Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Setelah seminggu terlihat sangat berduka, Gerry mulai merasa bosan. Senyum mempesonanya kembali menebar.
Ia yang sudah kembali bekerja seperti biasa mulai sering hilang dari kantor. Setiap kali Handoko menegurnya ia akan mengatakan,
"Aku ke makam Nara, Pa. Aku nggak kuat." katanya menghiba. Handoko akan kembali memakluminya.
Hidup terus berjalan. Satu bulan setelahnya Gerry sudah terang - terangan menerima Maya di kantornya. Semua karyawannya mulai bergosip di belakangnya.
"Belum kering tanah kuburan Ibu Nara, tapi Pak Gerry sudah mendua." Ada bisikan dengan nada prihatin. Iba akan nasib Nara.
"Tapi ceweknya yang sekarang cantik banget. Sexy pula. Namanya laki - laki, kan?" ada yang mencoba memaklumi. Tentu saja yang bicara itu sejenis dan sebangun dengan Gerry, laki - laki yang tidak banyak berpikir dan hanya menuruti nafsunya.
"Namanya juga pengki naik ke bale." ada yang mencemoohnya dengan terang - terangan.
Gerry dulu adalah karyawan biasa - biasa saja. Sama sekali tidak berprestasi. Tapi karena Handoko melihat ketampanannya dan juga rasa percaya dirinya yang tinggi, ia meminang Gerry untuk putrinya, Nara dengan iming - iming jabatan CEO di perusahaannya.
Gerry tentu saja tidak menolak. Siapa yang dapat menolak Nara, putri tunggal pemilik perusahaan yang sudah memiliki nama besar di blantika bisnis?
Masa berkabung bagi Gerry sudah lewat sedang Handoko menghabiskan waktunya untuk pergi tak tentu rimba. Tidak ada yang mengetahui kepergian Handoko karena ia membawa mobilnya sendiri.
Gerrypun semakin berkuasa. Ia tak lagi mempedulikan keberadaan mertuanya.
Hari ini, setelah dalam masa berpikir yang cukup panjang, setelah mendapat izin dari Tikno, Dirga memutuskan untuk menghubungi Handoko.
Berdering..
Berdering..
Berdering..
Dirga mulai putus asa. Ia hendak mematikan panggilan ponselnya saat terdengar suara berat Handoko.
"Ya? Selamat siang?" tiba - tiba Dirga merasa gugup.
"Assalaamu'alaykum, Pak. Maaf, Saya Dirga." Handoko terhenyak. Dirga?
"Wa'alaykum Salam. Dirga, kenapa Kamu baru menghubungiku sekarang?"
Dirga merasa tidak enak hati. Ia menelan salivanya berkali - kali untuk mengatasi rasa gugupnya.
"Maaf, Pak. Bapak sedang dalam suasana berduka. Jadi Saya.."
"Bisa Kamu datang ke kantor Saya, sekarang?" tegas pak Handoko. Ganti Dirga yang terhenyak.
"Sekarang, Pak?"
"Ya. Sekarang!"
"Tapi Saya belum menyiapkan berkas untuk CV Saya, Pak." jawab Dirga dengan harapan yang nyaris putus.
"Nggak perlu. Saya yang akan langsung interview Kamu. Kamu hanya perlu datang, sekarang."
"Baik, Pak." jawab Dirga. Saat Handoko memutuskan panggilan, ia segera berpamitan pada Tikno.
"Kemana?" tanya Tikno.
"Aku mau interview, sekarang." bola mata Tikno membesar.
"Pak Handoko? Atau.." Dirga memang mengirimkan banyak lamaran ke berbagai perusahaan. Sudah sejak lama, tapi belum ada yang memberi jawaban.
Dirga mengangguk.
"Ganti dululah bajumu." saran Tikno.
"Aku nggak sempat. Aku takut Pak Handoko terlalu lama menunggu."
"Sob, kalau begini Kamu seperti nggak menghargainya." Dirga menatap kaos yang dikenakannya dan mengakui bahwa itu sangat tidak layak untuk melakukan interview di perusahaan manapun. Tapi bagaimana?
Tikno mengerti kegundahan Dirga. Ia mengeluarkan kemeja dari dalam lacinya. Kemeja yang masih ada dalam kotaknya.
"Pakai ini. Kirana yang taruh di sini, persiapan kalau Aku ada meeting dadakan dan Aku malas pulang." Tikno menyerahkan kemeja itu ke tangan Dirga yang menerimanya dengan mulut ternganga.
"Tapi ini.."
