Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nurmaya
Nurmaya berusia lima belas tahun kala itu. Ia sudah berusia cukup dewasa untuk dikawinkan, merujuk pada masa lampau dan budayanya. Tapi, memang, gadis berdarah Jawa Madura itu sudah terlihat sangat matang.
Masalahnya, kedua orang tuanya merasakan bahwa ada yang salah dengan anak perempuan mereka yang cantik dan masak itu. Tidak ada seorang laki-laki pun di desa mereka yang mau menikahi anak mereka. Nurmaya dan kedua orang tuanya datang ke Gunung Kawi, menuju ke salah satu pondok di bawah pohon beringin, untuk meminta berkat, petunjuk serta jawaban atas ‘kesialan’ anak perempuan mereka ini.
Nurmaya, beraut wajah polos dan malu-malu, tetapi tubuh matang nan molek itu mendapatkan perhatian dari seorang Ashin remaja yang penuh dengan gejolak jiwa muda.
Nurmaya yang badannya terbalut baju kemeja kotak-kotak berbahu menggelembung dan rok lebar bermotif bunga-bunga itu begitu menawan Ashin. Kulit Nurmaya yang tidak kuning langsat, pun tidak sawo matang, sungguh pas dengan air mukanya yang tenang itu. Rambutnya yang bergelombang dan sehitam jelaga, dikuncir setengah dengan satu ikatan saja, biasa, tetapi mempesona. Namun, dari semua hal yang menarik dari Nurmaya, menurut Ashin adalah tubuhnya yang sudah masak itu.
Rok lebarnya tidak mampu menutupi bokongnya yang kencang, membulat dan terangkat tinggi. Di balik kemeja kotak-kotak berbahu menggembung itu, Ashin melihat sepasang dada ranum yang sekal menggantung. Setiap langkah yang ia lakukan membuat sepasang buah dada itu bergetar dan memantul-mantul sedemikian rupa.
Ashin memang lapar. Ia memang tak memiliki uang lagi. Namun, rasa laparnya itu dilengkapi dengan rasa dahaga atas syahwat.
Mahluk serupa manusia, serupa kadal raksasa merambat dari balik pepohonan perlahan mendekati Ashin. Matanya yang berjumlah belasan, mungkin lebih dari dua puluh di kepala saja itu berputar-putar liar. Sosok itu membuka mulutnya lebar-lebar. Di dalamnya, di langit-langit mulutnya, mata-mata lain serupa manusia berhenti bergerak-gerak dan mengunci sasaran.
Nurmaya yang sedang meletakkan sesajen di bawah pohon beringin tidak sengaja melirik ke arah Ashin, seorng remaja Cina dengan tubuh kurus itu secara mengejutkan luar biasa tampan. Nurmaya tak tahu apa yang terjadi padanya pada pandangan pertama itu.
Sang gadis melihat ke arah sekitar. Tidak ada siapapun kecuali mereka berdua. Orang tuanya sedang berada di dalam pondok, mungkin melakukan ritual lainnya.
“Hai, halo. Aku, ehm … namaku Ashin. Aku sudah beberapa minggu berada di tempat ini dan baru melihat kau. Kalau boleh tahu, siapa kau dan apa tujuan kau datang ke tempat seperti ini?” ujar Ashin remaja.
Nurmaya menunduk malu-malu. Padahal kulitnya tidak seputih susu, tetapi Ashin dapat melihat dengan jelas bahwa wajah sang gadis merona merah muda. Begitu cantik.
“Aku … aku … aku Nur, Nurmaya. Aku belum mendapatkan jodoh. Bapak bilang, ehm … aku harus diritualkan supaya menghilangkan … nasib buruk.”
Ashin tertawa. Kemudian segera menutup mulutnya agar tak terdengar lancang dan tidak sopan. “Maaf, aku tidak ada maksud menertawakan kau. Aku hanya heran, bagiamana bisa gadis secantik kau dibilang tak laku? Tapi, bagus juga lah. Biar orang-orang buta dan kau akan mendapatkan laki-laki yang benar-benar mampu melihat kecantikan kau.”
Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut seorang Ashin remaja.
Nurmaya memejamkan kedua matanya, merasakan panas menjalar di permukaan wajahnya. Ia tak pernah semalu sekaligus sesenang ini dipuji oleh seseorang. Mungkin karena tidak pernah ada seorang pun yang memujinya. Apalagi, walau masih muda, remaja itu sudah terlihat sekali ketampanannya. Kalau boleh jujur, Nurmaya juga heran, apa yang dilakukan remaja laki-laki Cina itu di tempat ini. Apa ia juga mencari jodoh? Di desanya, tidak sedikit laki-laki yang sudah kawin di usia yang lebih muda darinya, begitu juga perempuan. Apalagi dengan wajah tampan seperti itu, harusnya remaja Cina tersebut jauh lebih mudah mendapatkan jodoh.
