Laki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan.
Dan wanita bernama Anna Isadora B itu, siap membersamai Devan untuk membalaskan dendamnya- mengembalikan keadilan pada tempat yang seharusnya.
Cinta yang tertanam sejak awal mula pertemuan mereka, menjadikan setiap moment kebersamaan mereka menjadi begitu menggetarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Are You Sicopat?
Pagi yang dingin dengan balutan angin yang berhembus berat. Sendu di balut kabut putih yang menyamarkan pandangan. Sisa tetesan hujan semalam masih mengembun pada dedaunan yang bergoyang lambat. Sedangkan langit biru di atas sana memucat menjadi lukisan tanpa warna. Dan saat mentari pagi beranjak naik, cerah membawa suasana menjadi lebih baik, di hati seorang wanita yang segala sesuatunya selalu ia kubur jauh di dasar hatinya. Memangnya apa artinya air mata dan juga luka, jika senyuman pun belum tentu tanda bahagia.
"Good morning, Anna!" sapa Jay dengan senyuman yang mengembang, ceria. Ketika wanita yang panggilnya baru saja muncul dengan membawa peralatan cleaning untuk membersihkan tinta yang tumpah di atas meja, di dalam ruang admin Nila.
Jay yang sedang menyusun lembar-lembar kertas di tangannya itu nampak begitu antusias ketika melihat kedatangan Anna. Sedangkan Nila yang sedang sibuk mengurus absensi para karyawan di komputer yang sedang menyala di depan matanya, melirik Jay dan Anna sejenak secara bergantian.
"Morning," balas Anna sekenanya seraya mengambil langkah maju mendekati meja yang ada sosok pria berlesung pipi itu disana.
"Mau membersihkan tinta ini kan? maaf ya, karena tidak sengaja di tumpah olehku, aku jadi harus merepotkan mu. Seharusnya aku membersihkannya sendiri, tapi karena sibuk jadi tidak sempat." Jay menggeser berkas-berkas yang ada di atas meja ke pinggir untuk mempermudah Anna melakukan pekerjaannya.
"It's okey, memang sudah tugasku kan," sahut Anna sambil bersiap untuk membersihkan cairan tinta yang mulai melebar di permukaan meja yang terbuat dari kaca. Tak lupa ia memberikan senyuman tipis untuk Jay, sebatas formalitas sebagai rekan kerja.
"Anna, kalau tidak salah lihat, tadi kau tersenyum kan? iya kan? sekilas." Tunjuk Jay frontal, tanpa canggung. "Wah! ternyata kau memiliki satu sisi dengan karakter yang hangat seperti cahaya matahari pagi." Jay secara blak-blakan langsung memuji kepribadian Anna, meskipun memang terlalu berlebihan. Sebab Jay merasa bangga karna hari ini Anna membalas sapaannya dengan ekspresi yang terbuka di sertai oleh senyuman tipis, seolah mereka adalah teman.
"Satu sisi yang terlihat terang dari seribu sisi yang tak terduga. Bagaimana kalau seluruh sisanya justru seperti malam yang gelap gulita?" Anna menanggapi guyonan Jay dengan kata-kata yang cukup dalam maknanya, namun ekspresi Anna justru memperlihatkan yang sebaliknya, tidak sekelam kalimat yang keluar dari bibirnya. Wanita yang sedang sibuk membersihkan meja itu terlihat santai saja. Anna bersikap seolah tak terdapat kecanggungan di antara mereka yang baru saja saling mengenal satu hari yang lalu.
"Bukankah sisi yang kelam itu bisa saja sangat menarik dan justru membuat penasaran? semua orang akan menjadi begitu ingin mengenalmu secara mendalam," goda Jay dengan bibir yang di tarik lebar-lebar ke samping, senyumannya masih mengembang sambil mengungkapkan kalimat yang terdengar sungguh-sungguh.
"Sudahlah, jangan mengada-ada. Karna faktanya, manusia selalu melihat orang lain dengan kasat mata, jika ia buruk rupa, siapa yang akan sudi mengenalnya," timpal Anna lebih serius menanggapi ucapan Jay. Entah mengapa, walau terlihat hanya percakapan biasa, perang kata di antara mereka berdua begitu sarat maknanya.
Jay lalu mencondongkan diri kepada Anna. "Tapi ada beberapa yang tidak, termasuk aku," tunjuknya pada dirinya sendiri—dengan penuh percaya diri.
"Hei... jangan bercanda." Anna melotot ke arah Jay yang matanya terpaku menatap wajah Anna.
