NovelToon NovelToon
DEVANNA

DEVANNA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Kehidupan di Kantor / Identitas Tersembunyi / Office Romance
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Evrensya

Devan Artyom. Dimana lagi kamu bisa menemukan seorang CEO green flag yang tidak suka main wanita, gila kerja demi memajukan bisnisnya, memiliki hati yang begitu murni, si pemilik mata biru yang tampan, dengan karakter yang tegas penuh prinsip, dan juga sangat mencintai seorang wanita berstatus sosial rendah namun tak biasa.

Anna Isadora B. Seorang wanita dengan rambut emasnya, si pemilik otak genius, tidak pernah mengenal satu lelaki pun dalam hidupnya, hidup dalam tempaan seorang Ibu yang kejam. Yang membentuk karakternya menjadi seseorang yang sangat lugu sekaligus berbahaya.

DEVANNA. Adalah sepasang anak manusia dengan kisah cintanya yang menggetarkan jiwa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

You Are My Partner

"Apakah perhatian secara khusus yang aku berikan padamu membuatmu dilema, antara harus mempercayai kemungkinan aku yang tertarik padamu ataukah harus mengakui dirimu yang mulai nyaman denganku?" Devan semakin memperjelas apa yang bisa dia baca dari tatapan mata wanita yang tak berkedip di depannya.

Anna menanggapi ucapan Devan dengan senyuman kecut lalu memutar bola matanya asal. Bisa-bisanya pria di depannya ini mengucapkan kalimat seperti itu dengan penuh percaya diri dan juga nampak begitu yakin, seolah memang benar Anna nyaman padanya. Dan juga, mana mungkin Anna mempercayai bahwa Devan tertarik padanya, meskipun dalam beberapa situasi Devan sendiri yang seolah memperlihatkan dengan jelas kebenarannya, tapi meskipun begitu, Anna tetap akan menutup mata dan menolak mengakuinya.

Melihat reaksi Anna yang enggan mengakui kebenaran di dalam hatinya, pria itupun semakin menjejali Anna dengan sebuah sentilan kecil. "Seorang Boss yang tertarik dengan karyawannya sendiri, apa itu terdengar tidak normal bagimu? atau sebaliknya, seorang karyawan yang jatuh hati kepada Boss nya, itu kan hal yang biasa. Lalu bagian mana yang begitu mengganggu rasionalitas mu, Nona Anna Isadora?" tanya pria itu kembali dengan setengah berbisik mendekati daun telinga Anna.

Anna refleks menghindar dan dari balik mata Anna yang sedikit kosong, pandangannya nanar menerima pendar cahaya biru dari bola mata Devan yang warnanya begitu tajam menyorot kepadanya—hendak menerobos masuk ke dalam ruang jiwanya, seolah ingin menyelindap jauh menyusuri lorong hatinya yang gelap. Meski begitu, Anna masih tidak mau mengakui apapun. "Tidak! anda salah. Saya hanya merasa terganggu dengan pertanyaan—mengapa seorang Boss seperti anda buang-buang waktu mengurus hal-hal yang tidak berguna dengan saya?!"

"Tidak berguna ya? Anna, kau! adalah hal yang sangat menyenangkan bagiku." Tunjuk Devan yang masih enggan menerima alasan mengapa Anna mendadak ingin menghindarinya dan bersikap dingin kepadanya. Apakah ucapan Revy tadi itu benar-benar merobek harga diri wanita di depannya ini?

"Boss, jika alasan anda bersikap baik penuh perhatian kepada saya adalah untuk bersenang-senang, maaf tapi harus saya katakan bahwa anda sudah melakukannya terlalu jauh. Tolong berhentilah! saya bukan badut penghibur yang pekerjaannya adalah untuk menyenangkan orang-orang besar seperti anda. Iya, saya tidak menampik bahwa anda beberapa kali telah menolong saya dalam situasi yang sulit, namun saya berjanji akan membalasnya dengan sesuatu yang setimpal. Tapi lain kali saya memohon pada anda, tolong jangan melakukannya lagi, bahkan jika saya mati terlindas mobil di depan anda, jangan pernah menengok kearah saya kembali!" Suara Anna terdengar bergetar dan menggebu. Dadanya nampak naik turun menahan nafas yang di sertai emosi yang membuncah di dalam sana.

Devan pun menghela nafas berat yang juga terasa begitu sesak, sebab ucapan Anna yang begitu giris mengiris tajam sekeping hatinya yang tulus. "Anna, ucapanmu teramat tajam, melebihi pedang dan mampu merobek hati orang yang mendengarnya, lidahmu sungguh lihai seperti orang yang tak berperasaan."

"Lalu, apa yang anda harapkan dari seseorang seperti saya? apakah sebuah ketundukan yang bahkan siap menjilat telapak kaki anda demi kesenangan anda?!" nada suara Anna yang masih bergetar terdengar nyaring.

Kepala Devan mendadak pening, ia memejamkan mata sesaat. "Anna, apakah seperti itu kau memandangku? mengapa tiba-tiba kau berkata seperti ini? apa kau marah karena reaksiku yang diam saja membiarkan Revy mengatakan banyak hal-hal buruk tentang mu? aku bukannya—"

"Boss!" potong Anna disertai senyuman kecil saja namun nampak begitu pedih, ia mencegah Devan untuk menjelaskan perihal tersebut lebih jauh.

