Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Keributan itu terjadi di gedung Juang yang cukup luas, namun terasa begitu sempit oleh pertikaian yang sedang berlangsung. Adnan, dengan raut wajah yang keras, berjalan ke arah kami seperti badai yang hendak menghancurkan segalanya.
Matanya yang tajam menatap langsung ke arah putrinya, Naura, yang saat itu digendong oleh Kevin.
"Lepaskan anakku" lantang Adnan
"Gak mau, lagian papah ngapain ke sini, Naura gak butuh papah datang kok," ucap Naura dengan suara tinggi dan tatapan yang tidak kalah ketus. Kegigihan dalam nada suaranya mencerminkan kekecewaan yang mendalam terhadap sosok ayahnya.
"Naura," seru Adnan dengan suara yang mencoba menenangkan, namun tetap terdengar keras.
Dia mengulurkan tangan, berharap putrinya mau mendekat, tapi Naura hanya melirik sebentar ke arahnya dan langsung mengalihkan pandangan.
Kevin, yang merasa situasi semakin tidak nyaman, perlahan menurunkan Naura. Ia berusaha menjadi penengah, tetapi usahanya tampaknya sia-sia di tengah ketegangan yang memuncak.
Sandra, yang berdiri tak jauh dari mereka, mencoba memasukkan kata-kata, "Sopan banget kamu Naura! Ini yang diajarkan mamah kamu?" ujarnya dengan nada mencela yang jelas-jelas memperkeruh keadaan.
"Diam kamu Tante, gara-gara Tante papah gak sayang lagi sama aku! Papah nyakitin aku dan mamah! Semua gara-gara kamu, perempuan jelek!" balas Naura tanpa menyembunyikan amarahnya.
Kata-katanya seperti pisau yang ditujukan langsung ke hati Sandra, membuat wanita itu terdiam sejenak, terpukul oleh kebenaran pahit yang diucapkan oleh seorang anak kecil.
Adnan, yang mendengar semua itu, hanya bisa menghela napas dalam, merasakan bobot dari setiap kata yang dilontarkan putrinya.
Kegagalan dalam menjaga keutuhan keluarganya kini terpampang nyata, memperlihatkan luka yang mungkin takkan pernah sembuh.
"Tidak begitu nak, papah sayang selalu sama Naura, jangan pernah berpikir papah tidak sayang sama kamu," katanya berusaha meyakinkan putriku.
"Bohong!" seru Naura dengan air mata yang menetes.
"Gak bohong, nak," ujarnya semakin yakin.
Namun, Naura tetap tidak bisa menerima kebenaran, "Papah itu sangat jahat, tidak punya hati! Demi perempuan itu, papah gak lagi sama mamah! Mamah sering nangis gara-gara papah! Sampai kapan pun, Naura gak akan maafin papah," teriaknya langsung berlari pergi.
Hatiku merasa hancur saat mendengar ucapannya yang penuh kekecewaan. Aku menatap tajam Adnan, orang yang menjadi biang keributan ini, lalu mengalihkan pandanganku ke Sandra, perempuan yang merusak kebahagiaan keluarga kami.
Senyum sinis pun terlontar padanya. Segera aku membalikkan tubuhku, berjalan mengejar Naura. Aku bersama Kevin, berusaha menemukan Naura yang kini keluar dari gedung juang.
Kesal rasanya dengan kehadiran Adnan, gara-gara dia, Naura jadi sedih padahal seharusnya ia bahagia karena memenangkan perlombaan ini.
"Apakah aku seburuk itu sebagai ayah hingga Naura bisa melihat keberpihakan aku kepada perempuan lain? Aku merasa terpukul dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan hubungan keluarga ini dan memberikan kebahagiaan yang seutuhnya pada putriku, Naura." Seru Adnan di belakangku
Mendadak, aku menghentikan langkahku, menoleh ke belakang dan melihat wajah Adnan, pria yang tak pernah mau berubah. Perasaanku bergejolak saat aku meresapi kekesalanku terhadap perilaku Adnan yang baru saja terungkap.
"Adnan! Bisakah kau berhenti berkata seperti itu? Kau memang menjadi ayah yang sangat buruk untuk Naura, kau sangat payah ! Dan cukuplah berpura-pura ingin memperbaiki diri demi mengembalikan keluarga kita seperti dulu! Jangan beri Naura harapan palsu, karena kita takkan bisa bersatu lagi!" seruku, penuh penekanan dan amarah.
