Hara, gadis perfeksionis yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan itu baru saja mengalami putus cinta dan memutuskan bahwa dirinya tidak akan menjalin hubungan lagi, karena menurutnya itu melelahkan.
Kama, lelaki yang menganggap bahwa komitmen dalam sebuah hubungan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, membuatnya selalu menerapkan friendzone dengan banyak gadis. Dan bertekad tidak akan menjalin hubungan yang serius.
Mereka bertemu dan merasa saling cocok hingga memutuskan bersama dalam ikatan (boy)friendzone. Namun semuanya berubah saat Nael, mantan kekasih Hara memintanya kembali bersama.
Apakah Hara akan tetap dalam (boy)friendzone-nya dengan Kama atau memutuskan kembali pada Nael? Akankah Kama merubah prinsip yang selama ini dia pegang dan memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Hara?Bisakah mereka sama-sama menemukan cinta atau malah berakhir jatuh cinta bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizca Yulianah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baru Sedikit Lebih Dari Permulaan
Beberapa menit sebelumnya...
"Kak Hara ponselnya getar tuh" Lagi-lagi suara Ica membuyarkan lamunan Hara. Dia melihat layar ponselnya.
"Hm?" Hara mengerutkan keningnya melihat nama yang muncul.
Pak Kama calling...
Ada urusan apa lagi Kama menghubunginya? Apa dia ingin meminta maaf untuk sikapnya yang kurang ajar sewaktu Hara meneleponnya tadi? Atau menyesal dan ingin meminta uangnya kembali? Entahlah.
Hara terus memandangi layar ponselnya, menimbang-nimbang apakah worth it untuk mengangkatnya atau lebih baik jika diabaikan saja.
"Kok nggak di angkat kak Hara? Itu Papanya telepon loh. Nanti kak Hara jadi anak durhaka ih kalau nggak mau angkat telepon dari papanya. Aku aja paling seneng kalau papa telepon, langsung buru-buru aku angkat" Ica yang rupanya masih kepo dengan panggilan Hara itu pun memberikan komentarnya.
Tak mampu menahan tawa, Hara pun tergelak mendengar komentar Ica. Kepolosan anak-anak memang tak ada duanya.
"Iya iya ini mau kak Hara angkat teleponnya, Ica nanti bisa diem sebentar nggak?" Jawab Hara.
"Beres kak Hara" Ica mengerlingkan kedua matanya di iringi dengan acungan ibu jempol dan telunjuk yang membentuk simbol ok. "Jangan lupa bilang, maaf ya pa angkat teleponnya lama, lagi ngajarin anak-anak nih. Mama suka gitu soalnya kalau lama nggak angkat telepon dari papa" Lanjutnya polos, membuat Hara semakin tergelak kala mendengar Ica menirukan gaya bicara mamanya.
"Hal..."
"Lo tuh bisa nggak sih bersikap layaknya gadis kampung aja, harusnya lo tuh kayak si Asri. Harga diri kata lo? Emang harga diri bisa bikin lo kaya? Nggak! Lo mau apa? Uang? Emas? Apart? Bilang aja, gue bisa kasih semuanya ke lo"
Tanpa jeda dan tanpa Hara tau alasannya, Kama memberondongnya dengan kata-kata yang Hara sama sekali tidak paham maksudnya.
Kata-kata yang akan membuat siapa saja mendidih. Tidak ada hujan, tidak ada angin, lalu di damprat begitu saja.
Namun bukannya mendidih, Hara malah terngiang kata-kata ibunya.
Si mbah lagi sakit...
Dan entah kenapa suara Kama saat ini terdengar seperti suara si mbah yang sedang sakit. Penuh luapan emosi yang saling bertabrakan, antara sedih, kecewa, marah dan malu. Persis seperti si mbah dengan segala masalahnya tentang ibu.
"Halo?" Hara kembali bertanya setelah Kama terdiam. Namun tak ada jawaban. Hara menajamkan pendengarannya. Lamat-lamat dia mendengar suara sesenggukan di ujung sana.
Pak Kama menangis?