"Sekali lagi, ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masalah pribadi. Bukan karna ucapan siapapun yang membuat perubahan sikap saya menjadi seperti ini. Hanya saja sebagai manusia yang berakal sehat, sudah seharusnya saya menyadari posisi saya disini, dan tau cara menempatkan diri dalam dunia kerja. Bukankah anda pernah mengkritik saya soal keprofesionalan kerja? jadi saat ini saya sedang menjalankannya, tapi reaksi anda malah tidak bagus. Satu hal lagi yang harus saya perjelas, bahwa saya tidak ingin mengambil keuntungan dari kebaikan anda ataupun mencari kesempatan di balik celah suatu masalah yang menimpa anda secara pribadi. Saya juga tidak mau menikmati kesenangan bersama seseorang yang sudah bertunangan dengan alasan apapun!" Anna bersuara sedikit lantang setengah bergetar, sembari memperlihatkan muka murungnya yang di tingkahi ucapan bernada sinis.

Tangan Devan sampai bergetar mendengar kalimat yang di ungkapkan oleh Anna. "Anna... kau terlalu banyak berkata-kata sampai kau tidak menyadari bahwa matamu menyiratkan makna yang sebaliknya. Sorot matamu yang menatapku dengan sepenuh hati, seolah sedang mengatakan dengan terang benderang kepadaku kalau semua yang di ucapkan oleh lidahmu adalah kebohongan," bisik Devan dengan kepala sedikit di tekuk mendekati wajah Anna, ujung matanya mendadak terasa berair, perih.

"Cukup!" desah Anna dengan dengan nada agak lirih seperti memohon dengan sangat, bahkan suaranya nyaris tak terdengar di ringkus oleh suara kursi yang berderit paksa di dorong ke belakang oleh si cupu yang kini wajahnya bersemu merah. Dan ketika Anna bersiap untuk pergi, tangan Devan langsung menahannya.

"Anna, jangan berpura-pura tidak mengerti maksud dan tujuanku, setelah semua yang aku ungkapkan secara nyata dan juga lakukan dengan sungguh-sungguh selama beberapa hari ini di hadapanmu, apakah itu tidak memiliki makna sama sekali bagimu?" kali ini Devan yang sedikit memelas.

"Saya tidak bisa meyakini apapun dalam pertemuan yang singkat ini, memangnya makna apa yang bisa saya ambil dalam hitungan hari? antara anda dan saya tidak ada masalah pribadi yang patut di bicarakan, jadi tolong jangan berlebihan. Saya merasa tidak nyaman." Merasa nyaman dengan tunangan orang lain ataupun berdiri di sisi seorang Boss besar sebagai orang spesial, bagi Anna itu memang bukan perkara yang normal. Lagipula Devan sendiri mengatakan bahwa dia tidak mengingat moment pertemuan mereka 5 tahun yang lalu meskipun sudah ada beberapa hal yang seharusnya membuat pria itu menyadarinya. Lalu atas dasar apa seorang Boss memiliki ketertarikan pada seorang karyawan barunya yang nampak buruk rupa? cinta pada pandangan pertama, memangnya itu masuk akal diantara mereka?!

"Anna..."

"Boss! saya ingin menegaskan sekali lagi, hanya demi janji yang pernah saya deklarasikan untuk membantu Devaradis selama masa sulitnya, maka itulah satu-satunya alasan saya akan tetap disini sementara. Jikalau anda merasa keberadaan saya sudah tidak di perlukan lagi, anda boleh melepas saya atau saya sendiri yang akan introspeksi diri dan pergi." Anna berucap tanpa perasaan goyah.

"Belum apa-apa kau sudah mengatakan ingin pergi saja, aku sudah bersumpah di pertemuan kita kali ini aku tidak akan melepaskan mu." Devan yang mendengarkan ungkapan itu mendadak tegang karna menahan gejolak emosi sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia melemparkan pandangannya ke atas sambil menelan ludah yang terasa seperti duri yang merobek kerongkongannya.

"Apa kau orang yang bisa di percaya memegang janji?" tanya Devan.

Anna mengangguk pasti.

"Kau akan tetap disini selama masa sulit ini sesuai dengan yang kau katakan, kan?"

"Iya, benar."

"Kalau kau gagal dalam misi ini dan justru perusahaan mengalami masalah yang berkepanjangan, apakah kau atas terus disini selama masa itu?" Devan kembali melontarkan tanya. Pernyataan Devan ini terlihat seperti mengharapkan perusahaannya selalu dalam masa kritis demi mempertahankan Anna disini selamanya.

"Tidak ada masalah yang berkepanjangan, segala sesuatu pasti akan menemukan titik penyelesaiannya. Dan saya hanya berjanji untuk membantu dalam satu perkara saja, bukan berkelanjutan." Anna memberikan jawaban yang tegas.

