Siapakah gadis kampung bernama Lily ini, sehingga Eko Barata memberikan syarat kepada tiga puteranya? Untuk mendapatkan hak waris kekayaan Barata, salah satu dari mereka harus berhasil menikahi Lily.
"Ingat! Papa tidak akan memberikan kalian warisan jika salah satu dari kalian tidak bisa menikahi Lily, camkan itu!" kata Eko Barata tegas.
Syarat yang diberikan Eko Barata terdengar konyol bagi banyak orang. Mereka menganggap Lily tidak pantas menjadi menantu keluarga Barata. Namun, ketika satu per satu kemampuan hebat Lily terungkap, dia berhasil membungkam semua mulut yang menyepelekannya.
Siapa sebenarnya Lily, dan apa rahasia di balik kehebatannya? Temukan jawabannya dalam "Lily: Rahasia Gadis Kampung".
Selamat membaca ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuhume, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Lily terdiam sejenak, lalu Agam merasa dorongan magnetik yang kuat membuatnya ingin mendekat. Wajahnya semakin mendekat, namun tiba-tiba Lily tersenyum dan mengubah suasana.
“Baiklah, aku setuju,” ucap Lily dengan penuh keleluasaan.
“Aku pikir kau tidak akan setuju, karena aku belum berusaha mengejarmu. Bukankah itu syarat utama agar aku bisa berpacaran denganmu?” tanya Agam, merasa heran.
Spontan, Lily memegang kedua pipi Agam, membuat wajahnya terlihat menggemaskan dengan bibir yang seperti ikan koi. “Tuan Agam Barata, menunggumu untuk mengejarku itu terlalu lama. Kau benar-benar sangat kaku,” ucap Lily dengan senyum manis.
Malam itu, mereka berdua saling bercerita dan tertawa bersama, menikmati kebersamaan mereka. Ketika larut malam, Agam ingin mengantar Lily pulang ke kediamannya, namun Lily berusaha menghindari rencana tersebut. Setelah berdebat, mereka akhirnya sepakat pulang dengan arah yang berbeda.
“Kau lihat cincin ini? Sama seperti Ferdi, ketika aku menekannya, itu berarti aku dalam bahaya. Berikan ponselmu, aku akan menghubungkannya,” jelas Lily dengan serius.
Agam menyerahkan ponselnya yang sangat polos, tanpa kode pengaman. Lily hanya menggelengkan kepalanya, tidak mengerti bagaimana Agam bisa begitu cuek dengan ponselnya yang sangat rentan terhadap ancaman digital.
“Tidak ada yang akan berani melakukan itu,” ucap Agam membela dirinya.
“Ya, ya, ya, terserah kau saja,” balas Lily dengan nada skeptis.
Lily mengembalikan ponsel Agam dan menunjukkan bahwa cincin dan ponselnya sudah terhubung. Setelah berpamitan, Lily menaiki taksi. Agam tersenyum, merasa yakin bahwa meskipun Lily tidak memberitahunya alamatnya, dia bisa mengaksesnya menggunakan aplikasi yang telah Lily sematkan.
Namun, ketika Agam mencoba mencari lokasi Lily, peta tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaan Lily. Dia segera menghubungi asisten kepercayaannya untuk mencari lokasi pemilik cincin tersebut.
“Baik, tuan,” jawab asisten.
Agam duduk di mobilnya, menunggu dengan sabar informasi dari asistennya. Dengan kesabaran tipis, dia menelepon kembali.
“Tuan, tim hacker perusahaan kita sudah berusaha maksimal, tapi mereka belum berhasil menemukannya,” lapor asisten.
“Ah, sial!” Agam merasa frustrasi dan putus asa. “Lily, bagaimana kau bisa melakukan ini?” ucapnya dengan nada kesal.
----------------
Di tempat lain, di sebuah hotel mewah, Lily tersenyum sambil meneguk minumannya, menikmati pemandangan lampu kerlap-kerlip ibu kota dari jendela. “Agam, kau tidak akan bisa menaklukkan sistemku kecuali aku mengizinkannya,” gumam Lily dengan puas.