"Aku serius!" jawabnya langsung sambil mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya—melakukan isyarat V sebagai simbol keseriusan. Wajah baby face milik laki-laki yang nampak begitu menggemaskan itu terpangku di atas telapak tangan yang ujung sikunya sedang bertumpu pada permukaan meja.
Anna menghela nafas pendek dan berat. "Pekerjaan ku sudah selesai, aku keluar dulu," Anna nampak terburu-buru membereskan peralatan cleaning yang sudah kotor, kemudian segera berbalik badan untuk pergi.
"Oiya, kalau ada waktu senggang setelah ini, bertemu di tempat kemarin, bagaimana?" tawaran Jay yang secara tiba-tiba mengajak untuk bertemu itu mampu mencegat langkah Anna yang sudah menjauh hampir menggapai pintu.
Anna menoleh ke belakang, "oke," jawabannya singkat.
"Bagus. Mau aku bawakan minuman apa?"
"Banana milk yang kau berikan kemarin enak juga." Sikap Jay yang begitu baik dan ramah membuat Anna tidak bisa mengabaikan laki-laki berlesung pipi itu begitu saja. Toh Anna ada sesuatu yang ingin ia perlihatkan pada Jay, bila perlu.
"Oke siap. Aku akan menyelesaikan tugasku dengan cepat." Jay nampak bersemangat.
Anna mengangguk kemudian berlalu meninggalkan dua orang dengan raut wajah yang begitu kontras disana. Yang mana si laki-laki dengan air wajah yang begitu cerah ceria, sedangkan si wanita yang ada di sebelahnya—yang duduk tak jauh darinya nampak begitu muram.
Ada apakah gerangan? Nampaknya memang ada sesuatu yang salah disini, tapi Anna tentu tidak peduli dan menghilang dari pandangan mereka.
Wanita yang sejak tadi terlihat serius mengerjakan tugasnya, ternyata diam-diam mendengar begitu cermat obrolan kedua manusia yang barusan sempat membuat bising ruangan ini, dan terasa begitu panas di telinganya.
Keseriusannya hanyalah topeng, padahal hati dan pikirannya sangat terganggu dan tidak fokus sama sekali. Kedekatan Jay dengan pegawai baru itu telah merobek sisi hatinya yang telah lama mengagumi partner kerjanya selama lebih dari dua tahun lamanya—bekerja sama di dalam sebuah ruangan yang selalu senyap, tak berwarna.
Tak pernah ada banyak kata-kata yang terlontar diantara mereka berdua, selain hanya sebatas kepentingan kerja saja. Itupun minim sekali interaksi ataupun percakapan yang menghangatkan suasana. Selama ini Jay terkesan selalu bertindak mandiri tanpa memerlukan bantuan Nila. Kalaupun sesekali butuh, Jay akan membuat kata perintah— "lakukan ini dan itu!" dan tak lebih dari hanya dua kosa kata saja.
Jay, laki-laki yang terkenal sebagai kaki tangan Boss itu, adalah tipe orang yang cuek, sombong, dan sangat pendiam. Dia di gelari sebagai blade of Olympus—pedangnya dewa Zeus—yang siap bergerak sesuai titah dan keinginan sang majikan. Di kantor ini—Devaradis, hanya Jay satu-satunya yang memiliki status karyawan tingkat rendah, tapi memiliki kuasa yang mana segala ucapannya akan di dengar dan patuhi oleh semua orang. Dan semua tindakannya hampir menjadi sorotan, karena mereka tau apapun yang datang dari Jay, pasti berasal dari sang Raja, semacam dekret kekaisaran. Jadi, disini tidak ada satupun yang berani merendahkan Jay ataupun bersikap seenaknya pada laki-laki yang di keningnya seolah tertulis kata *serius.
Dan pemandangan yang baru saja Nila lihat itu apa? jelas membuat syok jantungnya secara mendadak. Mana ada seorang Jay menjadi begitu ramah dan dengan entengnya menampakkan senyuman ghaib yang tidak pernah terlihat, justru di perlihatkannya kepada orang baru yang penampilannya begitu jelek dan aneh.
Orang-orang pasti tidak akan percaya jika Nila menceritakan bagaimana Jay mengucapkan sapaan 'selamat pagi' yang begitu renyah kepada si cupu yang tidak tahu diri itu. Apakah Jay hanya sedikit menghargai karena Anna telah bersedia menggantikan pekerjaannya tempo hari? kalau memang iya, dan hasilnya adalah mendapatkan perhatian seorang Jay, mengapa bukan dirinya saja yang maju dan bersedia melakukannya kemarin. Ah sangat tidak beruntung.