"Rusa betina liar memang tidak bisa di tangkap tanpa jebakan." Tatapan Devan berubah lebih tajam. "Oke deal," ucap pria itu mantap sembari menatap Anna dengan aura yang berbeda dari sebelumnya. "Aku akan mempercayai bahwa kau adalah orang yang tidak akan mengingkari janji. Jadi ke depannya, ah tidak, mulai detik ini jangan kecewakan aku, jangan mengabaikan panggilanku dalam urusan kerja. Kapanpun aku minta kau harus bersedia datang meskipun harus dengan merangkak di waktu sakit mu." Devan sudah tidak memiliki pilihan lain untuk mengikat Anna disisinya selain harus menuruti permainan wanita itu. Apapun caranya, Anna harus tetap berada dalam genggamannya.

"Benar, memang begitulah seorang partner harus bekerja keras untuk seorang Boss besar seperti anda. Kalau begitu, jika tidak ada kepentingan formal lagi, maka izinkan saya pamit undur diri," sahut Anna dengan nafas yang tertahan sambil menegakkan tubuhnya untuk berdiri.

"Kata siapa kau boleh pergi? point-point perjanjian kerja kita belum di bicarakan sama sekali, bukankah kita juga memerlukan tanda tangan resmi di atas kesepakatan ini? kau juga harus menyerahkan kepadaku benda yang kau bawa di dalam tasmu itu sebagai tanda awal kita menjadi rival." Devan yang berubah menjadi seorang Hunter ini memang selalu memiliki cara untuk mengelabui mangsanya.

"Oh, sketsa desain itu? saya kira anda sudah tidak membutuhkannya karena seharusnya Devaradis sudah mendapatkannya dari staff yang bertanggungjawab," timpal Anna.

"Kalau begitu, kau ingin membantu Devaradis melewati masa sulitnya dari bagian yang mana?" pancing Devan.

"Saya akan mencoba mengambil kembali kesepakatan kerjasama dengan Yorishima group yang sempat di batalkan karena scandal penjiplakan wedding gown pada proyek wedding hall—resort diamond dome yang ada di bawah naungan Devaradis. By the way, bukankah itu adalah proyek besar yang menjadi kekuatan Devaradis dimasa depan?" kernyit wanita berseragam biru itu.

"Bagaimana kau akan melakukannya? apa seperti yang kau sarankan waktu itu? memberikan semacam hadiah perhiasan langka yang belum pernah ada sebelumnya dari seorang desainer terkenal dunia, sebagai sogokan agar mereka yakin bahwa proyek kali ini tidak akan merugikan mereka. Tidak! maksudmu aku tidak perlu mencari ahli desain perhiasan terkenal dunia, tapi kau sendiri yang akan membuatnya, kan?" Devan balas mengernyit, seakan tengah berusaha membaca isi pikiran Anna yang menjadi sandaran pertanyaan yang tiba-tiba dia betikkan menjadi rasa penasaran.

"Benar, meskipun ini terlihat seperti omong kosong, tapi saya memiliki kartu AS untuk memenangkan hati Direktur Yorishima. Anda atur saja waktunya, kapan saya akan melakukan tugas ini. Namun, jika anda berpikir bagaimana jika misi saya gagal? maka anda boleh menjual saya dengan harga berapapun pada Yorishima group untuk menjadi budak seumur hidup." Mata hijau Anna bak mata Cheetah yang melotot tanpa kedip itu menancap tepat pada sasarannya.

Devan sampai harus melonggarkan dasi untuk menerima kalimat Anna yang memiliki atmosfer panas yang membara. Wanita ini kelihatannya saja yang nampak polos, hati dan pikirannya begitu keras dan liar. "Oke, kesepakatan di terima. Meskipun begitu, setelah melihat hasil desainmu tadi, aku juga mempertimbangkan untuk memakainya melengkapi kekurangan yang ada saat ini, jadi berikan saja padaku tanpa banyak alasan. Jika aku meminta maka kau harus memberi yang aku mau, tentu saja ini bagian dari kesepakatan kerja."

"Baiklah, saya tentu akan memberikannya," jawab Anna enteng, namun di matanya tersembunyi maksud lain.

"Bagus! kau tau diri juga."

"Tapi semua itu tidak gratis!" sergah Anna.

"Apa?" alis mata Devan menyatu, ucapan Anna itu seperti suntikan semangat baru yang memacu jantung Devan berdetak lebih bergairah. Ia penasaran hal apa yang di inginkan wanita ini darinya, ia pasti akan mengabulkannya.

"Sebelumnya, saya memang pernah mengatakan kalau saya siap berkorban untuk anda dan siap melakukan apapun demi Devaradis. Tapi saat itu anda jelas sudah menolaknya dengan mengatakan bahwa hidup seseorang tidak harus di berikan pada orang lain. Jadi jangan katakan jika tindakan saya perhitungan kali ini."

"Lalu, aku harus membayar berapa banyak?" kali ini senyuman Devan terlihat lebih menantang.

"Jika pencapaian yang anda inginkan berhasil berkat kontribusi saya, maka 15 persen dari pendapatan anda adalah milik saya selama proyek kerjasama ini masih berlaku. Dan jika misi saya berhasil untuk menyambung kembali kerjasama anda dengan pihak Yorishima, maka saya berhak meminta royalti yang setimpal."

Senyum Devan semakin menguat. "Wah, dari mana kau belajar soal jual beli yang begitu menguntungkan? apa kau berniat menanam saham lewat jalur bantuan mendesain? bukankah sebelumnya kau menyatakan diri untuk membantu?"

