Salahkah seorang istri mencintai suaminya? Walau pernikahannya karena perjodohan kedua orang tua mereka berdua. Tentu tidaklah salah!
Aurelia, gadis desa yang baru saja menyelesaikan sekolah tingkat atasnya, dia langsung jatuh cinta pada calon suaminya Dhafi Basim, pria dari desa yang sama tapi sudah lama pindah dan tinggal di Ibu Kota. Namun, apa yang terjadi setelah mereka menikah, lalu Dhafi memboyong Aurelia untuk tinggal di Jakarta?
"Ampun .. Mas Dhafi, maafkan aku ... ini sakit," teriak Aurelia kesakitan saat tali pinggang suaminya menghujami seluruh tubuhnya.
"Dasar istri kampungan!" maki Dhafi.
Cinta membuat orang buta, begitulah Aurelia wanita yang polos. Berulang kali menerima siksaan dari suami, namun dia tetap bertahan. Tapi sampai kapankah dia bertahan? apalagi suaminya juga berkhianat dengan sepupunya sendiri. Mungkinkah ada sosok pria yang lain menolong Aurelia? Ataukah Aurelia berjuang sendiri membuat suaminya membalas cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perkara ponsel
Punggung Aurelia menegang saat merasakan jika bagian belakang tubuhnya bersandar pada seseorang, jantungnya berdebar tak karuan bukan karena jatuh cinta, tapi berdebar karena rasa takutnya. Emran yang tubuhnya kali ini berbentur dengan wanita untuk ke dua kalinya, sesaat tidak ada reaksi apapun tapi indra penciumannya menghirup wewangian ibu yang memiliki baby, wangi minyak telon dan wangi baby cologne itulah wangi yang menyeruak dari tubuh Aurelia. Tangan kokoh pria itu juga masih mengantungkan di samping Aurelia dengan tergantungnya paper bag berlogo apel digigit.
“Mau berapa lama kamu menyandar di badan saya ... hem!” tegur Emran, suara baritonnya menggelegar, sembari menurunkan tangan kanannya.
“Eh ....” Aurelia menarik dirinya ke depan menjauh dari Emran, dia baru tersadar lalu dia memutar balik badannya dengan rasa takutnya. “Maaf Tuan, saya gak sengaja ... saya tadi kaget ... beneran, dikiraiin saya ada setan ... tiba-tiba ngagetin dari belakang,” ucap Aurelia menetralisir kegugupan dirinya.
Athallah yang ada di antara mereka berdua, netranya mendelik. “Mbak nih gimana cih, maca Daddy Atha dibilang cetan ... memangnya cetannya seganteng Daddy ya, bukannya setan itu mukanya jelek,” gerutu Athallah.
Emran tersenyum kecut juga, seganteng ini dibilang setan sama Aurelia. Wanita muda itu pun kembali mendekati Athallah yang masih duduk di atas karpet dengan beragam mainannya.
“Setan itu memang mukanya terlihat seram, tapi ada juga setan yang berwajah ganteng, setan itu wajahnya bisa berubah-ubah Abang, bisa menyerupai Daddy Abang, wajah Mbak, atau wajah orang lain,” jawab Aurelia, penjelasan seadanya dulu, nanti kalau semakin panjang yang ada majikan kecilnya susah tidur.
Emran semakin mendesis, dia pun bergerak maju mendekati mereka berdua. “Halo Son,” sapa Emran sembari mengusak rambut anaknya, kemudian netra elangnya kembali memandang Aurelia.
“Ini buat kamu, biar saya mudah menghubungi kamu,” ucap Emran kembali menyodorkan ponsel yang dia beli untuk pengasuh anaknya, luar biasa kenapa dia bisa belikan pegawainya ponsel keluaran terbaru.
Netra Aurelia terpaku dengan paper bag itu, walau dia dari kampung tapi tahu jika logo yang terpampang di paperbag warna hitam itu adalah ponsel pintar yang sangat mahal, dia sempat melihatnya di koran pulsa, bayangkan saja harganya bisa diatas 10 jutaan. Tenggorokan Aurelia tercekat, rasanya ini sangat salah.