Agam terlihat sangat tertekan dan letih saat menjelaskan kondisi ibunya kepada Lily. Dalam suaranya terdapat kesedihan mendalam, diiringi dengan nada putus asa. "Ibuku saat ini kembali koma, dan dokter Ongor, satu-satunya yang bisa menyembuhkan penyakit sistem saraf di kepalanya hanya dia," kata Agam dengan ekspresi sedih yang tidak bisa disembunyikan. "Tulang bagian kepala ibuku terkena benturan, terinfeksi, dan ada sebuah virus yang melekat, membuat sistem imun dan kesadarannya semakin berkurang."
Mata Lily tajam memandang Agam, merasa beban yang dirasakannya. "Dokter Ongor?" tanyanya, mencoba mengaitkan informasi baru yang didapatkannya. Agam mengangguk, jelas tertekan oleh situasi yang sulit.
Sambil mendengarkan penjelasan Agam, Lily teringat masa lalu. "Aku tidak tahu dia adalah seorang dokter," batinnya. Meskipun terkejut, Lily tidak kehilangan kewaspadaan. Dia segera meraih ponselnya dan menghubungi seseorang yang sangat dikenalnya.
Di layar ponselnya, Lily berhadapan dengan dokter Ongor. “Hai, kakek tua,” sapa Lily dengan senyum yang penuh kehangatan. "Apa kabar di negara asing ini?"
Dokter Ongor tertawa, suara cerianya mengisi ruang. “Hanya merasa sepi tanpa kau, Lily. Henry terlalu mudah aku kalahkan, tapi kau selalu menjadi tantangan yang sesungguhnya.”
Dengan sikap santai namun penuh perhatian, Lily memberikan tantangan sambil membuat kesepakatan. "Sembuhkan ibu temanku ini, dan aku akan bermain catur lagi bersamamu."
Mendengar hal itu, dokter Ongor tampak terkejut namun kemudian tersenyum. Dia merasa tipuan Lily sudah menjadi hal biasa, menganggap Lily seperti cucunya sendiri. "Baiklah, aku setuju," kata dokter Ongor. "Aku akan dijemput dan diperlakukan istimewa, kan?"
Lily mengangguk dengan penuh percaya diri. "Baiklah dokter, sampai jumpa besok," katanya sebelum mematikan panggilan dengan gesit.
Agam melihat semua itu dengan rasa tak percaya. "Lily, bagaimana kau bisa mengenalnya?" tanyanya.
“Tidak perlu tahu detailnya, yang penting malam ini kau harus menjaga bibi Helsi dengan baik. Jangan percayai siapapun di dunia ini selain dirimu sendiri,” jawab Lily dengan serius. Agam mengangguk, sedikit cemas dengan sikap Lily yang tak biasa.
Ketika Lily bersiap untuk pergi, Agam merasa ada sesuatu yang mengganjal. Seumur hidupnya, dia tidak pernah menemui wanita yang sekuat dan mandiri seperti Lily, yang tampak tidak bergantung pada siapa pun, bahkan dirinya. "Sepertinya hanya aku yang akan merasakan sakit jika kami tidak bersama," gumam Agam dalam hati.
Di tempat lain, di bandara pribadi, Ferdi turun dari jet pribadi dengan semangat. Dia tersenyum lebar saat melihat dokter Ongor menunggu di bawah. “Kakek tua, sudah lama kita tidak bertemu!” serunya sambil mendekat.
Dokter Ongor, dengan sikap khasnya, memberikan pukulan kecil di kepala Ferdi. "Cucu tidak tahu diri," katanya, meski dengan nada bercanda. Ferdi menjelaskan bahwa dia sangat senang bersama Lily dan mendapatkan banyak pengalaman baru, bahkan meski harus meninggalkan tanah kelahirannya.
Dokter Ongor mengangguk, mengingatkan Ferdi untuk menjaga rahasia identitasnya dari Lily. “Jangan biarkan Lily tahu identitasku yang sebenarnya,” kata Ferdi. “Biarkan aku yang memberitahunya ketika waktunya tepat.”
Dokter Ongor menghela napas, tapi setuju. “Baiklah, kita akan berangkat segera,” katanya.