"Bantuan di sertai resiko besar yang harus saya tanggung jika gagal, dan juga keuntungan yang saya terima jika berhasil, bukankah semuanya adalah satu paket?!" seru Anna lebih percaya diri.

"Masuk akal. Oke, aku terima. Anggap saja ini adalah kerja sama kita yang pertama. Kalau begitu, cepat serahkan desain itu padaku!" Devan jelas menerima kesepakatan itu sembari mengangkat sebelah tangan setinggi bahu dengan posisi meminta.

"Baiklah." Anna lalu menyerahkan apa yang di minta Devan ke atas sebuah tangan yang langsung menangkap benda yang di berikannya. "Kalau begitu apa boleh saya pergi?"

"Belum."

"Eh? apa lagi?"

Sambil membuka kembali lembaran sketchbook yang ada di tangannya, Devan menjelaskan, "misi pertama, kau harus membuat materi untuk presentasi, sebab besok pagi kau wajib datang pada rapat para staff eksekutif untuk mempresentasikan hasil karyamu disana dan mengeluarkan seluruh ide-ide cemerlang mu yang akan membawa Devaradis menduduki peringkat pertama di industri fashion di negeri ini. Jika target itu bisa kita capai, bukankah uang yang akan masuk ke dalam kartumu menjadi tak terhingga?"

Anna menghela nafas pendek, "soal itu... aku akan mengerjakannya nanti di rumah dan akan mengirimkannya lewat email ke admin."

"Memangnya kau sudah tau fokus apa saja yang akan kau diskusikan besok?" tanya si pria yang sedang mencari ide untuk menahan Anna tetap disini.

"Inovasi desain, ide desain, konsep desain, alternatif desain, dan pilihan akhir desain. Presentasi ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa desain yang dibuat sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan," jawab Anna tanpa keliru.

Devan melipat tangan di dada tanda puas mendengar jawaban Anna. "Oke, sepertinya keraguanku tidak berguna. Tapi ada satu hal yang kurang, studi pasar. Apa kau sudah melakukan penelitian sebelumnya? atau kau butuh bantuan untuk yang satu ini, aku memiliki beberapa file lengkap yang berkaitan dengan hal itu."

"Bukankah itu tugas team marketing?" sergah Anna.

"Sayang sekali, tanggungjawab sebagai desainer tidak cukup hanya sebatas menggambar saja, ataupun melakukan riset untuk bahan presentasi. Tapi ke depannya, kau juga akan berkomunikasi langsung dengan orang produksi untuk memastikan produksi berjalan dengan lancar sesuai dengan pola yang kau buat. Kau juga harus standby memantau team product design dan development, dan berusaha keras agar sebisa mungkin membuat product yang authentic yang sesuai dengan sketsa yang kau ciptakan, agar ide-ide dan tehnik-tehnik baru bisa di kerjakan dengan sebaik-baiknya."

"....."

"Dan juga setelah product itu jadi, kau masih tidak bisa bersantai, karena kau harus meninjau kembali bagaimana product itu affordouble, bagaimana logistic nya, bagaimana distribusi product, bagaimana agar mencapai harga yang inginkan oleh customer. Hingga pada puncak launching untuk pemilihan model, runway, konsep dan lain-lain." Devan membeberkan setumpuk tanggung jawab yang harus Anna emban ke depannya.

Mata Anna langsung melotot mendengar setumpuk tanggung jawab yang akan ia kerjakan, terasa begitu panjang. Seperti lorong gelap yang harus ia terangi dengan cahayanya sendiri. "Lebih tepatnya anda bukan hanya ingin memberi saya beban sebagai seorang desainer, tapi juga sebagai kaki tangan CEO yang menyusun rencana bisnis jangka panjang. Yang mana untung ruginya seolah di bebankan kepada saya sendiri. Apa anda berniat memanfaatkan niat baik saya?" Anna masih belum mau menyetujui.

"Kalau bukan kau, siapa lagi yang bertanggungjawab mengurus pekerjaan ini? apa kau berniat mengabaikannya setelah berani memulainya? aku sudah cukup muak dengan manusia yang tidak bertanggungjawab atas apa yang di mulainya namun tidak mau bekerja keras menuntaskannya. Kau ingin mengecewakan aku juga seperti apa yang di lakukan oleh desainer Revy?"

Suara pria bermata biru itu tertangkap di telinga Anna dengan sangat retak, hingga membuat wanita berambut kepang itu tak mampu menimpali dengan sepatah katapun. Anna terdiam.

Devan kembali melanjutkan ucapannya dengan nada lebih serius. "Besok, kau akan presentasi menggunakan media video animasi 4D. Dan sebaliknya kau belajar bagaimana mengoperasikannya jika kau belum tau, contohnya ada di laptopku. Dan untuk tugas yang satu ini orang kreatif dari team produser yang akan mengerjakannya untukmu. Jika kau berniat membuat materinya saat pulang kerja, kau mungkin butuh berapa jam untuk menyelesaikan naskahnya, kau pikir orang lain akan bersedia menunggu mu dan lembur sampai pagi hanya untuk mengerjakan proyek yang kau pegang? lalu, setelah mengetahui fakta ini apa kau ingin mundur, atau—katakan kalau kau bersedia!" si lelaki berhidung mancung itu terdengar berusaha membangkitkan gemuruh adrenalin di hati wanitanya.

