Rumah?
Ayra tidak memiliki rumah untuk benar-benar pulang. Rumah yang seharusnya menjadi pelukan hangat justru terasa seperti dinding-dinding dingin yang membelenggunya. Tempat yang semestinya menjadi surga perlindungan malah berubah menjadi neraka sunyi yang mengikis jiwanya.
Siapa sangka, rumah yang katanya tempat terbaik untuk pulang, justru menjadi penjara tanpa jeruji, tempat di mana harapan perlahan sekarat.
Nyatanya, rumah tidak selalu menjadi tempat ternyaman. Kadang, ia lebih mirip badai yang mencabik-cabik hati tanpa belas kasihan.
Ayra harus menanggung luka batin yang menganga, mentalnya hancur seperti kaca yang dihempas ke lantai, dan fisiknya terkikis habis, seakan angin menggempurnya tanpa ampun. Baginya, rumah bukan lagi tempat berteduh, melainkan medan perang di mana keadilan tak pernah berpihak, dan rumah adalah tangan tak terlihat yang paling kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ALASAN MEREKA MEMBENCINYA
“Gue cabut, kalau butuh bantuan hubungi gue.” Adam membereskan alat tulisnya. Setelah itu bangkit dari tempat duduknya dan menatap Ayra.
Mereka berdua memilih mengisi waktu libur sekolah di hari sabtu ini untuk latihan mengerjakan soal, lomba Olimpiade sains Nasional Matematika sudah di depan mata. Tinggal beberapa hari lagi keduanya melawan siswa dari berbagai sekolah.
Perpustakaan Kota menjadi pilihan mereka berdua, bahkan pendamping mereka yaitu Kaito turut hadir dan Kaito juga sudah lebih dulu pamit.
“Iya kak, kak Adam hati-hati.” Ayra tersenyum kecil. Dia masih ingin di sini, boleh kan jika dia istirahat sebentar dari pekerjaan rumahnya?
Adam hanya mengangguk, lalu mulai meninggalkan Ayra bersama tumpukan buku di atas meja. Ayra bahkan kembali fokus pada bukunya, suasana tenang perpustakaan ini membuatnya nyaman.
Ayra melihat ke depan, kerutan pada keningnya terlihat jelas jika dia sepertinya mengingat sesuatu. Detik selanjutnya, dirinya hampir memekik jika saja tidak menyadari tempatnya saat ini.
“Aduh, kok bisa sampai lupa si. Oma dan opa kan mau nginap, kamarnya belum aku beresin lagi,” kepanikan melanda Ayra.
Dengan segera gadis yag terlihat imut itu dengan pakaian santainya mengumpulkan buku-bukunya, segera berlalu dari sana.
“Jangan sampai deh Ayra, jangan sampai oma dan opa sudah tiba dan kamu berakhir menyedihkan lagi.”
Gadis itu bahkan lupa jika ada transportasi umum, kakinya terus saja berlari tanpa mengingat apapun selain rumah. Gadis dengan rambut yang dicepol asal-asalan itu tetap berlari, melupakan jarak rumahnya dengan perpustakaan Kota cukup jauh dan sangat menguras tenaga jika berlari.
“Tidak, tidak lagi ya Tuhan. Kakek, tolong Ayra.”
“Lari yang kecang.”
&&&
“Kemana anak itu? Kenapa kamu yang menyiapkan ini sayang?” Wanita dengan keriput diwajah di makan oleh umur tersenyum hangat kepada cucu perempuannya.
“Ngak tahu oma, mungkin dia keluyuran lagi.” Kaliyah menyiapkan makanan untuk orang tua dari Vynessa.
Kaliyah itu manja, bahkan merebus air saja dia tidak tahu. Lalu, semua makanan yang telah dia tata di meja makan ini apa?
Gadis atau rubah kecill itu, hanya memanaskan saja makanan itu. Makanan yang disantap lahap kedua orang tua itu adalah masakan Ayra tentunya yang semalam tidak disentuh oleh keluarganya akibat mereka memilih makan di luar.
