Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba Menerima Fakta
Ucapan Ibu kemarin membuatku terhenyak, kenapa Ibu berkata seperti itu. seolah-oleh dia tahu kalau Krisna sudah menikah. Tetapi aku sudah bertekad untuk melupakan Krisna dan mencari calon suami. Kata orang, obat patah hati yang paling ampuh itu, ya dengan hati yang baru. Sepertinya, aku harus segera menikah. Agar Krisna bisa berbahagia dengan istrinya, dan aku pun bisa melupakan kisah yang terjalin di antara kami.
“Serius lu lagi cari jodoh?” Fanny, salah satu temanku dulu bertanya ketika kami sedang berkumpul di acara pernikahan Lia. Kebetulan Lia, Fanny dan aku pernah cukup dekat karena situasi pekerjaan.
“Iya. Nggak usah yang muluk-muluk, yang penting baik dan sayang sama anak gue.” Tambahku lagi.
“Kayaknya ada deh temen gue yang jomblo. Kebetulan kemarin gue baca statusnya galau mulu. Ntar gue kabarin ya.”
Sejak itulah aku mengenal Riko. Pria yang dikenalkan Fanny untukku. Yang kepadanya kugantungkan banyak harapan. Bukan secara materi, tetapi kasih sayang untuk Aksa. Ketika aku bertemu dengan Riko pertama kali, aku sedang bekerja di Bogor. Memang pekerjaanku kala itu hanya bersifat kontrak sampai proyek selesai, tapi gajiku lumayan, masih cukup untuk memenuhi kebutuhan Aksa dan Ibu. Pemberian dari Krisna sudah kutolak secara baik-baik sejak aku mengundurkan diri dari kantor Sub divisi Tangerang.
Ketika Riko memintaku untuk berhenti bekerja, aku pikir dia akan menjadi sayap kananku. Yang bisa membantu membiayai Aksa dan Ibu. Ternyata aku salah. Semua yang Riko tampilkan sebelum kami menikah, bertolak belakang dengan sifat aslinya.
"Mih, Mamih ... mamam!" Arkana berceloteh dan menepuk-nepuk pundakku. Berapa lama aku terbuai dalam lamunan tentang Krisna? Mahluk kecil dan lucu di hadapanku ini, membuatku terjaga kembali. Aku segera melangkah ke dapur, menyiapkan makanan untuk Arkana.
"Mbak, aku ambil sebagian piring dan alat alat masak yang lain ya?" Ria yang masih menata lantai dua sejak beberapa hari ini, rupanya membuat dapur di atas. Dia tidak mau satu dapur denganku. Aku tidak mau ambil pusing. Barang-barang di rumah ini, semua Yangti yang punya. Meskipun katanya sudah diberikan padaku.
"Iya, ambil aja Ri." Aku melanjutkan menyiapkan makanan untuk Arkana, lalu menyuapinya sampai selesai.
"Oh ya, meja yang dekat pintu kamar, gak dipake kan? Aku angkat ke atas ya, buat meja TV." Ria juga membuat ruang keluarga di lantai atas. Kamar mandi, 3 kamar tidur, ruang jemuran, dapur, balkon. Semuanya lengkap. Rumah ini seperti dua bangunan yang dibagi. Hanya saja, tangga dari lantai atas masih nyambung dengan ruang tamu lantai bawah.
Di mana Riko? Ah ya. Riko membuka bengkel di depan rumah dan mulai bekerja dengan normal. Konsumen setianya sejak dulu, mulai sering berdatangan ke rumah ini. Service kendaraan, atau meng upgrade kendaraannya. Aku tidak paham dengan istilah-istilah otomotif yang sering diceritakan Riko.
"Ria, mau dibantu?" Setelah menyuapi Arkana dan menidurkannya, aku naik ke atas menghampiri Ria. Ada perasaan kurang enak karena Ria sepertinya ingin memisahkan diri dari kami.
"Eh, Mbak. Udah selesai kok. Tuh jadi bagus dan rapi kan?"
"Iya, bagus. Tapi kenapa harus buat dapur segala? Sayang buang-buang uang." Aku memang merasa kurang efektif membuat dapur di atas. Karena, dapur di bawah lebih lega. Kami bisa masak bergantian jika selera masakan kami berbeda.
"Aduh, maaf ya Mbak. Aku tuh paling gak bisa masak di dapur bekas orang lain. Apalagi dapur di bawah kan kotor, ditambah banyak gelas yang numpuk di bak cuci. Aku gak bisa di lantai bawah. Maaf."