Sedangkan Nila yang sudah bertahun lamanya mencari perhatian laki-laki berwajah mungil itu, tak pernah di gubris sama sekali. Jay selama ini bahkan mungkin tidak tau ada seseorang wanita imut nan lucu bernama Nila di kantor ini, itulah dirinya yang setiap hari selalu berinteraksi kerja dalam satu sekat di ruang sempit ini, namun seolah tak berwujud.
"Jay bahkan tidak pernah sekalipun memanggil namaku. Tapi, dia begitu lugasnya menyebut nama wanita cupu itu. Memangnya apa istimewanya sih wanita jelek itu?"
Nila bertekad untuk mencari tahu sendiri, trik seperti apa yang di gunakan Anna untuk menggoda laki-laki idamannya, sambil melirik sekilas ke arah Jay yang terlihat kembali ke stelan pabrik, dengan muka kakunya yang seolah memberitahukan kepada Nila, bahwa pria itu sedang dalam mode yang tidak bisa di ganggu oleh suara, pandangan, atau tindakan apapun yang akan mengganggu konsentrasinya bekerja.
...• • •...
Anna mengambil tasnya yang tersimpan di dalam loker, lalu menyelempangkannya di bahu kiri, bersiap untuk membawanya ke tempat perjanjian, bertemu dengan seorang laki-laki yang kelihatannya lebih muda darinya, si office boy yang ia tau—si cerewet dan ceria.
Namun sialnya, untuk menuju lokasi yang dia tuju—tempat pengumpulan sampah—bagian paling belakang gedung. Anna harus melewati ruang kerja bersama, yang mana itu adalah tempat para manusia yang selalu memandangnya dengan tatapan jijik dan rendah, terutama si pembuat onar, supervisor sakit jiwa itu.
Menurut perkiraan Anna, mereka adalah sekelompok orang yang tidak menerima kenyataan kalau pegawai baru seperti dirinya sudah berhasil melampaui kerja keras mereka selama ini. Tidak di pecat Boss berarti pengakuan atas kemampuan dirinya. Itu adalah hal yang sangat di inginkan oleh siapapun di tempat ini.
Tentu hal tersebut akan membuat semua orang iri, terutama bagi mereka yang sudah melakukan banyak hal namun tidak pernah sampai mendapatkan perhatian khusus dari Boss. Tidak! mereka sebenarnya sudah menerima upah yang adil, hanya saja mereka serakah dengan keinginan tertentu. Namun sayangnya, rumor tentang sang Boss besar yang alergi terhadap wanita itu menjadi pelemah semangat mereka untuk sampai pada tahta tertinggi—sebagai simpanan sang CEO.
Semua orang tau, menjadi pelayan pribadi Boss bukanlah perkara mudah, bukan juga hal yang bisa di lalui oleh orang yang tidak kompeten, bukan pula hanya mengandalkan keberuntungan. Mereka faham betul, menggantikan Jay bekerja adalah kesempatan—ini adalah anak tangga menuju puncak karir mereka. Jika Boss puas dengan kinerja karyawannya, mereka akan di hargai dengan bonus yang besar atau posisi yang lebih tinggi. Namun sebaliknya, jika mereka melakukan kesalahan, itu adalah akhir dari karir mereka di Devaradis.
Itulah mengapa, mereka tidak mampu menyembunyikan hati mereka yang di penuhi kedengkian, sebab mereka telah di kalahkan oleh sosok wanita cupu yang pemberani dan juga lebih baik dari mereka. Salah siapa yang tidak mau mengambil resiko itu, jelas itu salah mereka yang meragukan kemampuan mereka sendiri. Tapi apa boleh buat, hadapi saja mereka. Toh wanita cleaning service itu bukannya takut, hanya saja ia malas membuat kericuhan di tengah suasana kerja yang damai.
Tanpa perlu menebar pandangan kesana kemari, Anna berjalan lurus dengan pandangan fokus kepada tujuannya, menuju sebuah lorong yang akan membawanya ke ujung sana, kemudian satu belokan saja langsung menembus bagian gedung paling belakang. Namun baru beberapa langkah kakinya beranjak, suara cempreng seorang wanita yang sudah di kenalinya menghentikan jalannya.
"Woi, tunggu! ada yang harus kau klarifikasi di depan kita semua!"