"Saya bersedia!" Anna berseru tanpa ragu.

"Itu memang jawaban yang seharusnya kau lantangkan. Kalau begitu kerjakan tugasmu disini sekarang juga!"

"Saya akan mengerjakannya di ruang admin dan menggunakan komputer yang ada disana," timpal Anna.

"Memangnya kau bisa berkonsentrasi dalam ruangan yang dimana orang lain bebas keluar masuk? disini adalah tempat bekerja paling nyaman dan paling aman di kantor ini. Sekarang aku ada pertemuan penting di luar, dan jangan pergi sampai aku kembali dalam beberapa jam ke depan. Kalau ada sesuatu yang kau butuhkan, kau tinggal telpon pelayan pribadi ku pada telepon yang ada di meja sana." Devan tidak kehabisan akal untuk mempertahankan Anna agar tetap disini, di ruang pribadinya yang mana tak seorangpun pernah berlama-lama disini sebelumnya.

Anna tak menjawab, tapi ekspresinya jelas tak ada penolakan, yang artinya dia tak punya pilihan lain selain bersedia mematuhi ucapan Boss nya.

"Oiya, buang saja benda ini ke tong sampah. Sampah ini aku tidak mau melihatnya disini." Devan menunjuk sebuah kotak hadiah yang gagal dia berikan kepada Anna, tadi. Ia kemudian bangkit sambil membuat panggilan telepon kepada asisten pribadinya.

"Sesuatu yang anda anggap sampah memang seharusnya tidak disini dan di buang di tempat sampah. Kalau sudah begitu biarkan saya membawanya pulang dan memakainya," lirih Anna tipis diantara suara Devan yang sedang menelpon. Tangannya segera mengambil kotak kubus berisi kacamata itu dan menaruhnya ke dalam tasnya.

Setelah berbicara sebentar, Devan pun kembali mengarahkan fokusnya kepada Anna.

"Kau mengambilnya hanya karena aku sebut benda itu sampah. Anna, kau benar-benar wanita yang teliti dan begitu sulit di mengerti. Tapi sebesar apapun kau berusaha untuk menjauh dariku, aku akan selalu punya cara untuk menangkap mu lebih erat dalam genggamanku. Kau mungkin merasa tidak nyaman karena status ku yang masih bertunangan dengan orang lain, dan disaat aku sudah menyelesaikan urusanku, kau tidak akan pernah bisa berlari dariku walau sejengkal pun!" ujar pria itu membatin sambil merapikan pakaiannya untuk bersiap meninggalkan ruangan ini.

"Baiklah terserah kau saja, mau di pakai atau di buang. Pak Ali sudah menunggu di luar, aku harus berangkat sekarang."

"Baik. Saya pun akan mengerjakan tugas saya dengan cepat," sahut Anna singkat.

"Jangan terburu-buru, lakukan saja dengan tenang dan fokus. Kau pakai saja laptop pribadiku, sandinya 090919sr. Dan kerjakan tugasmu dengan santai di cosmovoide bed yang ada di quite room sana, karna beberapa orang mungkin akan datang untuk membereskan tempat persajian ini. Setelah itu kau bebas memakai apa saja yang ada disini asal tujuan penggunaanya untuk bekerja." Pesan Devan sebelum pergi. Dan sang CEO pun mulai berjalan menuju pintu.

"Baiklah, saya mendengarkan anda," jawab Anna patuh. Dan, disini Anna baru menyadari bahwa ia telah terperangkap dalam jerat Devan semakin dalam.

Ketika pintu di buka, Anna melihat empat orang pengawal masih berdiri di depan pintu, hingga pintu pun di tutup kembali oleh orang berseragam hitam tersebut. Anna sedikit terkejut dengan penjagaan ketat seperti itu, tapi tak perlu juga mengomentarinya. Toh, dia sudah terjebak seutuhnya ke dalam lubang yang teramat dalam yang telah di gali oleh dirinya sendiri dengan dorongan paksa oleh pria penuh intrik itu.

Omong-omong, sandi yang di beritahukan oleh Devan, nampaknya adalah sebuah angka yang juga tak asing bagi Anna. Jika 09 adalah bulan September, bukankah bulan itu adalah awal ketika hujan pertama turun yang menjadi tanda musim hujan akan segara tiba?

...• • •...

Sebuah mobil Rolls Royce Panthom yang aristokratik memasuki sebuah gerbang otomatis bersamaan dengan iringan dua buah mobil Jeep Wrangler di depan dan dua di belakangnya.

Rombongan pengawal anak seorang konglomerat itu mulai menghentikan laju mobilnya ketika tiba di area parkir yang disana sudah di penuhi oleh deretan mobil-mobil mewah lainnya dengan berbagai Brand. Di jantung iring-iringan mobil ini adalah mobil yang membawa Tuan muda ke dua Devan Artyom, yang telah terlebih dahulu mengambil tempatnya pada space yang kosong, kemudian di susul oleh mobil-mobil lainnya.