Sedikit tersinggung dengan jawaban Ria, tapi aku berusaha memakluminya. Standar kebersihan dan kerapihan kami memang berbeda. Segala benda di rumah ini harus terlihat rapi dan presisi. Tempat tidur yang rapi dengan sprei tanpa kerutan sedikit pun, kursi dan meja yang sejajar, atau hal lainnya. Sampai menjemur pakaian pun, harus berurutan sesuai warna dan ukuran.
Rasanya, aku tak mampu mengikuti kesempurnaan Ria. Bagiku, yang penting rumah itu bersih, tidak berbau dan berdebu. Apalagi dengan adanya anak kecil, sulit jika ingin rapi dalam jangka waktu yang cukup lama. Belum lagi kebiasaan Riko, yang sampai saat ini seringkali membuang abu rokok dan puntung sembarangan.
"Assalamualaikum, Din. Apa kabar?" Aku mencoba menyapa Dini melalui WhatsApp. Cukup lama aku tidak mendengar kabar darinya.
"Waalaikumsalam, Rainaaa. Kemana aja lu?" Gue sehat, lu gimana?"
"Alhamdulillah baik. Gimana kerjaan, lancar?"
Pertanyaan itu sebenarnya hanya pembukaan. Aku berharap ada kabar tentang Krisna yang meskipun jelas-jelas diberitakan meninggal.
"Lancar, Na. Eh, gue dipanggil Bos dulu ya. Tar lanjut lagi."
Sedikit kecewa dengan jawaban Dini, aku kembali menatap Arkana. Matanya terpejam dengan tenang. Pipinya yang putih membuatku gemas dan ingin menciumnya.
"Mih, Mamih!" Sejak kamu rujuk. Riko memanggilku dengan panggilan yang berbeda. Kadang 'Sayang', 'Mamih', atau 'Raina'. Penyebutan 'Mamih' karena anak-anak memanggilku dengan kata itu.
"Ya, Mas!" Aku menghampiri Riko ke meja makan. Sudah pukul sepuluh malam, Riko masih sibuk dengan ponselnya.
"Aku lapar lagi, bikinin roti bakar dong!"
Tanpa banyak bicara, kubuatkan roti bakar dengan selai coklat dan mentega.
"Sini, temenin!" Riko menyuruhku duduk berhadapan di meja makan. Kuperhatikan mulutnya mengunyah roti dan matanya tetap menuju layar ponsel.
"Alka mau liburan ke sini. Besok aku jemput dia. Kamu gak apa-apa ditinggal? Kerjaan kamu gimana?"
"Enggak masalah. Aku bisa titip Arkana ke Ria. Besok aku ke kantor sebentar. Jam dua atau jam 3 siang, insya Allah sudah di rumah."
"Bener, gak apa-apa? Atau kamu mau ikut jemput Alka?"
"Gak usah. Aku bisa sendiri, Mas. Lagian, aku harus ke kantor. Ada laporan yang belum selesai dan harus review langsung."
Riko sepertinya masih ketakutan meninggalkanku dalam jangka waktu yang lama. Tapi aku tidak ingin memperpanjang masalah. Aku biarkan dia pergi menjemput anaknya sendiri.
Karena ingin menghindari macet, Riko pergi lebih awal. Sekitar pukul 2 dini hari, Riko sudah bersiap lantas pergi setengah jam kemudian. Aku yang masih terlelap, terpaksa bangun dan mengunci pintu setelah Riko pergi.
"Ria, aku mau ke kantor hari ini. Bisa titip Arkana sampai siang?" Selepas subuh, aku menghampiri Ria ke lantai 2. Ria juga sudah bangun dan sedang menyiapkan bekal untuk anaknya.
"Wah, aku gak bisa Mbak! Aku harus antar anak ke sekolah."
"Bukannya anakmu biasa ikut jemputan sekolah?"
"Hemm ... Hari ini ada pertemuan dengan guru, jadi aku harus ke sekolah."
Cukup terkejut mendengar jawaban adik iparku yang di luar dugaan. Selama ini, kami begitu dekat dan terbiasa saling membantu dalam banyak hal. Tidak jarang, Ria menitipkan anaknya jika dia sibuk berkumpul dengan teman-temannya.
Keterkejutanku yang kedua, Ria biasanya antusias urusan Arkana. Dia sangat memanjakan anakku yang bungsu itu. Tapi mengapa hari ini berbeda.
Perubahan sikap Ria memang kurasakan sejak suaminya meninggal. Aku pikir itu hanya sementara, ternyata berkepanjangan.