Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERPISAHAN DI SENJA BANDARA
"Kalian harus baik-baik di sana dan jangan lupakan aku," ujar Adara dengan nada tajam, seolah memberikan peringatan, matanya menatap lurus ke arah Jaka dan Jihan yang tampak berkaca-kaca menatapnya.
Mereka sudah berada di bandara, suasana penuh dengan perasaan haru yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Adara ikut menghantarkan kepergian mereka, meskipun hatinya terasa berat. Jaka dan Jihan akan pergi mengikuti Bima dan Jasmine, yang mendapat tugas kerja di kota lain. Keempatnya adalah keluarga kecil yang selama ini begitu dekat dengannya, tempat berbagi tawa, keluh kesah, dan kebersamaan yang sulit tergantikan.
Kini, kenyataan tak bisa dihindari. Mereka akan benar-benar pergi, meninggalkan ruang kosong di dalam hidup Adara yang entah kapan bisa terisi kembali. Hatinya terasa sesak, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar di hadapan mereka. Suasana bandara semakin memperjelas perpisahan yang akan segera terjadi, suara pengumuman keberangkatan terdengar sayup-sayup di antara hiruk-pikuk orang-orang yang berlalu-lalang.
Jaka dan Jihan masih menatapnya, seolah enggan benar-benar melangkah pergi. Adara tersenyum kecil, meskipun ada luka yang diam-diam mengendap di dadanya. Hari ini, ia harus melepas mereka dengan lapang dada, meski jauh di lubuk hatinya, ia tahu perpisahan ini tidak akan mudah.
Jihan yang sedari tadi tidak berhenti menangis terus merasa ingin memeluk Adara. Matanya yang sembab menatap sahabatnya itu dengan perasaan berat. "Adara, aku tidak akan melupakanmu," ujarnya dengan suara serak, air matanya masih mengalir, membuatnya tampak semakin cengeng.
Bima dan Jasmine hanya tersenyum tipis, ikut merasakan kesedihan yang sama. Mereka cukup tidak rela harus berpisah dengan Adara, seseorang yang selama ini selalu ada dan banyak membantu mereka dalam berbagai hal. Namun, perpisahan kali ini sudah tidak bisa dihindari.
"Diamlah, kau sudah besar, jangan cengeng!" tegas Adara, meskipun ada nada canda yang terselip dalam suaranya. Ia mencoba menguatkan Jihan, meski sebenarnya hatinya pun terasa berat.
Jaka yang sejak tadi hanya diam, sebenarnya juga tengah menahan tangisnya sendiri. Namun, akhirnya ia menyerah pada emosinya dan tanpa ragu langsung menarik Adara ke dalam pelukannya.
"Adara, kau jaga diri baik-baik di sini. Aku tahu hidupmu tidak mudah, tapi kau harus terus kuat," bisiknya lirih.
Adara tertegun. Seketika tubuhnya menegang dalam pelukan Jaka. Walaupun mereka sangat dekat, ini adalah kali pertama Jaka memeluknya. Adara selalu menegaskan bahwa ia tidak suka dipeluk, apalagi oleh seorang laki-laki. Namun, kali ini ia hanya bisa diam. Ada kehangatan dan kesedihan yang membaur di dadanya, membuatnya kehilangan kata-kata.
Angin di sekitar mereka berembus pelan, seolah ikut merasakan haru yang menggantung di antara mereka. Perpisahan ini nyata, dan Adara tahu, setelah hari ini, semuanya tidak akan pernah sama lagi.
Adara menunduk, tertegun dengan perasaan yang sulit ia ungkapkan. Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi ia berusaha menahannya agar tak jatuh. Ia bukan tipe orang yang mudah larut dalam kesedihan, tapi kali ini, ada sesuatu yang terasa begitu berbeda.
"Hm, kau juga harus jaga diri. Tapi sebelumnya, aku memaafkanmu karena kau melanggar peraturan dengan memelukku," ujar Adara, mencoba tetap terdengar biasa saja meskipun suaranya sedikit bergetar. Ia menatap Jaka dengan pandangan yang masih setengah bingung, setengah geli.