Mobil Jeep empat pintu itu seketika terbuka dan mengeluarkan masing-masing isinya yang berjumlah enam orang ajudan berseragam hitam, yang langsung membuat dua barisan memanjang di depan mobil sang Tuan muda, yang baru saja mengeluarkan sebelah kakinya ketika gagang pintu baja anti karat yang besar itu terbuka secara otomatis dengan satu sentuhan pada tombol yang tersedia. Begitu Devan sudah berdiri di luar, sang asisten yang sudah menunggu di sisi pintu langsung mengambil sebuah paper bag di dalam mobil yang berisikan kado untuk seseorang yang secara khusus di kunjungi oleh sang Tuan muda sore ini.

Mereka semua membungkuk memberi hormat ketika sang Tuan muda berjalan di antara tubuh-tubuh mereka yang melengkung ke dalam, mereka menegakkan kembali posisi tubuhnya ketika Devan sudah berhasil melintas dan berjalan lurus menuju sebuah bangunan mewah bergaya Mediterania, sekelompok ajudan yang terlihat rata-rata mereka memiliki tubuh yang kekar dan besar itu berjalan menyusul di belakang majikannya.

Kaki Devan semakin bergerak cepat melewati pilar-pilar tinggi nan kokoh, memiliki diameter yang lumayan besar, nampak berjejer diantara tangga panjang yang dilapisi permadani merah dibagian depan rumah megah bernuansa warna putih yang menyala keemasan ketika tertimpa sinar matahari yang menguning. Lutut Devan sedikit goyah ketika satu persatu anak tangga yang di dakinya akan membawanya semakin dekat dengan tujuannya.

Namun sebelumnya ia sudah menguatkan hati agar tetap nampak teguh dalam situasi apapun. Dua orang penjaga nampak berdiri disisi kiri dan kanan sebuah pintu kaca yang sudah terbuka. Kedua orang itu membungkuk memberi hormat ketika langkah sang Tuan muda mulai memasuki pintu utama, lalu melewati sebuah aula besar yang disana terdapat beberapa tamu yang sedang duduk berbincang menikmati hidangan pesta, Devan terlihat acuh saja dan fokus berjalan ke tempat tujuannya meskipun mereka serempak menunjukkan ekspresi kaget melihat kedatangan Devan untuk pertama kalinya.

"Apakah itu Tuan muda kedua, Devan Artyom?" penampakan Devan mengalihkan fokus sebuah perkumpulan *girls squad* yang sedang berdiri memegang gelas kaca berisi cairan berwarna merah burgundy, mereka mengambil tempat nongkrong sendiri pada sisi tembok di bagian dalam rumah yang terlihat beberapa lukisan mahal menggantung pada dinding di sekitar mereka.

"Benar, selama hampir lima tahun dia tidak pernah menginjakkan kaki di rumah utama, sekalinya datang malah membawa pasukan seolah mau perang." Sahut seorang wanita dengan dress merah yang menggantung di tubuhnya.

"Tapi kharismanya terlihat seperti seorang putra mahkota yang sesungguhnya." Timpal yang lainnya.

"Bukankah kebenarannya seperti itu? tapi dia telah kalah dalam perang perebutan kuasa dan menyerah, lalu terbuang. Satu-satunya yang bisa dia pertahankan hanya tunangannya. Nona Revy sungguh memiliki hati yang luas bisa menerima sang putra mahkota yang terbuang apa adanya, meskipun yang bisa dia nikmati hanya ketampanannya saja." Ujar seorang wanita yang memiliki hubungan pertemanan cukup dekat dengan nama wanita yang di sebutnya.

"Hei, ketampanan sempurna seorang Devan adalah anugerah langka yang di berikan Tuhan, hanya kepada segelintir manusia di muka bumi. Kau bahkan tidak bisa membelinya meski dengan menghabiskan seluruh harta yang kau punya. Lagipula dengan kemampuan otaknya yang di atas rata-rata, di luar sana dia bisa melampaui siapapun. Menurut ku justru Nona Revy lah yang sungguh beruntung mendapatkan seorang pangeran setampan Tuan Devan." Sanggah seseorang di dekatnya, rupanya wanita berpenampilan sexy yang satu ini bukan bagian dari squad yang di ketuai oleh Revy.

"Kalau di pikir-pikir ada benarnya sih."

"Nah, iya kan?" Yang lain nampaknya ikut-ikutan setuju dengan pendapat yang cukup masuk akal itu.

"Tapi jangan berbicara seperti ini di depan Nona Revy, bagaimanapun juga ini akan menjatuhkan harga dirinya."

"Benar. Tapi kedatangan Tuan Devan kali ini pasti menjadi pertanyaan besar semua orang, apakah membawa ajudan sebanyak itu ketika mengunjungi ruangan seorang Ayah yang sedang sakit adalah pemandangan yang normal?"

"Mungkin sesuatu yang besar akan terjadi, kita tunggu saja beritanya dari Nona Revy." Perbincangan merekapun semakin meluas hingga menjadi sorotan beberapa orang tamu yang hadir di pesta ini.

Devan yang kini sudah berada di ruang tengah yang terdapat kaca yang cukup besar di depan sofa putih. Disana duduk dua sosok wanita yang di kenalinya juga sedang berbincang seperti beberapa wanita sebelumnya.

"Devan!" panggil mereka serentak begitu melihat keberadaan Devan.

"Kau akhirnya datang," tambah sang Ibu, Nora Aurora—Nyonya besar Artyom yang langsung berdiri hendak menyambut kedatangan putranya, di susul oleh wanita muda di dekatnya.