Hara semakin heran di buatnya. Kenapa di tengah masalah hidup Kama, begitulah yang Hara pikirkan, Kama malah menghubunginya? Apa dia tidak punya keluarga untuk berbagi? Atau teman mungkin?
Hara menghela napas perlahan. Masih setia mendengarkan tangis sesenggukan Kama di ujung sana.
Namun entah kenapa rasanya Hara bisa mengerti posisi Kama. Tidak semua masalah bisa di ceritakan pada keluarga. Contohnya dia, Hara tidak pernah bercerita tentang masalah apapun yang dia hadapi kepada ibu bapaknya. Dia merasa canggung melakukan hal itu. Dan nyatanya Hara lebih nyaman bercerita kepada Sinta, yang tidak terlalu dekat dengannya. Tapi apakah Kama fakir teman, sampai harus menghubunginya saat dia menangis?
Hara mengedikkan bahunya, setiap orang punya alasan atas semua tindakan yang mereka ambil. Termasuk Kama.
Wait? Ada orang sepositif Hara?
"Shit!" Hara terkesiap mendengar umpatan Kama. Bukan karena dirinya sedang diumpat setelah dengan pikiran positif mendengarkan curhatan dadakan dari Kama, bukan, bukan karena itu.
Melainkan karena Hara tau, umpatan itu seperti di tujukan lebih kepada diri Kama sendiri. "Gue pengen mati aja" Kali ini suara Kama semakin mengecil dan kemudian sambungan telepon yang terputus semakin membuat Hara bingung.
"Halo? Halo?" Hara berusaha memanggil Kama berulang kali, tapi terlambat. Sambungan telepon mereka telah berakhir.
Wajah Hara pias. Pikirannya langsung bergejolak penuh kekhawatiran.
Mengkhawatirkan Kama? Tentu saja tidak.
Hubungan mereka tidak berada di tahap saling mengkhawatirkan satu sama lain. Seperti yang Hara katakan, setiap orang pasti punya alasan atas semua tindakan yang mereka lakukan.
Dan kekhawatiran Hara lebih berdasarkan kepada dirinya sendiri, kalau terjadi sesuatu dengan Kama, maka dirinya akan ikut terseret, mengingat pasti nomor ponselnya berada di deretan panggilan keluar Kama baru-baru ini.
Dan jika berurusan dengan kematian, pembunuhan, bunuh diri atau hal semacamnya, maka bukan tidak mungkin Hara harus menjadi saksi atau skenario terburuk yaitu tersangka. Bukannya terlalu overthinking, tapi apapun bisa terjadi bukan?
TIDAK
Hara tidak siap dengan adegan drama semacam itu di dalam hidupnya. Cita-citanya untuk menjadi orang normal biasa yang hidup berkecukupan-kalau boleh sih kaya raya-akan ternodai dengan kejadian malam ini.
"Kak Hara kenapa? Di marahin papanya ya?" Ica yang rupanya punya rasa penasaran yang tinggi itu masih duduk di depan Hara, sesuai perintah Hara tadi, diam. "Kak Hara sih ngangkatnya lama, nanti di kutuk jadi malin kundang loh" Komentarnya kemudian.
Hara sedang tidak ingin meladeni celotehan lucu Ica, pikirannya kalut. Membayangkan cita-cita yang sudah di raihnya akan berantakan begitu saja.
"Telepon lagi aja kak papanya, bilang 'papa sayang mama minta maaf ya'" Ica kembali menirukan gaya bicara mamanya. "Eh tapi kan kak Hara bukan mama pak Kama ya? Kak Hara kan anaknya" Ica malah bingung sendiri dengan solusi yang dia tawarkan.
"Gak tau deh" Ica akhirnya menyerah. "Ica nggak pernah minta maaf ke papa soalnya, abisnya selalu papa yang minta maaf ke Ica meski Ica yang salah hihihi" Ica terkekeh sendiri sambil menutup mulutnya.
"Ica, bisa minta tolong kamu koreksi juga pr temen-temen? Ini buku kamu" Hara menyodorkan buku milik Ica. "Kak Hara sudah periksa dan betul semua, jadi kamu koreksi pr temen-temen berdasarkan buku kamu ya, besok kak Hara traktir es krim deh. Kak Hara mau pulang buat telepon papa Kama dulu" Lanjutnya buru-buru.