Seorang wanita dengan style formal, memakai kemeja putih dan celana panjang hitam di padu dengan blazzer coklat nude, tiba-tiba muncul menghalangi langkah Anna bersamaan dengan kalimat menyebalkan yang keluar dari bibir tipisnya yang lebar. Wanita itu lagi, memang selalu menyisihkan waktu untuk mengganggu Anna, dan kini sudah berdiri tepat di depan Anna sambil menyilangkan tangan di dada.
"Heh! kemarin seseorang melihatmu menyerobot masuk lift pribadi milik Boss, katanya saat itu juga, Boss sedang bersama dengan tunangannya, apakah berita itu benar?!" tanyanya dengan nada yang cukup tinggi, dengan tujuan agar semua orang yang ada di ruangan ini mendengarnya.
Seketika, semua telinga menjadi lebih tajam pendengarannya karena penasaran. Apakah itu hanyalah rumor ataukah memang benar adanya. Jika Anna mengakuinya, itu jelas adalah hal yang paling memalukan yang pernah ada. Mana ada karyawan yang berani berbuat senekat itu walau rasanya ingin sekali menggoda sang CEO.
Anna diam tidak mau menjawab apapun. Percuma saja meladeni orang yang ingin menindasnya. Jadi, Anna akan membiarkan wanita ini merasa umpannya sia-sia—tak bisa mempengaruhi Anna sama sekali, tidak akan terpancing amarahnya dalam bentuk emosi apapun. Tujuan wanita di depannya ini memang hanya untuk mencari ribut dengannya.
Namun rupanya wanita bermulut serigala belum menyerah, dan semakin menambah ocehannya. "Hei! bagaimana bisa wanita seperti mu ingin memanjat tinggi tanpa tau diri. Apa kau tidak punya kaca di rumahmu? rupamu itu jelek sekali."
"....."
"Kau pikir dengan penampakan seperti nenek sihir seperti ini bisa membuat Boss melirik ke arahmu? Boss yang menyukai kesempurnaan itu mustahil bisa tahan menatapmu lebih dari satu detik. Jadi, jangan berfikir untuk bersaing dengan Kepala Desainer Revy!"
Wanita bernama Zoya itu mencukupkan ocehannya dengan mengetatkan jari telunjuknya untuk menekan bahu Anna, sedangkan sebelah tangannya menancap kuat pada pinggang rampingnya, matanya pun melotot penuh kesombongan.
Anna mendepak tangan Zoya hingga terlepas dari bahunya. "Apa sudah cukup bicaranya? Kalau begitu, aku pergi dulu," timpal Anna tanpa terpancing sama sekali, sambil perhatiannya mencari celah di samping sang supervisor untuk segera meninggalkan tempatnya berdiri.
"Hei, kau...!" Zoya segera bergeser menghadang tubuh Anna.
"Apa lagi?!" tanya wanita berponi tebal yang wajahnya tak nampak ekspresi apapun disana, bahkan kelopak matanya pun tak berkedip sama sekali, menyorot tajam seolah menembus apapun yang ada di depannya.
Bagaimana bisa wanita cupu itu tak terlihat gentar sedikitpun. "Apa aku terlihat remeh baginya? apa aku harus menekannya lebih keras lagi?" Zoya yang mulai menyadari karakter Anna yang sedikit mengerikan, kemudian memikirkan cara lain untuk menghadapinya.
"Jangan salah faham. Aku hanya ingin memperingatkan agar kau tidak bermain api dengan kepala Desainer Revy, atau kau akan menyesal ketika dia merusak wajahmu yang jelek itu menjadi lebih buruk dari monster, kemudian membuang mu ke tempat pembuangan limbah. Aku tidak sedang menakuti mu, tapi sebaiknya kau berhati-hati, sebab Nyonya Revy tidak punya belas kasihan." Dengan menggunakan nama tunangan Boss, Zoya berharap akan mendapatkan reaksi yang dia inginkan.
"Aku rasa kau terlalu buang-buang waktu, bukannya fokus bekerja." Anna benar-benar menunjukkan betapa tak pedulinya ia dengan ancaman Zoya.
"Apa?!" Zoya sampe syok mendengar jawaban yang di lontarkan Anna, juga reaksi yang begitu santainya, tidak menampakkan rasa takut atau gugup sama sekali. Bola mata Anna yang menyala kehijauan itu justru balik mengagetkan Zoya, sebab tatapannya yang begitu dalam dan gelap disana. "Apa kau psikopat?" lanjutnya.
