Sebuah cerita perjuangan hidup seorang ayah yang tinggal berdua dengan putrinya. Meski datang berbagai cobaan, selalu kekurangan, dan keadaan ekonomi yang jauh dari kata cukup, tapi keduanya saling menguatkan.
Mereka berusaha bangkit dari keadaan yang tidak baik-baik saja. Ejekan dan gunjingan kerap kali mereka dapatkan.
Apakah mereka bisa bertahan dengan semua ujian? Atau menyerah adalah kata terakhir yang akan diucapkan?
Temukan jawabannya di sini.
❤️ POKOKNYA JANGAN PLAGIAT GAESS, DOSA! MEMBAJAK KARYA ORANG LAIN ITU KRIMINAL LHO! SESUATU YANG DICIPTAKAN SENDIRI DAN DISUKAI ORANG MESKI BEBERAPA BIJI KEDELAI YANG MEMFAVORITKAN, ITU JAUH LEBIH BAIK DARI PADA KARYA JUTAAN FOLLOWER TAPI HASIL JIPLAKAN!❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Ungkapan Hati
Ayu kembali ke rumah setelah mengerjakan perintah bapaknya. Saat melewati rumah Dinda, netranya melihat temannya itu sedang terisak di depan rumahnya. Ingin cuek tapi akhirnya Ayu menghampiri Dinda.
"Dinda kamu kenapa?"
Dinda semakin sesenggukan karena pertanyaan Ayu. Ayu yang tak tahu ada apa sebenarnya dibuat kebingungan karenanya. Ayu menyodorkan satu jagung bakar kepada Dinda tapi temannya itu menggeleng pelan menolak pemberiannya.
"Aku pulang ya Din.." Ayu menengok sesaat memastikan jika temannya itu sudah berhenti menangis.
"Assalamu'alaikum, pak.. Ayu pulang."
"Wa'alaikumsalam, makan dulu Yu." Teguh membukakan sebungkus nasi yang dia beli tadi. Ada ayam goreng dan tumis kacang sebagai pelengkapnya.
"Bapak, Ayu enggak lihat nasi bapak.. Ayo makan sama Ayu pak." Ayu meletakkan kembali sendok yang dia pegang.
"Bapak udah makan Yu. Tadi sebelum pulang, kamu makan aja.. Abisin. Jangan nyisa ya, enggak baik. Hargai makanan, semua itu rejeki.." Teguh memilih melipat baju di samping Ayu yang masih menatapnya lekat.
"Makan nduk.." Perintahnya lagi.
"Iya pak. Pak.. Tadi Ayu lihat Dinda nangis di depan rumah pak, kenapa ya pak?" Satu sendok nasi masuk ke dalam mulut bocah itu.
"Yu.. Biasakan kalau lagi makan jangan sambil bicara ya." Ayu tersenyum malu mendengar teguran bapaknya.
"Ini.. Ayu mau makan kalau sama bapak. Nasinya banyak pak, Ayu takut enggak abis malah nyisa.. Nanti kebuang,,"
Teguh mengambil sendok itu. Menyuapi putrinya, lalu bergantian dengan dia. Seperti itu terus sampai nasi yang dibungkus kertas minyak dan koran tadi habis tak tersisa.
Tanpa mereka sadari, sejak tadi obrolan dan tingkah polah mereka diperhatikan oleh sepasang mata. Dinda ada di ujung pintu. Melihat kedekatan Ayu dan bapaknya dari sana, pemandangan yang tak pernah dia rasakan lagi setelah kepergian papanya. Betapa saat ini dia rindu dengan sosok papanya.
"Dinda.. Sini Din.. Kok berdiri saja di situ. Mau main sama Ayu?" Tanya Teguh menghampiri Dinda.
"Enggak paklek (paman).." Matanya kembali mengembun.
"Enggak usah takut masuk ke sini, rumah paklek memang kecil, tidak bagus, tapi bersih.. Bersih itu karena enggak ada apa-apanya.. Ya kan Yu?" Candaan Teguh berhasil membuat bibir Dinda tertarik mencetak senyum simpul.
Dinda masuk ke dalam rumah Ayu. Sesaat kemudian bocah itu sudah melupakan kesedihan yang tadi menggelayutinya, Dinda tak pernah tahu jika Teguh, orang yang sering dia panggil paklek ini punya selera humor tinggi. Nyatanya dia betah dan sangat senang ada di rumah pakleknya itu.