“Masakan kamu memang enak sayang, belajar dari bunda kamu ya?” Tanya pria tua duduk disebelah Kaliyah.
Tanpa ragu Kaliyah mengangguk. “Iya dong opa, bunda kan jago masak. Mana mungkin anaknya ini juga ngak bisa masak,” ucapnya dengan bangga.
“Hahah, kamu benar sekali.”
Wanita tua yang dipanggil oma itu bernama Agista dan yang dipanggil opa itu bernama Kaisar, pasangan paru baya itu adalah orang tua dari Vynessa yang tinggal di Bandung. Hanya sesekali mereka datang berkunjung dan jika berkunjung pastilah menginap.
Langka kaki seseorang mengalihkan perhatian mereka, melihat siapa yang baru saja bergabung.
“O-ma, Op-a.”
Ayra datang dengan nafas terengah-engah, keringat kecil membanjiri wajahnya yang putih jangan lupakan bibirnya yang pucat.
“Wow, dari mana aja lo? Ke luar ngak izin ayah dan bunda dulu, lo mulai seenaknya di rumah ini,” semprot Kaliyah.
“Seenaknya? Anak itu ke luar rumah tanpa izin?” Oma Agista menatap Ayra dengan alis terangkat.
“T-dak kak, oma. A-ku sudah izin kak Verick tadi,” balas Ayra. Nafasnya mulai membaik dan menatap kedua orang tua di depannya.
“Bohong! Lo keluar tanpa izin dari siapa pun,” sentak Kaliyah.
Agista menghampiri Ayra, kemudian berkata. “Kamu itu hanya pembantu di rumah ini, jangan seenaknya saja kamu pergi tanpa izin dari tuan rumah anak sial.”
Ayra tersenyum getir, sorot matanya berkaca-kaca mendengar ucapan Agista. Benar, dia tidak lebih hanya menumpang di rumah ini, tepatnya sebagai seorang pembantu di rumahnya sendiri. Semenyedihkan ini hidupnya.
&&&
Rumah yang mewah itu adalah impian semua orang, dengan dinding yang putih bersih, jendela yag besar dan taman yang rimbun dan luas. Tetapi, siapa sangka jika rumah mewah yang menjadi impian semua orang itu ternyata membawa segudang luka kepada gadis kecil yang tumbuh tanpa peran dari kedua orang tuanya.
“Kapan juga ya bisa ikut bergabung dengan mereka?”
Ayra hanya menatap dari jauh keluarganya yang sedang bercengkrama penuh canda tawa dari si anak bungsu yang menceritakan hal-hal kecil, lalu ada si anak kedua yang selalu menjahili adiknya hingga kesal.
“Apa masih ada kesempatan untuk aku bisa merasakan kebahagian keluarga ini Tuhan?”
Ayra selalu berharap, ayahnya memandangnya dengan kehangatan bukan tatapan yang penuh denan amarah, lalu bundanya bisa memeluknya dan merangkulnya dengan lembut bukan tangan yang selalu menamparnya.
Tetapi, apakah bisa semua harapan itu tercapai? Bisakah harapan itu menjadi nyata walau hanya sekejap? Ayra tidak ingin harapan itu menjadi mimpi yang panjang tanpa ada ujungnya.
Sedangkan di teras rumah, kedua pria yang berbeda generasi itu tengah menikmati udara malam dengan obrolan ringan.
“Apa kau masih sering bermain tangan dengan anak itu?” Tanya Kaisar menatap langit malam yang penuh taburan bintang.
Syan menatap ayah mertuanya itu, lalu menghembuskan nafasnya pelan. “Ya,” jawabnya pelan.