“Lalu, Mas, eh, Abang, eh … Engkoh Ashin, kenapa ada di tempat ini?” tanya Nurmaya. Ia sudah berani menegakkan kepala memandang langsung ke arah Ashin.
“Aku yakin usiaku lebih muda dari kau. Jadi, panggil saja Ashin, tak usah pakai Engkoh atau Kokoh segala.”
Nurmaya mengangguk, dan ini membuat Ashin remaja semakin gemas dengan cara Nurmaya menggerakkan kepalanya.
“Aku … ehm … pengin kaya, Nur,” lanjut Ashin lugas.
Nurmaya memicingkan mata. “Tapi, kebanyakan orang Cina di tempatku kaya-kaya, Koh, eh … Ashin. Paling tidak mereka punya toko kelontong, punya usaha, ya meskipun nggak semua, sih. Ada juga yang jadi buruh atau tukang.”
“Nah, aku termasuk yang tidak kaya itu, Nur. Tidak hanya miskin, aku melarat, keluargaku memiliki banyak anggota, kami semua bersebelas, dan aku adalah anak kesembilan. Rumah kami padat, banyak mulut yang harus disuapi, banyak tenaga yang harus dikuras. Kalau salah satu dari kami sedikit saja malas, atau memutuskan untuk istirahat sejenak, maka anggota keluarga lainnya yang menutupi kebutuhannya. Aku capek miskin, Nur.”
Nurmaya tersenyum kecut. “Aku tahu rasanya miskin juga. Cuma, aku lebih beruntung karena kami hanya berdua. Aku dan kakak perempuanku yang sudah menikah. Jadi, tinggal aku saja beban di keluarga. Jadi, suka tidak suka, aku menunggu agar ada laki-laki yang meminangku sehingga orang tuaku tidak hidup terlalu susah lagi.”
Ashin melihat sekeliling. Tidak ada orang. Ia berjalan mendekat ke arah Nurmaya. Kalau aku kaya, kau ikut aku saja. Aku bisa pinang kau.”
Nurmaya tertawa geli. “Kau gombal sekali, Ashin. Untung kau ganteng, kalau tidak, aku sudah tampar wajahmu karena menggodaku.”
Tawa Nurmaya mendadak berhenti. Ia baru sadar bahwa ia sedang memuji remaja itu. Pipinya kembali memerah dan terasa panas. Ia menunduk malu.
Ashin yang kini terkekeh. “Berapa lama rencana kau dan keluarga berada disini?”
Nurmaya mengangkat wajahnya malu-malu. “Ehm … tiga hari. Ini baru hari pertama. Kami akan tidur di pondok itu.” Nurmaya menunjuk ke arah pondok kecil tidak jauh dari pohon beringin tempatnya menempatkan sesajen tersebut. “Bagaimana dengan kau, Ashin?”
Ashin menggeleng. “Mungkin sehari lagi, mungkin seminggu lagi, mungkin setahun, aku tak tahu. Yang jelas, aku lapar sekarang. Dua hari yang lalu teman-temanku memutuskan untuk meninggalkan tempat ini. Sudah dapat wangsit kata mereka. Aku sendiri belum. Makanan terakhir aku dapatkan kemarin, dari salah satu peziarah yang mungkin berpikir aku adalah gembel atau pengemis yang mengais rezeki dari kedatangan mereka.” Ashin meringis miris.
Mendengar ini, Nurmaya merasakan getir di dadanya, tetapi sekaligus rasa lain yang saling bercampur: terpesona oleh ketampanan sang remaja laki-laki, prihatin, sekaligus senang dengan kehadirannya.
“Aku ada sedikit makanan buat kau. Tapi, ehm … bisa kan kita bertemu di belakang pohon beringin ini nanti malam? Aku akan berikan kau makanan. Kau masih bisa bertahan?”
“Kau sungguh-sungguh, bukan? Aku tak akan langsung mati kalau menunggu sampai malam.”
Nurmaya tersenyum lebar, sangat cantik. Ia bahkan tergelak. Sepasang dadanya bergoyang-goyang berirama.
Ashin ikut tertawa, lega karena ia akan makan malam ini, dan senang dengan pemandangan yang ia lihat.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next