Lisna seorang istri penyabar dan tidak pernah mengeluh pada sang suami yang memilih menganggur sejak tahun ke tiga pernikahan mereka. Lisna dengan tulus menjadi tulang punggung keluarga.
Setelah tujuh tahun pernikahan akhirnya sang suami terhasut omongan ibunya yang menjodohkannya dengan seorang janda kaya raya. Dia pun menikahi janda itu atas persetujuan Lisna. Karena memang Lisna tidak bisa memberikan suaminya keturunan.
Namun istri kedua ternyata berhati jahat. Dia memfitnah Lisna dengan mengedit foto seakan Lisna sedang bermesraan dengan pria lain. Lagi lagi suaminya terhasut dan tanpa sadar memukul Lisna bahkan sampai menceraikan Lisna tanpa memberi kesempatan Lisna untuk menjelaskan.
"Aku pastikan ini adalah air mata terakhirku sebagai istri pertama kamu, mas Fauzi." Ujarnya sambil menghapus sisa air mata dipipinya.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Saksikan di serial novel 'Air Mata Terakhir Istri Pertama'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemui Psikolog
Lisna benar benar sudah tidak kuat memendam semuanya sendiri. Jadi, dia menceritakan masalahnya pada Mirna. Termasuk tentang gangguan mental yang dia alami.
"Sabar ya Lis. Kamu kuat.."
"Tidak mbak. Aku sudah tidak kuat menerima semua ini. Aku rasa aku benar benar harus menyusul orangtuaku." Ucap Lisna dengan tatapan kosong dan nada datar.
Mirna sangat khawatir dengan keadaan Lisna. Dia memang bukan siapa siapa Lisna. Awal dia mengagumi Lisna sejak tahu Lisna begitu sabar menerima suami yang pengangguran dan bahkan Lisna mampu mempertahankan rumah tangganya tanpa ada pertengkaran sedikitpun sampai tujuh tahun lamanya.
Sosok Lisna yang selalu sabar, berlapang dada menerima takdirnya dan tidak pernah mengungkit keburukan suaminya sedikitpun pada siapapun. Sungguh membuat Mirna kagum dan ingin lebih dekat dengan Lisna.
Dan kini, akhirnya Mirna menjadi satu satunya orang asing yang mulai membuat Lisna nyaman. Hingga tiba dititik terendah Lisna, dia mau berbagi kisahnya pada Mirna.
"Lis, kamu mau aku kenalkan dengan seorang psikolog?" Tanya Mirna sangat hati hati takut Lisna tersinggung. Walau bagaimanapun Mirna belum benar benar mengerti seperti apa sifat Lisna sebenarnya.
Tatapan kosong Lisna kini beralih menatap kearah Mirna. Dia tersenyum tipis.
"Mau, mbak. Aku mau…"
Mirna senang mendengar jawaban Lisna.
"Bisakah mbak perkenalkan aku sekarang dengan psikolog itu, mbak?" Lanjut Lisna bertanya.
"Iya, Lis. Kita berangkat sekarang."
Mirna menggandeng Lisna, membantunya berjalan menuju mobil.
"Mungkin bercerita masalah kamu tentang trauma dan gangguan mental yang kamu rasakan akan menemukan titik baiknya jika diceritakan pada seorang psikolog, Lis."
"Terimakasih ya mbak."
"Aku selalu senang bisa membantu kamu, Lisna. Jadi, jangan pernah sungkan untuk meminta bantuanku."
Lisna hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat yang baru saja diucapkan Mirna.
Mobil Mirna terus melaju berpacu di jalanan yang lumayan macet karena ini akhir pekan. Banyak kendaraan yang berlalu lalang untuk pergi ketempat tempat liburan ataupun pulang kampung.
Tidak terasa, kini mobil Mirna sudah tiba di depan gedung tempat psikolog yang dimaksudnya.
"Lis, kita sudah sampai." Mirna membangunkan Lisna yang memejamkan matanya namun tidak seutuhnya tidur.
"Sudah sampai ya, mbak."
"Iya. Ayok turun. Kita temui dokternya." Ajak Mirna yang turun dari mobil lebih dulu.
Lisna menyusul dan mengekor di belakang Mirna yang melangkah masuk ke lobi gedung itu. Mereka di sambut oleh seorang resepsionis gedung itu.
"Selamat siang, mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Sapa wanita cantik yang tentu saja lebih muda dari mereka.
"Siang. Mmm, kami mau bertemu dokter Yumna, bisa?" Tanya Mirna menyebut nama psikolog itu.
"Sebentar saya tanya dulu jadwal beliau ya, mbak."
Mirna mengangguk.
Wanita cantik itu bicara melalui sambungan teleponnya dengan seseorang. Dia menanyakan apakah bisa menemui dokter Yumna saat ini. Setelah mendapat jawaban, dia pun langsung menutup pembicaraan itu.
"Bisa isi daftar pengunjung dulu, mbak?"