"Devan, syukurlah kau akhirnya datang juga," sambung sang tunangan, Revy Valentina—calon menantu keluarga Artyom, sambil menyunggingkan senyum manis.

"Salam Ibu, biarkan aku menemui Ayah terlebih dahulu," jawab Devan yang menyempatkan diri memberi hormat hanya kepada Nyonya besar Artyom dan tidak memperdulikan wanita yang juga berdiri di samping Ibunya.

"Baik, silahkan, lalu datanglah temui Ibu setelahnya di ruang keluarga."

Devan hanya mengangguk kecil lalu beralih melanjutkan langkahnya menuju tangga yang desainnya mewah, menghubungkan antara lantai satu dan lantai dua. Tangga yang di lapisi permadani mewah itu kini tergeletak tak berdaya di langkahi oleh sang putra mahkota yang hatinya sedang bergemuruh oleh perasaan yang begitu campur aduk. Rumah yang mana tempat dia tumbuh besar ini mengapa terasa begitu dingin dan asing. Sambil berjalan melewati lorong panjang yang langsung terhubung dengan kamar pribadi Ayah yang ada di ujung sana, di depan pintunya juga terdapat dua penjaga yang berdiri pada sisi kiri-kanannya.

Kedua penjaga tersebut lalu memberi hormat dan langsung membukakan pintu untuk Devan dan pak Ali yang langsung masuk ke dalam meninggalkan semua ajudannya untuk berjaga-jaga di luar, sedang pintu sengaja ia kunci dari dalam.

Selang beberapa saat, Daniel datang bersama dengan asisten pribadinya untuk menemui Devan dan berencana untuk menemui Ayah bersama-sama. Tapi ada 24 ajudan yang membuat pagar betis di depan pintu melarang siapapun masuk ke dalam sesuai perintah Boss nya, sampai sang Boss keluar dari kamar itu. Karna ada satu kepentingan serius yang menjadi tujuan utama Devan mengunjungi Ayahnya meskipun harus berhadapan kembali dengan perasaan trauma berat yang masih mengendap di dasar jiwanya.

"Apa-apa kalian, biarkan aku masuk!" sergah Daniel yang merasa kesal ketika di halangi jalannya.

"Maaf Tuan, kami mempertaruhkan nyawa kami demi melindungi kepentingan Boss kami," jawab salah satu diantara mereka dengan sorot mata yang tegas.

"Menyingkir lah dari sana! Jika kalian memberiku jalan, aku akan membayar kalian sepuluh kali lipat dari yang Boss kalian berikan." Daniel mulai memecah kesetiaan mereka dengan iming-iming uang.

"Maaf, kesetiaan kami adalah harga mati!" seru sang Leader.

"Kalau begitu aku bisa saja menyingkirkan kalian dengan memanggil pasukan yang lebih kuat dan lebih banyak dari jumlah kalian." Daniel mulai memberi ancaman.

"Sebaiknya anda mempertimbangkan untuk tidak melakukan peperangan di hari ulang tahun Komisaris Davied Artyom. Tunggu lah sampai Boss kami keluar, dan gantian anda kemudian." Jawab sang Leader yang berdiri tegap tak gentar di hadapan pimpinan Artyom group.

"Kalian berani mengaturku?!" tunjuk Daniel sambil bersiap memerintah asistennya untuk memanggil pasukan serupa sebanyak tiga kali lipat.

"Keributan apa ini?" tegur Nyonya Nora yang tiba-tiba datang dari belakang.

Daniel segera menoleh dan mendapati Ibunya sudah berdiri sejajar dengannya. "Ibu, mereka menghalangi aku masuk menemui Ayah."

"Daniel, ikut Ibu." Nyonya Nora menarik paksa lengan Daniel dan membawanya menjauh dari tempat mereka sebelumnya.

Mereka berdua berhenti di dekat tembok sebelum tangga, kemudian di susul oleh asisten pribadi Daniel yang menghentikan langkahnya tak jauh dari majikannya. Nyonya Nora pun melanjutkan bicaranya.

"Daniel, dengar! biarkan adikmu menemui Ayah dengan nyaman, dia baru mau pulang setelah lima tahun lamanya. Ibu ingin memberi tahu mu maksud kedatangan keluarga Biantara kali ini, tak lain adalah untuk membicarakan tentang penyerahan perusahaan firma hukum milik mereka— Biantara and Partners low firm, untuk di kelola di bawah naungan Artyom group, dengan persyaratan pernikahan anak tunggal mereka dengan ahli waris keluarga Artyom. Dan saat ini yang memegang posisi itu adalah dirimu. Jika kali ini Devan bersedia menikah dengan Revy, maka secara otomatis posisi mu akan terguncang, dan bersiaplah untuk jatuh."

"Apa? mengapa mereka merencanakannya begitu mendadak?"

"Maka pikirkanlah baik-baik langkah apa yang akan kau ambil, waktunya hanya sebelum Devan keluar yang juga akan mengetahui berita ini. Meskipun nampaknya selama ini Devan tidak perduli soal posisinya di Artyom group, tapi posisimu yang jika mengambil tunangan saudaranya demi mematenkan tahta akan menjadi penilaian buruk banyak orang, reputasi mu akan hancur." Terang Nyonya Nora yang mencoba membuka mata anaknya akan sebuah fakta yang pahit.

