Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Rafael mulai berubah. Perlahan, sikap dinginnya melunak. Diana, yang selama ini berusaha mendekati dan memahami Rafael, mulai melihat sisi lain dari pria itu. Perhatian dan kelembutan yang dulu ia harapkan akhirnya datang, meski terasa terlambat.
Malam itu, Rafael membawakan segelas teh hangat untuk Diana yang duduk termenung di ruang tamu.
"Tehnya diminum. Kamu kelihatan capek," ucap Rafael singkat, namun suaranya lebih lembut dari biasanya.
Diana menoleh, menatap Rafael dengan tatapan kosong. "Kamu berubah," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Rafael hanya menatapnya sejenak, lalu duduk di sofa berseberangan tanpa berkata apa-apa.
Hati Diana bergejolak. Perhatian kecil dari Rafael membuatnya teringat sesuatu yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Seketika ia teringat pria asing dari aplikasi kencan yang kini sering mengisi hari-harinya. Pria yang selalu ada ketika Rafael mengabaikannya.
"Kalau saja dulu kamu begini..." gumam Diana lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. Ia menggigit bibirnya, menahan emosi yang bercampur aduk di dadanya.
Rafael menatapnya dengan kening berkerut, tak sepenuhnya menangkap apa yang Diana katakan. "Kamu bilang apa?" tanyanya.
Diana menggeleng cepat. "Nggak ada, Mas. Cuma capek aja," jawabnya, mencoba menutupi kerisauan dalam suaranya.
Namun, di dalam hatinya, Diana berbicara lebih jauh. "Kalau dulu kamu bersikap seperti ini, mungkin aku nggak akan merasa kesepian... mungkin aku nggak akan pernah bermain api dengan pria lain."
Diana meremas ujung selimut di pangkuannya. Kelembutan Rafael saat ini justru menyakitinya. Semuanya terasa sia-sia. Ia merasa terlambat menyadari betapa ia masih menginginkan perhatian ini dari Rafael bukan dari orang lain.
Tapi, kenyataan terlalu rumit. Pria dari aplikasi itu kini telah menjadi pelariannya, tempat di mana ia merasa diperhatikan dan dimengerti. Sementara Rafael, yang baru mulai berubah, hanya membuatnya merasa semakin bersalah.
Diana menatap teh di hadapannya tanpa minat. Pikirannya penuh dengan kebingungan dan penyesalan yang tak bisa ia utarakan. Sementara Rafael hanya duduk diam, tak menyadari badai yang bergemuruh di hati istrinya.
Rasa bersalah Diana hanya bertahan sesaat. Setelah malam itu, perhatian kecil dari Rafael tidak lagi mampu menghentikan langkahnya. Hubungan dengan pria yang dikenalnya dari aplikasi semakin dalam. Diana merasa nyaman, seolah menemukan kebebasan yang selama ini ia rindukan.
Ketika Rafael sibuk bekerja, Diana mulai berani membawa pria itu ke rumah. Awalnya hanya untuk sekadar berbicara, tapi semakin lama, keberanian Diana kian menjadi. Rumah yang seharusnya menjadi tempat kehangatan bersama suaminya, kini justru menjadi saksi permainan api yang ia lakukan di belakang Rafael.
Suatu siang, Diana duduk di sofa sambil tertawa kecil bersama pria tersebut. Suasana begitu santai, seolah-olah rumah itu milik mereka berdua. Lupa akan perasaan bersalah, Diana justru menikmati kebersamaan itu.
"Kamu yakin suamimu nggak bakal pulang?" tanya pria itu sambil menatap Diana, sedikit ragu.
Diana tersenyum tipis, penuh keyakinan. "Dia nggak akan pulang secepat itu. Rafael selalu sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan kadang aku berpikir dia lupa kalau aku ada."
Ucapan itu disambut dengan anggukan santai dari pria tersebut. Diana tahu ini salah, tapi dalam hatinya, ia merasa seperti hidup kembali. Setiap senyum dan perhatian dari pria itu membuatnya merasa diinginkan sesuatu yang tak lagi ia rasakan selama bersama Rafael.
Namun di sisi lain, tanpa sepengetahuan Diana, seorang tetangga yang kebetulan lewat mulai merasa curiga. Kunjungan pria asing ke rumah itu bukan hanya sekali. Kabar itu mulai menyebar secara perlahan, meski belum sampai ke telinga Rafael.
Rafael, yang tak curiga sama sekali, masih sibuk dengan pekerjaannya. Pria itu tak pernah tahu bahwa rumahnya kini menyimpan rahasia yang bisa menghancurkan segalanya. Diana, sementara itu, terus bermain api tanpa menyadari bahwa setiap kebohongannya bisa terbongkar kapan saja.
Di dalam hatinya, Diana membenarkan tindakannya. "Kalau saja Rafael lebih cepat berubah... kalau saja dia dulu peduli padaku, aku nggak akan begini," pikirnya berulang kali. Namun jauh di lubuk hatinya, Diana tahu ia hanya mencari pembenaran untuk kesalahannya.
Tetangga itu, yang semakin curiga dengan kehadiran pria asing di rumah Diana, akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Diana, yang tidak menduga akan ada yang datang, terkejut saat mendengar ketukan di pintu.
Dengan cepat, dia menyuruh pria yang sedang bersamanya untuk bersembunyi di belakang sofa, berusaha menenangkan dirinya agar tidak ketahuan. Diana membuka pintu dengan senyum ceria, berusaha terlihat santai.