Mirna langsung mengisi dafar pengungjung yang dimaksud serta tujuan berkunjung mereka juga, lengkap dengan nama mereka.
"Terimakasih, mbak. Dokter Yumna menunggu di ruangan konsultasinya di lantai empat."
Mirna dan Lisna tersenyum, lalu mereka langsung naik lift untuk menuju lantai empat tempat konsultasi dengan dokter Yumna psikolog terbaik di ibu kota.
"Mbak, aku takut!" Ucap Lisna.
"Kenapa takut, Lis?" Mirna menggenggam tangan Lisna agar mengurangi rasa takut Lisna yang entah karena apa.
*
*
*
Kini Lisna sudah berada di depan dokter Yumna. Sementara Mirna duduk di sofa sudut ruangan itu.
"Halo, Lisna. Apa kabar kamu hari ini, nak?" Sapa Yumna ramah dengan suara lembut keibuannya.
"Alhamdulillah baik, dokter."
"Jangan panggil dokter, panggil saja saya ibu."
"Iya, ibu." Ulang Lisna agak ragu.
Yumna tersenyum sambil menatap lekat lekat kedua bola mata Lisna yang tampak jelas ketakutan dan merasa khawatir.
"Apa yang membuat kamu takut, nak?"
"Aku takut, ibu." Lisna menjawab.
Tapi, Lisna terlihat aneh. Dia seperti bukan dirinya. Tatap matanya tidak fokus, tangannya berkeringat dingin dan dia juga tampak gemetar.
"Lisna, lisna!" Panggil Yumna.
Dia meraih tangan Lisna, mengelus punggung tangan itu dengan lembut untuk membuat Lisna merasa tenang.
"Lisna, tatap ibu, nak." Perintah Yumna.
Perlahan Lisna menatap tepat ke bola mata Yumna. Ada ketenangan yang dia dapatkan disana hingga Lisna merasa lebih baik saat menatap dua sorot lembut penuh kasih itu. Lisna dapat merasakan ketulusan Yumna.
"Apa yang membuat kamu takut, nak?" Ulang Yumna lagi.
"Jika aku menangis, mama sama papa akan marah. Mereka tidak suka aku menangis." Ucap Lisna terbata dengan suara pelan sekali.
"Jangan takut sayang. Coba pejamkan matamu, nak."
Lisna pun langsung memejamkan matanya. Tangannya digenggam oleh Yumna yang kini menarik pelan Lisna untuk melangkah menuju sofa yang bisa membuat Lisna duduk lebih nyaman.
Setelah Lisna tampak tenang dan nyaman duduk di sofa itu, Yumna pun ikut duduk di kursi kayu tepat di sebelah Lisna.
"Ceritakan semuanya, nak. Katakan apa yang ingin kamu katakan. Jangan memendamnya sendiri."
Lisna pun mulai bercerita. Dia mengingat masa kecilnya yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Hari itu Lisna berangkat ke sekolah bersama kakaknya Lia. Lalu saat tiba di sekolah, ada beberapa teman sekelas Lia yang mengejek Lisna. Mereka mengatai Lisna anak pungut karena tidak mirip dengan Lia.
Lisna marah. Dia bahkan berteriak pada mereka yang mengatainya. Tapi, mereka malah mendorong Lisna hingga Lisna jatuh, kemudian mereka menendang Lisna bergantian sampai Lisna merasa kesakitan dan menangis.
Sebenarnya tendangan anak anak itu tidak terlalu menyakiti Lisna, tapi yang membuatnya sakit karena kak Lia yang diam saja tidak membelanya.
Sepulang dari sekolah Lisna langsung mengadu pada papa dan mamanya tentang kejadian tadi di sekolah. Tapi, mereka malah mengatai Lisna terlalu cengeng dan membandingkan Lisna dengan kakaknya Lia.
Sejak saat itulah Lisna tidak lagi mau mengadukan apapun yang terjadi di sekolah pada kedua orangtuanya. Karena hanya akan berakhir dibandingkan dengan kakaknya.
Lalu, saat Lisna sudah kelas lima SD, dia di lecehkan oleh guru olah raganya. Lisna tidak terima dan memberi perlawanan dengan memukul wajah guru olah raganya itu. Kejadian itu membuat Lisna dihukum oleh majelis guru. Mereka menghakimi Lisna tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Lisna.
Semua orang seperti menyudutkan dan membenci Lisna. Tidak ada yang mendukungnya termasuk keluarganya. Bahkan kedua orangtuanya juga memberi hukuman pada Lisna dengan mengurungnya seharian di gudang tanpa diberi makan dan minun.
Mirna yang mendengar cerita Lisna, tidak bisa berkata kata. Air matanya menetes begitu saja. Ingin rasanya dia memeluk Lisna dan mengatakan pada Lisna bahwa masih ada orang yang sayang padanya.
uh..ampun dah..
biarkan metrka berusaha dengan keangkuhanya dulu