"Beres kak Hara, Ica kan calon guru" Ica kembali mengacungkan jempol dan telunjuknya ke arah Hara.
Dengan tergesa-gesa Hara segera pulang.
"Ayo anak-anak duduk yang rapi, bu guru Ica mau koreksi pr kalian nih" Teriak Ica yang masih bisa di dengar Hara di kejauhan yang di sambut dengan teriakan "Huuuuuu" yang kompak dari teman-temannya yang lain.
Mendengar celotehan Ica mau tak mau membuat Hara tersenyum. Anak-anak.
Eh, tapi rasa-rasanya ada yang salah tadi.
...****************...
Kama berdehem beberapa kali untuk menghilangkan rasa gugupnya, bukan tanpa sebab. Pembicaraan terakhir mereka bisa di katakan buruk-atau sangat buruk?-yang jelas ini bukan pertanda baik bagi Kama.
Firasatnya mengatakan mungkin saja Hara menelepon untuk melanjutkan pembicaraan terakhir mereka terkait harga diri. Whatever! Apapun itu Kama sudah siap.
"Ya?" Kama membuat suaranya terdengar malas-malasan dan kasar. Namun setelah lama di tunggu, tak ada jawaban apapun dari Hara.
Hanya terdengar suara-suara latar seperti jalanan, lalu derit besi yang di tarik, sepertinya pagar yang sedang di buka, lalu menutup kembali, dan kemudian suara gema langkah kaki.
Kama menggelengkan kepalanya, mengusir bayangannya tentang Hara yang mungkin saja sedang pergi menuju suatu tempat.
Kepencet?
Kama bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Jantungnya semakin tak aman. Bertalu-talu seakan berlomba dengan kumbang gajah yang saat ini menari-nari di perutnya.
"Res..." Kama mulai mengumpat, berbarengan dengan suara Hara yang berbicara.
"Oh udah nyambung ya?" Kali ini kata-kata Hara lebih kepada dirinya sendiri.
Sudah nyambung?
Apa itu artinya Hara memang berniat meneleponnya? Kama semakin di buat bingung.
"Pak Kama baik-baik aja?" Suara Hara terdengar ragu-ragu.
What the fucking hell
Kama mengernyitkan keningnya, ada apa ini, kenapa Hara malah menanyakan keadaanya? Bukankah dia yang menghubungi lebih dulu?
Kama yang masih berusaha menarik benang merah kejadian ini pun tidak bisa menjawab apa-apa.
"Pak Kama lagi dimana?" Kali ini suara Hara terdengar menuntut penuh kekhawatiran.
Membuat Kama semakin bertambah bingung. Hara mengkhawatirkannya? Kenapa? Bagaimana bisa?
"Pak Kama lagi sama siapa?" Pertanyaan Hara yang terus mencecarnya itu tidak bisa dia jawab.
"Pak? Halo? Halo? Udah nyambung kok? Jangan-jangan beneran udah mati nih orang" Suara Hara semakin diliputi kekalutan, tapi bukannya membuat Kama risih, malah sikap Hara yang mengkhawatirkannya membuatnya semakin rileks dan tenang. Ketenangan yang dia cari di tengah-tengah hidupnya yang kacau.
"Telepon polisi nggak ya? Berapa ya nomor telepon polsek? Eh tapi kan Kama juga polisi ya" Suara panik Hara mau tak mau membuatnya tersenyum sendiri.
Ternyata gadis kampung yang angkuh, sombong, buta dengan harga diri setinggi langit itu lucu juga saat sedang khawatir.
"Halo Pak Kama? Haloooooo!!" Kali ini Hara berteriak kencang. Membuat Kama menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Iya iya gue belum budek, nggak usah teriak-teriak" Balas Kama bersungut-sungut. Kenapa dia malah menjawab dengan marah? Hah! perasaan aneh ini membuat Kama tidak tenang. Sebentar senang, sebentar damai, dan sekarang malah marah.
