Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Malam telah larut dan jam dinding di butik itu menunjukkan pukul sembilan lebih. Aku berdiri di depan pintu, bersiap untuk meninggalkan butik setelah sehari penuh mengatur berbagai urusan.
Pak Maman, penjaga butik yang juga menjadi semacam penjaga keamanan di sini, duduk di kursi sambil membaca koran dengan kacamata yang terletak di ujung hidungnya. Istrinya, Ibu Tutik, sibuk merapikan beberapa baju yang baru saja kami terima dari pemasok.
Kehadiran mereka berdua di butik bukan hanya sekadar untuk menjaga, tetapi juga memberikan rasa aman sejak kejadian pencurian yang merugikan itu.
Butik ini bukan hanya tempat bekerja tetapi telah menjadi bagian dari kehidupan mereka, terutama saat akhir pekan ketika mereka berdua bisa kembali ke rumah untuk berkumpul dengan anak-anak mereka.
"Sudah malam, Bu. Hati-hati di jalan ya," ujar Pak Maman seraya meletakkan korannya dan menyesuaikan posisi kacamata.
"Terima kasih, Pak Maman. Tolong kunci pintunya ya setelah saya keluar," sahutku sambil mengambil tas dan kunci mobil.
Ibu Tutik, dengan senyumnya yang lembut, menambahkan, "Awas di jalan, banyak motor yang suka ngebut. Jangan lupa makan malam."
Aku mengangguk, memberikan senyuman terakhir sebelum melangkah keluar butik. Suara kunci pintu yang dikunci dari dalam menandakan bahwa malam itu, butik sudah sepenuhnya diserahkan kepada penjaga yang terpercaya.
Dengan perasaan lega dan kelelahan yang bercampur, aku melangkah menuju parkiran, siap untuk kembali ke rumah setelah seharian berada di butik.
Jalanan malam itu sunyi, hanya ditemani oleh gemerlap lampu jalan yang berbaris rapi sepanjang jalan. Suara mesin mobil yang lembut menjadi pengiring soliter dalam kesunyian yang meliputi. Aspal yang mengkilap terlihat oleh sinar lampu depan mobil, memantulkan cahaya seperti permadani hitam yang terhampar luas di depan mata.
Di dalam mobil, cahaya dashboard berpendar lembut, menciptakan kilauan redup yang menambah kesan misterius pada perjalanan malam itu. Kursi pengemudi yang empuk menopang dengan nyaman, sedangkan kaca jendela menampilkan panorama malam yang bergerak lambat seiring laju mobil.
Udara dingin dari luar beradu dengan hembusan hangat dari pengatur suhu di dalam mobil, menciptakan keseimbangan yang pas untuk perjalanan yang tenang.
Sesekali, suara klakson dari kejauhan atau derit roda kereta di rel yang tidak terlihat menjadi pengingat bahwa dunia di luar masih terus bergerak, meskipun di dalam mobil, waktu seakan berjalan pada irama yang berbeda.
"Tidak seperti biasanya, aku merasakan rasa takut yang mendalam saat pulang ke rumah, "Ada yang tidak beres," gumam Rania.
Aku menatap ke arah spion mobil, berniat menyalip kendaraan di depanku. Namun, mobil yang ada di belakangku tampaknya juga ikut menyalip.
Mencoba tetap tenang, aku berpikir positif, mungkin saja mobil di belakangku memang memiliki tujuan yang sama denganku. Namun, semakin lama, mobil tersebut terus mengikuti langkahku.
Bahkan ketika aku mencoba berhenti, mobil itu juga ikut berhenti. "Ini benar-benar tidak beres," seruku dengan keras.
Aku melajukan mobilku kembali dengan kecepatan tinggi, diikuti oleh mobil misterius itu yang juga melaju dengan kecepatan tinggi. Dalam kepanikan, aku segera mencoba menelepon Kevin.
Aku tahu bahwa pada jam-jam seperti ini, dia mungkin sedang bertugas dan tidak membawa ponselnya. Namun, aku tetap berusaha menelepon Kevin, berharap ada yang mengangkat.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa mobil ini terus mengikuti langkahku? Apakah ada yang mengincar hidupku?" pertanyaan-pertanyaan itu bergejolak dalam pikiranku, menciptakan rasa panik yang semakin menjadi.
terkejut dan ketakutan. Sesaat, aku melihat ke depan, sosok mobil yang tadi mengejarku itu kini terparkir tepat di depanku, menghalangi jalan keluar. Wajahku pucat, jantungku berdebar kencang, tanganku gemetar. Kulihat seorang pria turun dari mobil tersebut, dia berjalan mendekati mobilku.