Jaka tersenyum kecil, tahu bahwa Adara hanya berusaha menyembunyikan emosinya. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya menatap gadis itu sejenak sebelum akhirnya melepaskan pelukannya.
Kini, giliran Bima dan Jasmine, sepasang suami istri yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri. Mereka adalah sosok orang tua yang selama ini dekat dengannya, memberikan kehangatan yang kadang sulit ia dapatkan dari orang lain.
"Adara!" seru Jasmine, suaranya lembut namun penuh ketulusan. Senyum keibuannya menghangatkan suasana, membuat Adara sedikit lebih tenang.
Adara mengangkat wajahnya, menatap Jasmine dengan mata yang masih berusaha terlihat tegar.
"Apa pun yang terjadi, kau harus menjadi Adara yang kuat dan tegas, seperti yang selalu kukenal," ujar Jasmine, suaranya penuh keyakinan.
Adara terdiam sejenak. Kata-kata itu menyentuh hatinya lebih dalam dari yang ia kira. Selama ini, ia selalu berusaha menjadi pribadi yang tangguh, seseorang yang tidak mudah goyah oleh keadaan. Namun, perpisahan ini terasa lebih berat dari yang ia bayangkan.
Bima menepuk bahunya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata. Ia tahu Adara bukan tipe yang suka berlarut dalam perasaan, tapi di saat seperti ini, bahkan Adara pun tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kesedihannya.
Udara bandara terasa lebih dingin dari sebelumnya, atau mungkin itu hanya perasaan Adara saja. Ia menarik napas dalam, mencoba menyimpan baik-baik kata-kata Jasmine dalam hatinya.
"Dan saat kita bertemu denganmu lagi, kau harus lebih bahagia dari sekarang," sambung Bima, suaranya penuh harapan.
Jasmine tersenyum, lalu menarik Adara ke dalam pelukannya. Pelukan itu cukup erat, seolah ingin menyampaikan semua rasa sayang dan dukungan tanpa perlu banyak kata. Sementara itu, Bima mengelus rambut Adara singkat, sebuah gestur sederhana, tapi mampu menghadirkan kehangatan yang begitu dalam.
Adara terdiam. Di dalam pelukan itu, ia merasakan sesuatu yang selama ini terasa asing baginya—kenyamanan, perlindungan, dan kasih sayang yang tulus. Kehangatan sebuah keluarga yang tak lagi sering ia rasakan. Rasanya menenangkan, tapi juga menyakitkan karena sebentar lagi, mereka akan pergi.
Namun, ia tahu, ia tidak bisa berlarut-larut. Maka, dengan suara yang lebih tegas dari perasaannya sendiri, ia berkata, "Sudah, kalian pergilah!"
Keempatnya mengangguk, lalu melambaikan tangan pada Adara. Mereka melangkah menuju ruang tunggu dengan langkah yang terasa berat, sementara Adara tetap berdiri di tempatnya, menyaksikan punggung mereka yang perlahan menjauh.
Tanpa ia sadari, tangannya ikut melambai, dan senyuman lebar terukir di wajahnya. Senyuman yang terasa aneh—bukan karena ia bahagia, tetapi karena ia ingin mereka pergi dengan tenang.
Saat akhirnya mereka menghilang di balik kerumunan orang-orang yang lalu-lalang, Adara menurunkan tangannya perlahan. Ia menunduk, menghela napas panjang, membiarkan dadanya yang terasa sesak sedikit melonggar.
Pandangan matanya kemudian beralih ke kaca besar transparan di bandara. Di sana, langit biru kemerahan menyambutnya, menandakan matahari yang hampir tenggelam. Pemandangan itu indah, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa kosong.
Hari ini, ia memilih tidak pergi ke kampus demi mengantar mereka ke bandara. Namun, ia sama sekali tidak menyesal. Baginya, momen ini lebih berarti daripada apa pun.
Dengan langkah pelan, Adara mulai berjalan keluar bandara. Udara sore terasa sedikit lebih dingin, atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Ia tahu, saat sampai di rumah nanti, langit sudah benar-benar gelap. Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia akan merasa lebih sepi dari biasanya.