"Alhamdulillah belum mati" Suara Hara terlihat sangat lega dengan hembusan napas panjang.
"Mati? Maksudnya apa nih?" Kama mendidih mendengar kata-kata Hara. "Lo nyumpahin gue mati?"
Hara lucu? Dia tarik kembali kata-katanya.
"Terima kasih masih berpikir jernih, jangan buru-buru mati, pembicaraan kita saya rekam ya pak sebagai bukti. Terima kasih, selamat malam, sehat selalu, jangan punya pikiran buat mati dulu" Hara tidak memberikan jawaban malah menyemburkan kata-kata yang tidak dia pahami maksudnya dan kemudian menutup panggilannya begitu saja. Bahkan tanpa basa basi.
"Brengsek" Kama melempar ponselnya ke jok di samping kemudi. "Nggak jelas banget tuh cewek, dia yang telepon, dia yang khawatir tapi terus nyumpahin gue mati" Rutuknya kesal.
Suasana hatinya memang sedang kesal saat ini, tapi anehnya Kama justru merasa jauh lebih baik dan lebih tenang di banding kemarahan yang tadi. Emosi yang sama tapi memiliki efek yang berbeda.
"Cuma pekara duit sa pek ceng(tiga ratus) aja sampek nyumpah-nyumpahin orang mati" Kama masih saja menggerutu sembari tangannya menekan tombol start untuk menyalakan mesin mobilnya.
"Untung aja gue cuma tertarik sesaat sama tuh cewek" Lanjutnya dan kemudian melirik ke arah spion untuk memeriksa lalu lintas dan kemudian menyalakan lampu sein dan lantas melajukan mobilnya setelah memastikan semua aman.
...****************...
Hara merebahkan tubuhnya di kasur setelah mematikan sambungan teleponnya. Jantungnya kini sudah berdetak dengan normal.
Skenario-skenario awan mendung gelap yang tadi berputar-putar di kepalanya, kini seakan menguap hilang berganti dengan datangnya hembusan angin sejuk serasa di pegunungan.
Hara yang terbiasa menyusun segala hal di pikirannya, langsung membuat skenario aneh-tapi baginya masuk akal- begitu mendapat panggilan dari Kama dan keinginannya untuk mati saja.
Kama seorang polisi, jika dia mati, maka rekan-rekannya sesama polisi pasti akan menyelidiki secara menyeluruh. Bukan tidak mungkin pertemuannya dengan Kama di pengadilan juga akan terungkap, lalu merembet ke amplop surat berisi uang tiga ratus ribu, dan panggilan Hara yang terdengar seperti sedang bertengkar dengannya, lalu panggilan dari Kama yang menyemburkan kata-kata aneh namun menyakitkan hati, dan kemudian keinginan Kama yang ingin mati.
Hara bergidik mengusir semua gambaran ala drama dari kepalanya.
"Yang penting gue udah punya bukti kalau dia masih idup pas terakhir gue telepon, dan gue juga ngucapin kata-kata yang baik, menyemangati juga ngedoain dia sehat selalu. Seenggaknya kalau dia mati, bukan gue suspect-nya" Hara membalikkan badannya ke posisi tengkurap.
Meraih bantal di hadapannya dan menyangga kepala hingga sebagian dadanya. Kembali menghirup napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Jauh-jauh deh berurusan sama polisi, gue anggep duit tadi sebagai bayaran curhat dadakannya" Gumam Hara dengan mata terpejam, mendadak saja rasa kantuk menyerangnya.
"Tapi kenapa tadi dia kedengeran putus asa banget ya? Kan gue jadi kasihan" Lanjutnya bergumam dengan kondisi setengah terlelap, antara sadar dan tidak dengan apa yang di ucapkannya.
...****************...
Mobil Kama melaju memasuki area parkir basement apartemennya. Nomor 1409. Senada dengan nomor unit apartemen miliknya.
Dirinya masih kesal dengan Hara, tapi yang aneh, semua gelagatnya tidak menunjukkan sama sekali bentuk wajah orang yang sedang kesal.