Pikiranku melayang ke segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. "Apa yang harus aku lakukan?" gumamku dalam hati. Keringat dingin mulai mengalir di dahiku, mataku terus mengawasi gerak-gerik pria tersebut.
Tiba-tiba, ponselku bergetar di kursi penumpang, menunjukkan panggilan masuk dari Kevin. Aku segera mengangkatnya dengan tangan yang masih bergetar.
["Kevin, tolong, ada orang yang mengejarku dan sekarang dia sudah di depan mobilku!"] suaraku bergetar tak menentu.
Kevin dengan cepat merespon,[ "Tetap di dalam mobil, kunci pintunya, dan jangan turun. Aku sudah di jalan menuju ke sana. Tahan sebentar, aku segera sampai!"]
Mendengar kata-kata Kevin, sedikit ketenangan menghampiri, namun ketakutan masih bercokol di dada. Aku menatap tajam ke arah pria yang kini semakin dekat, berharap bantuan akan tiba sebelum sesuatu yang buruk terjadi.
"Adnan?" Terkejutku ketika menyadari bahwa pria di hadapan mataku adalah Adnan.
"Ada apa dia di sini?" gumamku tak mengerti.
Tok tok...
Suara ketukan Adnan pada kaca mobil membuatku terlonjak kaget. Wajahnya terlihat sangat menyeramkan, "Keluar kau, Rania, pulang sekarang! Aku masih suamimu," teriak Adnan dengan penuh amarah.
"Tidak! Aku tidak mau!" sahutku dengan nada keras.
Sementara itu, Adnan terus mengetok pintu mobil dengan arogan, bahkan mencoba membuka pintu mobil secara paksa.
"Apa yang kau mau sebenarnya, Adnan!" geramku, kesal melihat tingkahnya.
"Keluar!!!" pekik Adnan dengan mata menyirat ancaman, "Kalau kamu tetap di dalam, aku pastikan Naura tidak akan baik-baik saja." Ucap Adnan dengan nada dingin dan menyeramkan.
Di saat itulah, kekhawatiran mulai memenuhi benakku dan mencari cara terbaik untuk menghadapi Adnan yang sangat aneh itu.
Aku benar-benar tidak mengerti kenapa perasaanku tiba-tiba bergejolak ketika mendengar kata Naura. Tapi, saat itu juga aku memutuskan untuk keluar dari mobil.
"Apa yang kamu inginkan, Adnan?" kesalku, mencoba mengendalikan diri. Tak terduga, Adnan langsung memelukku erat.
Aku mendorong tubuhnya, tak sanggup menahan rasa gugup. "Apa maksudmu, Adnan? Berhentilah!"
"Rania, aku masih suamimu, dan aku sangat merindukanmu," ujar Adnan dengan pandangan penuh nafsu.
Hatiku serasa bergetar, bukan karena rasa cinta, tapi karena ketakutan akan perlakuan Adnan. Kutarik napas panjang, lalu kembali mendorong tubuh Adnan sekuat tenaga.
"Jangan seperti itu, Adnan! Hargailah aku.." ucapku, menahan amarah.
Namun, Adnan seolah tak mengerti dan kembali mendekat. "Sayang, aku sangat ingin tidur denganmu malam ini," rayunya.
Aku merasa tidak berdaya dan takut, tapi tetap berusaha menolak. "Tidak, Adnan! Aku tidak ingin! Lepaskan aku!" pekikku saat Adnan kembali mencoba menarik lenganku.
"Jangan buat aku jadi nekal, Rania!" teriak Adnan dengan suara yang penuh emosi.
Aku merasa bingung dan sedih, mengapa ia harus mengendalikan perasaan ini sekarang juga? Pikiranku mulai berkecamuk, apa yang akan ia lakukan selanjutnya?
"Aku mohon, Adnan, lepaskan aku. Pergelangan tanganku sangat sakit," keluhku, mencoba untuk memohon pengertian dari Adnan.
Aku merasakan pergelangan tanganku mulai membengkak dan merah, mengindikasikan kekuatan cengkraman Adnan yang begitu keras.
*****
kebahagian mu rai...ap lg anak mu mendukung ?
bahagia dan hidup sukses ...