Emran sudah menarik napasnya dengan kasar gara-gara melihat Aurelia terdiam begitu saja, tangannya tidak bergerak sama sekali untuk meraih bawaan dia, andaikan wanita lain pasti sudah teriak kegirangan kalau perlu langsung peluk Emran lalu menghunjami ciuman terima kasih pada Emran. Tolong Tuan Emran jangan samakan Aurelia dengan wanita yang lain!
“Hey ... kenapa diam saja, ambillah ini ponsel untukmu dan tidak akan saya potong gaji kamu!” tegur Emran, memecahkan kebisuan Aurelia yang masih menghinggapinya.
Kini, pandangan Aurelia mendongak ke atas dan memberanikan diri menatap wajah tampan tuannya. “Maaf Tuan Emran, terima kasih atas kebaikkannya, tapi mohon maaf ini terlalu mewah buat saya pribadi. Saya takut menerimanya. Masalah ponsel, insyaAllah setelah dapat gajian saya akan beli walau tidak terlalu mewah seperti ini,” tolak Aurelia secara halus, tangannya sama sekali tidak bergerak untuk menggapainya.
Emran terlihat sangat kecewa, dan sedikit kaget juga ternyata jaman sekarang masih ada orang yang menolak barang mewah seperti itu.
Dengan gerakkan terpaksa Emran meraih tangan kanan Aurelia dan memberikan paper bag tersebut. “Anggap saja saya meminjamkan ponsel ini jika kamu merasa tidak enak menerimanya, saya meminjamkan ponsel ini agar memudahkan saya menghubungi kamu mengenai anak saya, dan tidak merepotkan orang lain seperti tadi pagi. Dan satu lagi jangan kege-eran kalau saya meminjamkan ponsel ini. Ini untuk memudahkan pekerjaan kamu!” ucap Emran dengan sikap tegasnya.
Aurelia dibuat tak berkutik, “Ta-tapi Tuan ... saya merasa berat dan tak enak menerimanya Tuan,” tolak kembali Aurelia.
Netra elang Emran menajam, tatapannya begitu mengintimidasi wanita muda itu, dia tidak suka penolakan, apalagi hanya sekedar ponsel yang tak seberapa harganya kalau menurut Emran, tapi berbeda menurut Aurelia.
“Ambil, kalau tidak kamu pecat dari pekerjaan kamu,” sentak Emran, spontan meninggikan suaranya. Dan reflek wajah Aurelia pucat, tubuhnya kembali bergetar, terlihat kedua bahunya bergerak cepat.
Reaksi tubuh Aurelia kembali muncul, kedua tangannya sudah sekuat tenaga menahan dorongan itu untuk tidak kembali membuncah, tapi otaknya dan tubuhnya tidak bisa diajak kerjasama.
“Aurelia, kamu baik-baik saja'kan?” tanya Emran, merasa kaget melihat tubuh Aurelia tiba-tiba seperti itu. Pria itu pun bergegas mengambil minum yang memang selalu tersedia di kamar anaknya, lalu memberikannya pada pengasuh anaknya.
“Minumlah dulu,” pinta Emran. Dengan kedua tangan yang gemetaran, Aurelia mengambil gelas dari tangan Emran, lalu meneguknya pelan-pelan.
Pria itu menatap dalam Aurelia, dan merasakan ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu, tapi tidak bisa menduga karena butuh diperiksa lebih dalam. Namun dia bisa merasakan perubahan itu terjadi saat dia meninggikan nada suaranya seperti orang marah, padahal dia tidak marah.
“Ambil napas yang dalam, Aurelia,” interupsi Emran, sedangkan bocah kecil itu merasa sedih, lalu dia bangkit dari duduknya kemudian tubuh kecilnya memeluk Aurelia.
DEG!
Terhenyuh sekali Aurelia mendapat perhatian dari majikan kecilnya itu, hatinya yang terluka seakan ada sedikit obat merah yang menetisi di atas lukanya. “Mbak kedinginan ya badannya, nih Atha peluk bial angat,” kata Athallah, dia semakin erat memeluk Aurelia tanpa ada yang menyuruhnya.
Entah kenapa hati Aurelia ingin menangis, tak menyangka majikan kecilnya begitu perhatian dan semuanya datang begitu saja, tidak ada yang meminta. Sejenak wanita itu memejamkan matanya, dan menikmati pelukan hangat itu, lalu terdengar bisikkan. “Atha cayang Mbak, dangan cakit ya ... Muach!” dikecupnya pipi Aurelia.