Sejujurnya Kaisar tidak seperti mereka ini, baginya gadis kecil itu hanya pelampiasan rasa sakit atas kejadian yang juga tidak diinginkan oleh anak itu. Kaisar tidak pernah ikut menghakimi Ayra, dia juga tidak bisa melakukan apa-apa untuk anak itu karena Agista.
“Nak, bukankah kalian terlalu kejam? Anak itu bahkan tidak tahu kesalahan apa yang dia perbuat hingga kalian semua menghakiminya seperti ini.”
Syan diam, pikiranya tiba-tiba saja kembali pada hari itu. Anak itu memang tidak melakukan kesalahan, tetapi ibunya meninggalkan dirinya karena ingin melihat cucunya yang baru saja lahir itu.
“Dia tetap salah ayah, bahkan anak-anakku kekurangan kasih sayang dari kakeknya karena anak itu.”
Benar, ayahnya atau Very lebih banyak memberikan perhatian dan kasih sayang kepada Ayra kecil ketimbang dengan ketiga anaknya.
“Dia itu pembunuh! Hingga akhir hayatku pun aku tidak akan pernah mengakuinya sebagai anak kandungku,” tekan Syan tanpa tahu yang menjadi topik perbincangan mereka mendengarnya.
Benar, saat hendak mencari udara segar Ayra keluar rumah melewati pintu samping. Kemudian, saat dirinya hendak melewati teras depan, tanpa diduga ucapan ayah dan opanya membuatnya terhenti.
“Sekeras apapun kau menolaknya dan memutus ikatan dengannya, anak itu tetaplah anak mu Syan. Darah mu mengalir di tubuh anak itu,” timpal Kaisar.
Ucapan Kaisar memang benar, sejauh dan sekeras apapun orang tua atau anak memutus ikatan mereka. Tidak di pungkiri bahawa keduanya memiliki ikatan yang tak bisa dipisahkan, bahkan jarak sejauh apapun itu.
“Tetap saja ayah, anakku hanya ada Rykar, Maverick dan Kaliyah. Tak ada yang lain termasuk anak pembunuh itu.”
Syan tidak tahu jika ucapannya kembali menggores hati Ayra, menyayat luka baru yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh. Bahkan luka goresan yang lainnya saja masih basah, apa Syan sangat membencinya?
Ayra menundukkan kepalanya, bibirnya bergetar menahan tangisannya, bahunya merosot seolah kehilangan energi. Apakah benar dia telah membunuh neneknya? Apakah ini alasan keluarganya membenci dirinya?
Bagaimana dia membunuh neneknya? Kapan kejadian itu? Mengapa kakeknya tidak ikut membencinya jika dia penyebab kematian neneknya?
“A-ku seorang pembunuh?” Lirihnya. Tangan kanannya terkepal, lalu memukul dadanya berulang kali guna mengurangi rasa sesak yang tiba-tiba saja muncul.
Tenggorokan Ayra tercekat, menutup mulutnya agar isakannya tak terdengar. Mengapa tuhan memberinya takdir seperti ini? Apa yang harus dia lakukan? Apa dia juga harus mati seperti neneknya, agar keluarganya merasa puas?
“S-a-kit Tu-h-an hiks-hi-iks...,” isaknya.
“Menyiksanya secara perlahan, hingga kemudian anak itu lenyap dari dunia ini bisa membuatku merasa lega dan puas ayah.”
Ayahnya menginginkan dia mati? Dia tidak sedang bermimpikan?
“Nak, ucapanmu sangat keterlaluan.”
“Tidak ayah, anak sial itu pantas mendapatkan semua ini. Tak ada ampun bagi seorang pembunuh.”
APA YANG AYRA HARUS LAKUKAN?
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK 👣 KALIAN DAN TERIMAKASIH BANYAK KARENA TELAH MAMPIR
FOLLOW JUGA AKUN INSTAGRAM AUTHOR @rossssss_011
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA👋
PAPPAYYY👋👋🫂
thor . . bantu dukung karya chat story ku ya " PUTRI KESAYANGAN RAJA MAFIA "