"Pikir saja sendiri."
"Dasar jalang rendahan! kalau kau psikopat, maka aku adalah Iblisnya," ejeknya sambil berkacak pinggang seraya memutar bola mata.
Anna menegakkan posisinya kemudian membungkuk sedikit agar lebih condong mendekati telinga Zoya. Dengan setengah bersisik ia mengeluarkan ucapan yang membuat Zoya tak mampu menahan amarahnya. "Umm... bukannya kau adalah satu-satunya manusia yang mengaku sebagai Iblis?!"
"Bangsat!" umpat Zoya seraya mendorong tubuh Anna hingga terdampar pada tembok yang berdiri kokoh di belakangnya.
Tanpa aba-aba, sang supervisor itupun mengangkat tangannya tinggi-tinggi, kemudian mendaratkan sebuah tamparan keras di atas pipi Anna dengan sekuat tenaga, hingga kaca mata yang menempel di wajah wanita cupu itu jatuh terpental, pecah berserakan di lantai.
"Kau tidak tau siapa aku?" ia mengetatkan jari telunjuknya di depan mata Anna, "Ayahku adalah salah satu orang penting, pemegang saham di perusahaan ini!" tunjuknya ke depan wajah Anna yang memerah seketika.
Anna malah tersenyum dingin. "Apakah dirimu saja tidak cukup untuk menggertak ku? sehingga kau harus membawa nama kepala Desainer Revy dan bahkan juga posisi Ayahmu sendiri?" Anna berdiri tegap dengan tangan yang mengetat—meremas jemarinya untuk menahan emosi yang mulai membuncah.
"Kalau kau bicara lagi, akan ku hancurkan mulutmu!" teriak Zoya yang sedang di penuhi oleh amarah yang menyala-nyala. Niat hati ingin memancing emosi Anna, justru yang terjadi sebaliknya. Kini sang supervisor itulah yang bereaksi seperti orang kesetanan, bahkan bisa di lihat dengan jelas dari sorot matanya yang gelap seolah ingin menerkam mangsanya.
Meskipun begitu, wanita cupu itu masih tetap dengan ekspresi yang sama, tak berubah sama sekali, begitu datarnya. "Kalau kau menghancurkan milik orang lain dengan sengaja, bukannya kau harus siap ganti rugi? bahkan dengan sesuatu yang lebih besar dari harga yang kau rugikan."
"Maksudmu kau akan membalas dendam padaku? dasar psikopat gila!"
"Memangnya sosok iblis seperti mu benar-benar berani melakukannya?" Anna tentu tidak mau mengalah.
"Apa yang aku takutkan darimu, huh?!"
"Sudahlah, aku sedang dalam urusan penting, jadi kita lanjutkan masalah ini nanti saja ya jika kau berkenan, supervisor Zoya yang menyebalkan." Mudah saja membalas tamparan yang bagi Anna tak sakit sama sekali. Tapi sekali ia tidak ingin memancing lebih banyak masalah di tengah banyak mata yang sedang menonton mereka. Sehingga Anna lebih memilih jongkok untuk membersihkan sisa pecahan kaca yang ada di lantai sebelum meninggalkan tempat ini. Yah, meskipun ia tau, Zoya pasti belum berhenti.
"Selesaikan saja disini! apa kau takut?!" Zoya malah semakin menjadi-jadi. Sesuai perkiraan Anna.
Zoya serta merta menendang tubuh Anna yang ada di bawahnya dengan sebuah dorongan kuat menggunakan kaki yang berlapis heels hitam yang tajam, hingga tubuh wanita yang sedang memungut beling kaca itu terjungkal ke belakang. Dan sebuah potongan kaca yang ada dalam genggamannya pun menancap seketika ke dalam kulit Anna, hingga darah segar mulai keluar dari celah-celahnya.
"Benar-benar iblis yang menyedihkan," desis Anna begitu membuka telapak tangannya yang mulai mengeluarkan darah.
Beberapa orang yang ada di ruangan ini berteriak histeris begitu melihat darah yang menetes di atas lantai. Mengucur cukup deras dari telapak tangan kanan Anna. Mereka tidak menyangka kalau perdebatan antara dua wanita itu berakhir dengan sesuatu yang mengerikan. Dan reaksi mereka semakin ngilu ketika Anna mencabut beling itu dari tangannya tanpa meringis kesakitan. Jelas saja, gumpalan darah pekat semakin banyak keluar, namun sengaja di tampung oleh Anna dalam genggamannya sebelum menempelkannya di celana milik Zoya.