"Ada apa, Bu?" tanyanya dengan suara lembut.
Tetangga itu menatapnya dengan sedikit bingung namun tetap bertanya, "Maaf, saya hanya ingin memastikan. Siapa pria yang tadi saya lihat di rumahmu?"
Diana tersenyum, mencoba terlihat tidak cemas. "Oh, dia sepupunya Rafael, kok. Sedang berkunjung sebentar," jawab Diana dengan percaya diri. "Dia datang ke sini karena kebetulan sedang di kota. Tidak apa-apa, kan?"
Tetangga itu terdiam sesaat, mungkin sedikit ragu dengan penjelasan Diana, tapi dia tidak mendalami lebih lanjut. "Oh, begitu. Tidak masalah, sih. Hanya saja, saya kira Rafael tidak punya saudara di sini," kata tetangga itu, masih sedikit bingung.
Diana tersenyum lebih lebar, mencoba meyakinkan. "Iya, mereka memang jarang bertemu. Kalau ada apa-apa, pasti Rafael yang lebih tahu. Terima kasih, Bu."
Dengan ragu, tetangga itu akhirnya mengangguk dan berpaling. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih," katanya, lalu pergi meninggalkan rumah Diana.
Diana menutup pintu dan kembali ke ruang tamu, menghela napas panjang. Dia tahu dia baru saja berhasil melewati salah satu ujian besar. Rasa cemas itu mulai hilang seiring dengan keyakinannya bahwa dia bisa menutupi segala sesuatunya dengan cerdik.
Namun, meskipun dia berhasil menepis kecurigaan sementara itu, Diana tahu bahwa kebohongannya tak akan bertahan selamanya. Rasa aman yang ia rasakan saat ini hanya sementara. Di dalam hatinya, dia merasa sedikit bersalah, namun kebersamaannya dengan pria itu lebih mendominasi pikirannya.
Hari Minggu yang cerah itu, Rafael memutuskan untuk bersantai di halaman rumah, menikmati udara segar setelah beberapa hari yang sibuk dengan pekerjaan. Dia duduk di kursi taman, menikmati secangkir kopi sambil membaca beberapa berkas. Tiba-tiba, dia mendengar langkah seseorang mendekat.
Ternyata, itu adalah tetangga yang beberapa waktu lalu sempat menanyakan tentang pria yang sering berkunjung ke rumahnya. Tetangga itu terlihat agak cemas, namun juga penasaran, seolah ingin memastikan sesuatu. Rafael menatapnya dengan tatapan bingung, karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Maaf mengganggu, Pak Rafael," ujar tetangga itu dengan hati-hati, "Saya cuma ingin tanya. Ada sesuatu yang membuat saya agak penasaran."
Rafael menurunkan berkas di tangannya dan menatap tetangga itu dengan penuh perhatian. "Ada apa, Bu? Apa yang bisa saya bantu?"
Tetangga itu tampak ragu sejenak, lalu akhirnya bertanya dengan hati-hati, "Itu... pria yang sering datang ke rumahmu, yang waktu itu saya lihat... Dia bilang dia sepupumu. Benarkah?"
Rafael mengernyitkan dahi, merasa bingung. "Sepupu? Tidak ada sepupuku yang datang ke rumah minggu lalu."
Tetangga itu mulai menjelaskan, "Oh, begitu. Jadi, kalau begitu... siapa sebenarnya dia? Karena saya lihat dia sudah beberapa kali datang ke rumah, dan dia bilang dia sepupumu."
Kecurigaan di mata tetangga itu jelas terlihat, dan dia melanjutkan, "Dia sangat sering datang, dan saya sempat bertanya kepada istrimu, Diana, dan dia bilang itu sepupumu. Tapi, apakah benar begitu?"
Setiap kata yang keluar dari mulut tetangga itu membuat hati Rafael terasa berat. Wajahnya mulai berubah serius, matanya berkerut, dan dia merasa ada yang tidak beres. "Apa yang sebenarnya kamu maksud?" tanyanya pelan, mencoba menahan rasa gelisah yang mulai merayapi dirinya.
Tetangga itu menelan ludah sebelum melanjutkan, "Saya hanya merasa ada yang aneh, Pak Rafael. Saya melihat pria itu di rumah, dan... entah kenapa, saya merasa ada sesuatu yang tidak sesuai."
Rafael mulai merasakan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Perasaan itu datang perlahan, seolah ada sesuatu yang terlambat untuk disadari. Hatinya mulai terasa kosong, dan semua perhatian yang telah ia berikan pada Diana rasanya seperti sia-sia.
"Terima kasih atas informasinya," kata Rafael dengan suara datar, berusaha menahan gejolak di dalam dirinya. "Saya akan memikirkannya."
Tetangga itu pun akhirnya pergi, namun perasaan yang ditinggalkan sangat berat di hati Rafael.
Setelah tetangga itu pergi, Rafael hanya duduk diam. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja diterimanya. Semua kecurigaannya mulai terjawab, dan rasa kecewa yang luar biasa muncul dalam dirinya.
"Diana..." gumamnya pelan, matanya menatap kosong ke depan. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Rafael merasa seperti sedang dihantam oleh kenyataan yang tak terduga. Semua yang selama ini ia anggap baik-baik saja, tiba-tiba berubah menjadi serpihan-serpihan yang tak bisa ia kumpulkan lagi. Hati Rafael mulai hancur perlahan.