Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SANTI - SOSOK TIDAK BERARTI LAGI?
Kevin mendengus kesal mendengar pembelaan itu. Seperti biasa, kakaknya selalu ada di pihak Adara, seolah tidak pernah melihat kesalahannya. Baginya, semua sudah jelas—Adara adalah sumber dari semua masalah yang menimpa mereka. Namun, dia tidak langsung menjawab, hanya menatap tajam ke arah Davin, menunjukkan ketidaksetujuannya dengan cara yang lebih diam daripada bicara.
"Kakak tidak lupa dengan semua yang dia lakukan? Bahkan yang sekarang sedang dia lakukan?" Kevin melanjutkan, suaranya bergetar penuh emosi. "Dia itu manusia yang tidak manusiawi, kak. Pertama, dia membuat hubunganku dengan Elina hancur. Kedua, karenanya, kesehatan papa menurun. Dan ketiga, yang sekarang dia lakukan, dia mencoba merebut Leon, suami Clarissa. Kau tidak lihat foto yang dikirim oleh Clarissa itu? Itu sudah menjadi bukti yang jelas, kak," ujarnya dengan tegas, menyampaikan seluruh alasan kebenciannya terhadap Adara. Setiap kata keluar dengan penuh kebencian yang semakin menumpuk dalam hatinya.
Davin mendengarnya dengan intens, menatap Kevin dengan penuh perhatian. Tiga alasan yang disampaikan Kevin memang tampak seperti masalah besar yang berkaitan langsung dengan Adara. Memang, mereka semua sudah melihat foto yang dikirim Clarissa—foto yang memperlihatkan Leon berduaan dengan Clarissa, terlihat mesra di taman. Sepertinya, Clarissa berhasil memergokinya, dan itu menjadi bukti yang cukup bagi Kevin untuk semakin membenci Adara.
Kesehatan Arga, ayah mereka, menurun drastis, dan semua itu saling berkaitan, membuatnya semakin lemah hingga harus banyak beristirahat di kamar. Namun, meski melihat semuanya dari luar, Davin merasa ada yang janggal. Cerita ini seakan tidak sepenuhnya seperti yang terlihat, tapi dia memilih diam, membiarkan Kevin mengungkapkan seluruh perasaannya tanpa menyela.
Davin tetap membisu menghadapi adiknya yang keras kepala. Jika ia menanggapi dengan nada tegas, itu hanya akan memperburuk keadaan, seperti menambah api pada kobaran yang sudah menyala. Kevin pun akhirnya ikut terdiam, menyadari bahwa perdebatan ini tak akan menemukan solusi dalam semalam. Dengan tatapan sekilas, Davin melihat Kevin menunduk sendu, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Aku ingin memberitahumu sesuatu," ujar Davin akhirnya, memecah keheningan yang sempat menyelimuti mereka. Suaranya terdengar tenang, namun ada ketegasan di dalamnya.
Kevin meliriknya sekilas, ekspresinya penuh rasa malas. Ia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini, dan itu membuatnya semakin enggan untuk mendengarkan.
"Jika ini tentang Adara lagi, aku malas mendengarnya," sahut Kevin dengan nada datar, lalu membuang muka. Ia kembali menatap kosong ke depan, seolah ingin menghindari percakapan yang baginya hanya akan mengulang hal yang sama tanpa akhir.
Davin menggeleng pelan, tatapannya serius. "Ini bukan tentang Adara," katanya dengan suara rendah namun mengandung ketajaman yang sulit diabaikan. Ia menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, "Ini tentang Mama."
Kevin yang semula enggan mendengarkan langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. Kata itu, "Mama," bergema di kepalanya, membuat pikirannya seketika dipenuhi berbagai kemungkinan.
"Mama?" ulangnya, keningnya berkerut dalam kebingungan. "Maksudmu siapa? Karina atau… sosok lain?" tanyanya, mencoba mencari kepastian, karena ia sendiri tidak yakin kepada siapa Davin sebenarnya mengacu.
"Mama kandung kita," jawab Davin dengan mantap, suaranya terdengar lebih dalam dan serius.
Kevin terdiam seketika. Kata-kata itu seolah menghentikan seluruh pikirannya. Sudah lama sekali ia tidak mendengar siapa pun membicarakan sosok itu, bahkan ia sendiri nyaris melupakannya.
"Kenapa kau membahasnya sekarang?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar serak dan sedikit bergetar. Ada sesuatu di dadanya yang tiba-tiba terasa sesak, perasaan yang entah kenapa mendadak muncul begitu saja.
Davin menghela napas panjang, seolah berusaha menyusun kata-kata yang tepat. Tatapannya tetap tertuju pada Kevin, penuh keseriusan yang sulit diabaikan.
"Aku baru saja mengunjunginya," ucapnya akhirnya, suaranya terdengar tenang, namun mengandung sesuatu yang lebih dalam.