Perasaan jengkel dan sedih pun berkecamuk di dalam hatiku. Aku merasa semakin lelah dengan segala kelakuan Adnan yang tidak bisa berubah. Masa lalu yang dulu kami jalani bersama telah menjadi kenangan pahit yang mengerikan bagi diriku dan Naura.
"Jangan egois kamu, Rania! Naura membutuhkan kita!" Terdengar seruan Adnan yang membuatku ingin menampar wajahnya yang menyebalkan itu.
Aku menghela napas panjang, lalu menjawab dengan penuh amarah, "Egois? Kata kamu egois? Adnan, kemana saja selama ini kamu? Apa yang kamu lakukan itu hanya menyakiti aku dan Naura! Dan sekarang dengan entengnya kamu bilang aku egois?!"
Aku menggelengkan kepala dengan perasaan tidak terima. Sementara itu, Sandra terlihat memanyunkan bibirnya. Aku yakin dia sedang cemburu. "Lihatlah perempuan di sebelah kamu itu, Adnan. Dia sedang hamil anakmu! Nikahkan dia, jadilah pria yang bertanggung jawab!" ucapku tegas, menatap Adnan dan Sandra secara bergantian.
Mereka berdua terdiam. Tanpa menunggu reaksi mereka, aku segera menarik tangan Kevin yang sejak tadi diam saja. Kami pun kembali mencari keberadaan Naura. Akhirnya, kutemukan dia sedang duduk sambil mengusap air matanya.
Hatiku begitu teriris melihat wajah Naura yang kecewa. "Naura," lirihku. Mendengar namanya disebut, Naura menatapku dan langsung berlari memelukku erat.
"Mah, jangan paksakan aku untuk baik sama Papah," ujarnya dengan suara yang sendu dan sayu.
Aku hanya bisa mengangguk ketika melihat keadaan Naura yang sedang labil. Hatinya nampak tak baik-baik saja. Naura melepaskan pelukan pada Kevin dan menatapnya dengan wajah nanar.
"Om Kevin," lirih Naura dengan suara bergetar.
"Iya, nak?" Kevin tersenyum lemah sambil mengelus lembut rambut Naura, mencoba memberi ketenangan.
Di tengah tangisnya yang tak bisa ditahan, Naura berkata, "Maafkan Naura ya, Om. Kalau Naura suka banyak minta aneh-aneh sama Om, itu karena Naura menginginkan sosok ayah seperti Om Kevin. Tapi, ayahku sendiri gak bisa jadi seperti yang aku harapkan." Naura terisak semakin keras, menahan rasa kecewa yang mendalam.
Aku, yang menyaksikan situasi ini, merasa sedih dan ingin memberi dukungan kepada Naura. Aku juga paham betapa Naura merasa kekurangan akan kasih sayang dari seorang ayah.
"Naura, apapun yang terjadi, kamu harus tetap kuat ya. Teruslah berjuang dan ingatlah bahwa kamu tidak sendiri. Kamu punya kami yang peduli dan akan selalu ada di sampingmu," batinku
Naura menatap mata Om Kevin dan berkata, , "dengarkan baik-baik ya Naura,.om nggak pernah keberatan kok, kalau Naura menginginkan om menjadi seperti papah Naura. Aku senang loh Naura," ujar Kevin
"Naura sayang Om Kevin." Kata-kata Naura membuatku terharu dan air mata pun berlinang di mataku.
Aku tak bisa menahan perasaan lega yang bercampur bahagia saat mendengar ucapan Naura. Kuusap air mataku dan tersenyum pada Naura. Naura melepaskan pelukannya, lalu menatapku dan Om Kevin.
"Ayo masuk ke dalam, ,," ajak Naura sambil tersenyum ceria.
Wajah murung yang sempat menyelimuti Naura kini sudah hilang sepenuhnya. Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, jarum pendek dan panjangnya menunjukkan angka sebelas.
Aku seharusnya sudah berada di ruangan rapat, menghadiri pertemuan penting. Namun, di saat seperti ini, aku merasa lebih penting untuk menyampaikan perasaanku pada Naura, putri kecilku yang telah berjuang sekuat tenaga untuk bertahan dalam cobaan hidup ini.
"Tidak apa-apa, demi Naura," bisikku dalam hati, membulatkan tekad untuk memberikan yang terbaik untuk putriku.
****