********************
Dirga ingin protes tapi ia tau Tikno tidak akan menanggapinya.
"Kita kan seukuran. Cepat pakai, nanti telat." Tikno membantu Dirga melepaskan kemejanya.
"Aku bisa sendiri. Emangnya Aku cowok apaan?" omel Dirga. Tikno tertawa.
"Kelamaan!" katanya memaksa. Akhirnya kemeja itu sudah dikenakan dengan sempurna.
"Nah, gini baru profesional." matanya memandang kagum pada Dirga yang langsung terlihat berbeda. Aura kharismatiknya langsung memancar keluar.
"Profesional dalam hal meminjam." umpat Dirga seraya meraih kunci motor.
"Jangan suruh Aku pinjam mobilmu. Aku udah kenyang pinjam meminjamnya. Takut muntah." katanya seraya bergegas meninggalkan Tikno.
Tikno menggeleng - gelengkan kepalanya. Ia sungguh sangat menghargai Dirga yang begitu kukuh pada prinsipnya. Tidak ingin selalu membebani orang lain.
Dirga melarikan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia tidak ingin Handoko kesal karena terlalu lama menunggunya.
Ia tiba di kantor milik Handoko dan memarkirkan motornya.
Seorang security menghampirinya saat ia berjalan ke depan kantor.
"Ada yang bisa Saya bantu, Pak?" tanya security itu sopan.
"Saya ada janji dengan Pak Handoko." jawab Dirga tak kalah sopan.
"Handoko yang mana, ya? Itu juga namanya Handoko." secutity itu menunjuk teman sesama securitynya.
"Oh, bukan. Saya ada janji dengan Pak Handoko, pemilik perusahaan ini."
"Oh, Pak Handoko belum ada di kantor." sahut Security itu. Dirga membaca nama di dadanya. Aman Santoso.
"Tapi Saya udah janji, Pak Aman."
Gerry dan Maya keluar dari lift dan berjalan menuju pintu keluar.
"Ada apa, Pak?" tanya Gerry pada Pak Aman. Ia melihat Pak Aman berbicara serius dengan Dirga.
Maya dan Dirga sama - sama terkejut. Tapi mereka lalu saling membuang pandangannya. Seolah tidak saling mengenal.
'Dirga kok jadi keren banget.' puji hatinya tanpa sadar. Kemeja baru dari Tikno memang berhasil merubah penampilan Dirga.
"Ini, Pak. Ada yang ingin bertemu dengan Pak Handoko." jelas Pak Aman.
"Saya bilang Pak Handoko belum datang, atau tidak datang, tapi orang ini berkeras udah ada janji sama Pak Handoko, Pak." kata pak Aman lagi.
"Kenapa? Ingin melamar jadi office boy?" Maya menjebik. Ia ingin menjatuhkan mental Dirga.
Dirga tak bergeming. Ia sama sekali tidak mengindahkan Maya.
Gerry menatap Maya mencoba memberi peringatan lalu kembali menoleh pada Pak Aman.
"Apa barangkali Papa mau ke sini?" tanya Gerry. Ia mulai merasa gelisah.
"Saya kurang tau, Pak." jawab Pak Aman sopan. Sangat sopan bahkan. Ia sampai membungkukkan tubuhnya.
"Ya udah. Suruh tunggu aja di lobby." titah Gerry. Ia lalu menoleh pada Maya.
"Kita nggak jadi keluar ya, Sayang? Aku takut Papa benar - benar datang." Dirga seperti membeku di tempat.
Jadi ini kekasih Maya? Apa Dia yang membuat maya mendesah waktu itu?
"Kenapa memang kalau Papa mertuamu datang? Kamu bisa mengenalkan Aku, kan?" suara Maya terdengar manja. Ia memang sengaja membuat Dirga panas.
"Belum waktunya, Sayang. Please ngertiin Aku?" bujuk Gerry.
"Terus Aku pulang sendiri?" rajuk Maya seraya melirik Dirga.
Dirga melayangkan tatapannya ke langit - langit. plafon kantor itu lebih menarik perhatiannya.
"Nggak, dong." jawab Gerry. Lalu ia berbisik pada Aman yang bergegas melaksanakan perintahnya. Tapi sebelum itu,
"Mari, Pak. Saya antar Bapak ke dalam." Dirga mengangguk dan berjalan mengikuti gegas langkah Pak Aman.
Sebenarnya ada di mana Pak Handoko? Kenapa ia menyuruhnya datang?
Surga mulai menunggu dengan perasaan kurang nyaman.
*****************