Kevin semakin tertegun. Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar pikirannya. Bagaimana mungkin? Sudah berapa tahun mereka tidak bertemu dengan wanita itu? Bahkan, bagi Kevin, sosok itu sudah terasa begitu asing, seolah hanya bagian dari masa lalu yang tak lagi nyata.
"Kau serius?" gumamnya hampir tak terdengar. Ia menelan ludah, masih berusaha memahami situasi. "Bagaimana bisa? Kenapa kau menemuinya?"
Davin menatapnya lekat-lekat, lalu mengajukan pertanyaan yang membuat Kevin semakin terdiam. "Apa kau tidak merindukannya?"
Kevin membisu. Dadanya terasa sesak, pikirannya berputar-putar mencari jawaban yang bahkan ia sendiri tak yakin memilikinya. Ia tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu bagaimana harus merespons.
Apakah ia merindukan wanita itu? Entahlah. Ia jarang sekali memikirkannya, hampir tidak pernah. Baginya, sosok itu sudah lama menghilang dari kehidupannya. Ditambah dengan semua cerita yang beredar tentang keadaannya yang sudah tidak waras, Kevin semakin menjauhkan pikirannya dari masa lalu itu.
"Entahlah," gumam Kevin, suaranya terdengar datar, seolah enggan membahasnya lebih jauh. "Lagipula, dia juga sudah gila. Dia tidak akan mengenali kita."
Davin yang sejak tadi berusaha tenang, tiba-tiba menoleh cepat. Tatapannya tajam, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Apa kau bilang barusan?" suaranya sedikit meninggi, nadanya dipenuhi emosi yang tertahan. "Gila? Kau bilang ibu kita gila?"
Matanya menatap Kevin lekat-lekat, mencari penjelasan di balik kata-kata yang baru saja diucapkan adiknya. Baginya, ucapan Kevin barusan terdengar terlalu kasar, seolah meremehkan seseorang yang seharusnya mereka hormati.
"Memang kenyataannya begitu, kan, Bang?" ujar Kevin tanpa ragu, suaranya terdengar dingin dan tegas. "Waktu kita meninggalkan Mama di rehabilitasi dulu, dia sudah berteriak-teriak seperti orang gila. Kemungkinan sekarang kondisinya semakin parah, kan?"
Davin menatap Kevin dengan sorot mata tajam, sulit baginya memahami bagaimana adiknya bisa mengucapkan kata-kata itu dengan begitu mudah. Seakan-akan yang mereka bicarakan bukan ibu kandung mereka sendiri.
Kevin, yang menyadari kakaknya hanya diam menatapnya tanpa berkata apa-apa, akhirnya melanjutkan, kali ini suaranya sedikit lebih rendah, tapi tetap penuh rasa penasaran.
"Sekarang aku ingin bertanya padamu, Bang," katanya, menatap Davin lebih serius. "Apa yang dia katakan sewaktu kalian bertemu? Apa dia mengenalimu?"
Kevin menunggu jawaban, meskipun di dalam hatinya, ia sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
Davin menggeleng pelan, ekspresinya sulit dibaca. Melihat reaksi itu, Kevin langsung menyunggingkan senyum sinis. "Sudah aku katakan, dia tidak akan mengenali kita," katanya dengan nada penuh kepastian, seolah ingin menegaskan bahwa ia memang benar sejak awal.
Namun, jawaban Davin berikutnya membuat senyum Kevin memudar seketika.
"Tapi dia mengenali Adara," ucapnya pelan, namun cukup jelas untuk membuat Kevin terdiam. "Mereka sangat dekat."
Hening sesaat. Kevin tidak langsung merespons, hanya membiarkan kata-kata itu mengendap di pikirannya. Lalu, tiba-tiba, dia tertawa. Bukan tawa yang ringan atau ceria, melainkan tawa yang penuh arti, mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—sinis, pahit, dan sedikit mengejek.
"Mereka memang sama saja," gumamnya, senyum tipis masih melekat di wajahnya.
"Kevin!" seru Davin, tidak terima dengan ucapan adiknya.
Kevin menoleh sekilas, tapi tatapannya tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. "Sudahlah, Bang," ujarnya, kali ini dengan nada datar dan acuh. "Aku malas membahas mereka. Masih banyak hal yang lebih penting untuk kupikirkan."
Tanpa menunggu tanggapan, Kevin langsung bangkit berdiri. Langkahnya tegap saat ia beranjak pergi, meninggalkan Davin yang masih duduk terpaku.
Davin hanya bisa menatap kepergian adiknya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia menghela napas berat, seolah mencoba meredakan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya.
Kenapa urusan keluarga mereka serumit ini? Kenapa selalu ada dinding yang semakin tinggi di antara mereka?