Meleleh rasanya hati Aurelia, tubuhnya yang semula gemetaran semakin lama bisa dia kendalikan, dan tak sadar dia tersenyum hangat pada majikan kecil yang begitu tampan seperti Daddynya. “Makasih Abang, Mbak juga sayang sama Abang,” jawab tulus Aurelia.
Kini, Emranlah yang dibuat melongo dengan kedua manusia yang ada di depan matanya itu, dia heran kenapa jadi lihat adegan ibu dan anak bukan pengasuh dan anak temanya. Dan yang lebih herannya dengan sikap Athallah yang jauh berbeda dengan pengasuh sebelumnya, anaknya sayang sama pengasuhnya. Kenapa bisa begitu?
“Mbak, ndak ucah pulang ya, temenin Atha bobo di cini,” pinta Athallah, netra bulat jernihnya itu menatap memelas dirinya, Aurelia menarik napasnya sejenak.
Wanita muda itu menepuk pahanya agar duduk di pangkuannya, Athallah pun menurutinya. “Abang ganteng, Mbak beberapa hari ini belum bisa menginap di sini, nanti kalau Mbak sudah siap baru menginap di sini, dan menemani Abang tidur, ya,” jawab Aurelia begitu lembutnya.
“Son, mbaknya punya keluarga di rumahnya jadi tidak bisa tinggal di sini, tapi nanti sesekali mbaknya akan menginap di sini,” timpal Emran.
Wajah Athallah tampak murung karena keinginannya tidak terwujud. “Bagaimana kalau Mbak bacakan dogeng dulu sebelum Mbak pulang?”
Athallah mengangguk cepat, dan segera naik ke atas tempat tidur. Sebelum dia kembali mengurus majikan kecilnya, dia menatap segan ke Tuannya.
“Terima kasih atas minumnya, Tuan.”
“Saya juga minta maaf kalau agak membentakmu, bukan bermaksud memarahimu. Saya tidak suka penolakannya. Jadi ambil ponsel ini dan di dalamnya sudah ada nomor kamu dan sudah tersimpan nomor saya.”
Dengan terpaksa dia tidak bisa menolaknya kembali.
“Nanti kalau mau pulang pamit sama saya dulu,” ucap Emran sebelum dia keluar dari kamarnya.
“Baik Tuan.”
Tanpa disadari Aurelia jarum jam sudah menunjukkan jam 20.30 wib, sementara di rumahnya wajah Dhafi sudah terlihat garang setelah berulang kali melirik jam di dinding. Untung saja kedua orang tua Dhafi sudah berpamitan untuk menengok rumah yang berada di daerah Jakarta Selatan dan memboyong kedua mertuanya serta kakeknya ke sana, jadi saat ini dia lega untuk sesaat.
“Mas Dhafi, dengar gak sih bawa aku ke dokter malam ini juga, mukaku udah perih sekali. Ini dari tadi bolak-balik saja kayak setrikaan!” rengek Faiza sembari mengibas wajahnya.
Dhafi terlihat jijik menatap wajah Faiza yang memerah dan juga terlihat mulai kehitaman.
“Makanya kalau kerja tuh hati-hati, pergi aja sana kamu berobat ke dokter sendiri. Harusnya tadi kamu minta ganti rugi sama yang nabrak kamu itu!” jawab Dhafi dengan ketusnya.
Raut wajah Faiza terlihat murung saat suami sirinya mulai tidak perhatian dengannya, catat sejak tadi pagi. Dan mana mungkin juga dia minta ganti rugi, wong yang salah dia sendiri, yang ada dirinya lah yang akan dipecat.
“Ini juga yang satu lagi belum pulang!” gumam Dhafi dengan ketusnya.
Faiza berdecak kesal. “Masih di hotel kali Mas, pelanggannya belum puas sama Aurelia. Jangan-jangan gak pulang malam ini sangking keenakan indehoi sama suami orang, sampai lupa kalau sudah punya suami!” timpal Faiza enteng sekali, sengaja memanasi hati Dhafi biar dia memarahi madunya itu. Rahang Dhafi pun mengerat, hingga urat nadi di keningnya tampak berdenyut.
bersambung ...
suka 🥰