Dengan bersiul dan langkah yang enteng, dia meninggalkan area parkir menuju lift. Mengeluarkan key card-nya dan menempelkannya di lift indicator.
Segera setelah pintu lift terbuka, dia menekan lantai tempat apartemennya berada.
"Bikin mood gue rusak aja tuh cewek" Gerutunya kesal, tapi sangat kontras dengan senyum yang sedari tadi menguar dari bibirnya.
"Ehem" Kama berdehem dan merilekskan bahunya. Berusaha menjaga ekspresinya namun gagal. Matanya terus saja mengeluarkan binar bahagia.
"Apaan coba, kenal nggak, deket nggak, nyumpahin mati pula" Terus saja bibirnya mengeluarkan omelan-omelan yang seharusnya berisi nada kesal, namun, serius, siapapun yang mendengarnya pasti akan yakin seratus persen bahwa itu adalah nada kebahagiaan bercampur kelegaan.
Dia mengeluarkan ponselnya, ingin sekali lagi melihat log panggilannya. Memastikan bahwa memang nama Hara lah yang tadi meneleponnya dengan penuh kekhawatiran.
Ting
Suara pintu lift yang terbuka membuatnya mengalihkan pandangan dari layar ponselnya sejenak. Kembali menyimpannya di saku celana.
Kama keluar dari lift, kemudian berjalan menyusuri lorong apartemen yang hanya berisikan dua unit di setiap lantainya.
Setelah menempelkan key card miliknya ke kunci pintu otomatis, dia membuka pintunya dengan cepat dan masuk ke dalam.
Dengan tergesa-gesa melepas sepatunya, membiarkannya tergeletak di depan pintu begitu saja, kemudian berjalan menuju ke arah sofa, meletakkan kunci mobil di nakas yang ada di dekatnya, melepas jaketnya dan asal melemparnya ke arah sembarang.
Lalu melenggang santai menuju arah dapur, membuka kulkas side by side berukuran besar, untuk kemudian mengambil sebotol air mineral dingin.
Masih dengan terburu-buru, dia mengupas plastik segel yang membelit tutup botolnya, membuangnya dan membiarkan sampahnya terserak di bawah kakinya. Dan dalam sekali putar, tutup botol itu juga ikut bernasib sama seperti segel plastik yang ada di lantai.
Sebelum meminum airnya, dia kembali mengambil ponsel yang tadi dia masukkan kedalam saku celana.
Tangannya cekatan menyentuh layar datar di ponselnya sembari dia meminum air dengan tangan yang satunya.
Log panggilan :
Masuk: Hara 21.03
Keluar: Hara 20.55
Brruuuhhhhh!!!
Kama menyemburkan air yang baru saja masuk ke dalam mulutnya demi melihat kenyataan yang tersaji di hadapannya.
Gue yang telepon dia duluan?!?!
Syoknya dengan mata melotot serta batuk-batuk akibat tersedak air. Botol air yang tadi di pegangnya kini sudah meluncur mulus, jatuh dan menumpahkan segala isinya. Membuat sebuah pulau besar di lantai yang terbuat dari air.
Bangsat, brengsek, uanjing
Kama memaki dirinya sendiri, bukan karena kenyataan dirinya duluan lah yang menelepon Hara, melainkan karena dia tidak ingat sama sekali kalau dia telah menelepon Hara, pun dengan apa yang terlontar dari mulutnya.
Kama panik, wajahnya pias, berusaha mengingat-ingat kembali percakapan mereka sebelumnya, tapi nihil, bagian otak Kama yang bertugas menyimpan memori seolah tidak menemukan file tentang percakapannya dengan Hara.
Penyakit sialan
kasih kesempatan sama Kama dong,buat taklukkin Hara😁😁
menjaga pujaan hati jangan sampai di bawa lari cowok lain🤣🤣🤣
Nggak kuat aku lihat Kama tersiksa sama Hara🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
aku bakalan nungguin kamu yang bucin duluan sama Hara😁😁😁
tiba-tiba banget Pak Polici kirim buket bunga pagi' 😁😁😁😁😁
tapi kenapa tiba-tiba Hara telp ya????