya sembari berpikir keras.
"Shit!" umpat Reagen sebelum kemudian melangkah keluar dari dalm mobil dan menghampiri Zenaya dengan terburu-buru.
"Rey? Ada apa?" tanya Zenaya saat mendapati Reagen berjalan ke arahnya.
Bukannya memberi jawaban, lelaki itu malah mendekatkan diri pada Zenaya. Wajah Reagen yang selalu minim ekspresi membuat Zenaya tidak menyadari, bahwa dia sebenarnya sedang menahan emosi.
Gerbang besar rumah Zenaya pun terbuka otomatis, dan sebelum gadis itu benar-benar masuk ke dalam, Reagen dengan cepat menarik tangannya dan mengecup dan memagut sedikit bibir lembut Zenaya.
Zenaya jelas terkejut. Gadis itu kontan terpaku dengan bola mata nyaris keluar dari tempatnya.
"Aku ... mencintaimu, Zenaya," ucap Reagen setelah melepaskan ciumannya.
Zenaya masih terdiam. Bibirnya yang baru saja disentuh oleh Reagen mendadak kebas.
Ciuman pertamaku.
"Maaf jika aku lancang," ucap Reagen parau seraya menempelkan dahinya pada dahi Zenaya.
Zenaya mengangguk kaku.
"Aku mencintaimu, Zen." Reagen mengulangi perkataannya lagi.
Zenaya menggigit bibirnya sedikit sambil berkata, "aku juga, Rey."
Sorot mata Reagen berubah. Ada kilatan berbahaya yang sama sekali tidak disadari Zenaya.
"Aku pulang dulu." Tidak ingin berlama-lama berada di sana, Reagen pun bergegas pamit. Namun, tanpa disangka Zenaya menangkap pergelangan tangannya, dan kali ini Reagen lah yang dibuat terkejut sebab Zenaya tiba-tiba mendaratkan sebuah kecupan manis di bibir lelaki itu.
Diam-diam Reagen mengepalkan tangannya.
"Hati-hati di jalan!" Tanpa menunggu respon dari Reagen, Zenaya bergegas melesat masuk ke dalam rumah dengan wajah memerah. Sementara Reagen dengan penuh emosi kembali ke mobilnya sembari menghapus jejak gadis itu di bibirnya.
"Sialan!"
...***...
Leon, Zack, dan Xander tertawa terbahak-bahak selepas menonton video rekaman dari dashcam milik Reagen yang baru saja mereka dapatkan.
Ketiga lelaki itu sama sekali tidak menyangka jika Reagen akan dengan sangat mudah menuruti semua kemauan mereka.
"Ternyata semudah ini menundukkan lelaki seperti Reagen," ujar Leon sinis. Di tangannya terdapat sebuah kunci mobil yang sedari tadi dia mainkan.
"Kira-kira bagaimana reaksi Natalie saat melihat ini ya?" Xander kembali tertawa.
"Dari pada itu, aku lebih penasaran dengan reaksi Zenaya kalau tahu bahwa semua yang Rey tunjukkan semata-mata hanya demi mendapatkan ini kembali!" Sambil memasang senyum licik, Leon mengacungkan kunci mobil mewah yang ada di tangannya.