"Lalu aku harus bagaimana? Ibu sendiri tau kalau Devan tidak mungkin mau menikahi Revy, dan aku juga tidak mungkin secara terang-terangan menikahi tunangan saudaraku. Kecuali kalau pertunangan mereka di putus secara resmi." Di mata Daniel mulai nampak kekhawatiran yang mendalam.

"Bagaimana kalau Devan tetap mempertahankan Revy dan bersedia menikahinya? apa kau tidak pernah terpikirkan mengapa selama lima tahun ini Devan mempertahankan Revy di sisinya tanpa mau menikahinya, meskipun dia sudah begitu yakin kalau kalian memiliki hubungan gelap di belakangnya. Normalnya dia tidak akan berlayar sejauh ini dengan wanita yang di bencinya, itu artinya Devan hanya ingin menyandera Revy saja."

"Kau benar Ibu, Devan memang tidak sepolos yang terlihat. Beberapa hari yang lalu ketika aku datang berkunjung ke Devaradis, dia hampir membunuh ku dengan cekikan tangan nya sendiri." Tutur Daniel.

Nyonya Nora tersenyum hambar. "Apa kau tidak pernah curiga kalau Devan sebenarnya diam-diam sedang merencanakan sesuatu? dia seolah sedang memperlihatkan walau setinggi apapun usahamu, batasanmu tetaplah Devan, kau tidak akan pernah bisa melampaui dirinya selain menggunakan cara-cara kotor dan rendahan. Dia pasti sedang menunggu saat-saat dimana keluarga Biantara menuntut soal pernikahan, dan melihat bagaimana caramu akan bertindak, jika salah langkah, maka kau akan hancur sendiri tanpa dia perlu turun tangan."

Untuk pertama kalinya Daniel merasa terancam, sampai-sampai jemarinya terlihat membuat getaran kecil. "Ibu, apa kau sungguh-sungguh berpihak padaku?"

"Aku hanya berpihak kepada pemenangnya. Maka jika kau ingin aku di sisimu, pertahankan lah posisimu." Jawab sang Ibu tanpa ragu.

"Aaargh.....!" Daniel mengerang sambil meninju tembok yang ada di dekatnya. Tiba-tiba dadanya terasa mendidih, panas.

"Ikutlah dengan ku! kita bicarakan terlebih dahulu prihal ini dengan keluarga Biantara yang sudah menunggu di ruang keluarga." Tukas Nyonya Nora sembari mengambil langkah terlebih dahulu menuruni tangga.

...• • •...

"Baiklah. Aku siap menerima pernikahan ini." Suara berat seorang pria menggema di antara telinga orang-orang yang hadir dalam pertemuan penting ini.

_________

1
Dhiyaandina
yang benar aja masa tega menjual anaknya sendiri?
Dhiyaandina
gak tegaan pasti ya?
Dhiyaandina
aduh kasihannyaa
Dhiyaandina
yang penting selalu waspada
Dhiyaandina
entah kenapa jadi tercium semerbak bau hujan
Dhiyaandina
tapi seru juga bermain hujan
Dhiyaandina
kebayang-bayang ya
Filanina
Hahaha... hanya kalau ada ayang impotennya sembuh.

btw, ga diceritakan kalau dia selalu teringat 'Anna'?
Filanina
berbaring? Kursinya panjang? Kirain sambil duduk dan bersandar di sandaran kursi.
Anyah aatma: eh iya, harusnya blm terbaring sih, krna kursinya blm di miringkan sama si pemilik. tengkiyuu koreksinya.
total 1 replies
Filanina
Hari yang panjang... ditambah malam yang panjangkah?
Anyah aatma: malam yg panjang dgn kesedihan 🥺
total 1 replies
Filanina
Sang multitalenta.
Filanina
udah gede, kenapa nggak pakai baju sendiri?
Anyah aatma: Harusnya lohh...Pak boss emang banyak tingkah.
total 1 replies
Filanina
sebaper itu ya...
Anyah aatma: maklum anak poloshh🤭
total 1 replies
Filanina
Adegan seperti ini kayaknya begitu penting di novel wanita.
Anyah aatma: Kapan lagi ngehalu ngeliat abs cowo cakep klo bukan di novel, plg greget pas nonton Drakor. 🤭
Jadi adegan seperti ini, harus ada😁😁😁
total 1 replies
Cevineine
semangat
Anyah aatma: yups. makasii....
total 1 replies
Filanina
kalau mandi riasannya luntur dong
Anyah aatma: nggak mandi, ganti baju seragam cleaning service aja. coz di kritik sama pak Ali karna bajunya kotor abis bersihin taman, 😁
total 1 replies
Filanina
emang Anna bawa baju ganti? 25 menit itu cepat. Dipakai belanja aja habis. masaknya 1 menit apa?
Filanina: iya, baru ingat sempat ganti pakai seragam.
Anyah aatma: wait.... soal waktu.... aku mau chek2 dulu. emang agak membagongkan. wkwk
total 3 replies
Filanina
kasihan sekali. kerja rodi
Filanina
kebetulan yang masuk akal sih kalau sama suka masakan perancis kayak ibunya.
Filanina
memasak juga? emang OP FL kita. Kirain pilih menu doang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!