"Bukankah kau harus membersihkan kekacauan yang kau timbulkan supervisor Zoya? Dan darah ini sudah seharusnya kau yang membersihkannya," tukas si cleaning service yang sedang merangkak di bawah kaki Zoya. Ini memang tindakan yang di sengaja oleh Anna dengan maksud tersembunyi.
"Singkirkan tanganmu dari pakaian ku!" Zoya yang sudah kepalang emosi tidak mampu mengendalikan dirinya, hingga tanpa sadar ia kembali mendepak tubuh Anna dengan sekuat tenaga hingga wanita cupu itu terpental ke belakang—dengan kepala membentur tembok.
Teriakan histeris kembali terdengar di antara senyuman aneh yang di tampakkan samar oleh Anna. Mereka yang mulanya duduk langsung berdiri untuk melihat lebih jelas pemandangan di depan matanya. Anna dalam hati sedang berhitung. Satu... Dua... Tiga.
"Anna!" tepat di saat itu, Jay datang. Ia segera berlari menghampiri Anna dan langsung duduk—meraih tangan kanan yang terdapat luka. "Kau terluka!" suaranya terdengar begitu khawatir.
Anna segera menarik tangannya, "aku baik-baik saja."
"Ayo bangun." Jay mencoba membantu Anna bangun dengan mengait lengan Anna, meskipun wanita itu tampak menolak bantuan Jay.
"Jay! Apa yang sedang kau lakukan? mengapa kau berpihak pada wanita rendahan itu?!" teriak Zoya.
"Supervisor Zoya. Tolong kendalikan dirimu. Jangan melakukan tindak kekerasan di depan umum, apa kau tidak punya etika?"
"Tapi dia—" tunjuk Zoya ke arah Anna yang sudah berdiri di sisi Jay dalam keadaan yang normal seperti biasa.
"Disini ada bukti cctv, mau apa lagi?" potong Jay.
Zoya kehilangan kata-kata dan hanya memberikan tatapan mata yang kesal, sedangkan tangannya mulai membuat getaran kecil. Ia sungguh telah kehilangan akal oleh emosi yang meluap-luap, sampai lupa jikalau ini masih dalam jam kerja, yang mana sangat di larang mengusik konsentrasi kerja karyawan. Diam-diam ia menyesali kebodohannya.
Jay lalu menghadap kepada Anna. "Anna. Balas lah apa yang sudah dia lakukan padamu." Ucapan Jay kali ini terdengar seperti sebuah perintah yang mutlak untuk di ta'ati, entah mengapa tekanan pada kata-kata nya begitu kuat, termasuk ekspresi tegasnya yang belum pernah Anna lihat sebelumnya. Meskipun pria dengan wajah Baby face ini secara formalitas—posisinya tentu jauh di bawah supervisor Zoya. Tapi kembali lagi, karena Jay adalah pelayan pribadi yang di kenal sebagai kaki tangan Boss, posisinya benar-benar menguntungkannya dalam situasi ini.
"Apakah harus?" ekor mata Anna justru melirik Zoya yang mulai tampak begitu khawatir.
...• • •...
"Jay! jika kau tidak bisa membuat karyawan cleaning service itu mendapatkan keadilan, maka kau yang akan menanggung hukumannya," ucap CEO Devaradis yang sedang fokus menatap layar monitor cctv yang sedang menayangkan adegan kekerasan di depannya.
Halo guys. Maaf banget aku slow update atau bahkan gak pernah update beberapa Minggu. Aku pasti bakan usahakan buat lanjutin novel ini sampai selesai kok. Cuman kemarin ini tiba-tiba ada kesibukan penting yang nggak bisa di abaikan. So yeah, aku harus segera menyelesaikannya agar bisa kembali fokus menulis. Sekali lagi aku mohon maaf ya. Aku harap kalian masih setia menunggu kelanjutan cerita ini dan menikmati setiap alurnya. Terimakasih banyak. (Evrensya)
btw, ga diceritakan kalau dia selalu teringat 'Anna'?
Saya tahu banget kalau kritik dan saran pembaca itu bisa menjatuhkan mental penulis.
kalau kamu cuma sekedar nulis buat hobi dan hiburan diri sendiri ya sudah tidak perlu saya bilang.
kalau kamu mau lebih baik lagi di karya berikutnya atau suka merevisi, saya mau bilang.
for your own good. pilihan di tanganmu.