"Dindaaaaa...!!" Sebuah teriakan membuat ketiga kaget melihat ke arah pintu.
"Ya mah.." Dinda berjalan menunduk takut jika mamahnya marah lagi. Raut muka sendu itu muncul lagi. Sekarang bukan Ayu saja yang menganggap Vera menyeramkan, tapi Dinda yang selaku anaknya juga demikian.
"Kenapa main ke sini enggak bilang-bilang sih Din, mamah tuh khawatir tahu enggak." Senyum muncul di wajah Vera saat bertatapan dengan netra lelaki di depannya.
"Dia ke sini aku yang minta." Ucap Teguh membela Dinda agar tidak kena omel Vera.
"Iya mas.. Enggak apa-apa, tadi aku khawatir aja. Kirain Dinda kemana tadi, soalnya kan enggak pernah main ke sini.. Aku mikirnya Dinda tadi ikut omanya tapi enggak bilang dulu sama aku." Vera menjelaskan.
Vera kembali terdiam. Dia jadi salah tingkah berada di dekat Teguh seperti ini. Ada dia, Teguh dan Dinda.. Sebuah keluarga yang harmonis. Pikirnya. Lalu Ayu? Mau dikemanakan bocah yang sejak kemunculan Vera di rumahnya tadi hanya duduk diam di bangku panjang. Dia tak mengikuti bapaknya yang mengantar Dinda sampai ambang pintu.
"Mas.. Sebenarnya aku mau ngomong sama kamu, ini tentang kita..." Ucapannya terhenti sesaat. Vera memperhatikan raut wajah Teguh berubah. Seperti muncul percikan emosi di sana.
"Dinda pulang dulu sana. Nanti mamah nyusul!" Perintah Vera. Dinda yang awalnya menolak perintah mamahnya jadi nurut setelah mendapat sorotan tajam mata mamahnya.
"Kita?" Ucap Teguh masih membiarkan tamunya ada di teras rumah.
"Iya mas.. Kita, aku sama kamu... Mas, aku masih cinta sama kamu.." Ucap Vera dengan pandangan mengiba.
"Astaghfirullah Ver.. Kamu ini kenapa? Suamimu belum genap empat puluh hari meninggal, enggak pantes kamu ngomong cinta cinta seperti itu!" Teguh mulai terpancing emosinya.
"Tapi mas, dari dulu juga mas sendiri tahu kalau aku enggak pernah cinta sama Cokro itu. Aku sayangnya sama kamu... Mas, mamiku minta aku nikah lagi.. Tapi aku enggak mau, aku enggak mau nikah kalau bukan sama kamu mas.." Air mata itu sudah luruh jatuh membasahi pipi.
"Kamu bercanda Ver? Maaf aku harus masuk ke dalem, udah mau maghrib." Ucap Teguh datar.
"Kenapa kamu mikir aku bercanda?! Apa kamu pikir menahan perasaan belasan tahun hanya untuk kamu itu sebuah candaan?! Mas, tolong beri aku kesempatan.. Kita bisa mulai dari awal, ya mas??" Vera memohon.
Tapi, rupanya air mata itu tak berarti apapun untuk Teguh. Dia masuk ke dalam rumah tanpa menunggu tamunya pulang. Vera tak menyangka, Teguh bisa sekejam itu kepadanya. Hatinya sakit. Saat dia ingin kembali merajut asa bersama dengan orang yang dia cinta, orang itu malah mengabaikannya. Apa yang kurang darinya? Tak ada! Dia sempurna. Tapi kenapa Teguh seolah malas melihat ke arahnya? Semua pertanyaan itu terus berputar di ot_ak Vera.
____
"Eh mbaaak... Ada kabar heboh!" Ucap Ibu-ibu yang sedang berbelanja di warung.
"Kabar heboh apa mbak?" Tanya pemilik warung penasaran.
"Kemarin sore, aku lihat si janda baru itu main ke rumah mas duda!" Mulai bercerita dengan semangat.
"Elaah, kirain ada berita apa.. Orang main kan ya wajar. Lagian rumah mereka deketan. Terus masalahnya apa? Yang heboh apanya?" Si pemilik warung jengah. Dia berpikir akan mendapat bahan ghibahan baru, tahunya hanya informasi tak bermutu.
"Lho lho lhoo.. Didengerin dulu sampai selesai makanya mbaaak. Jadi aku kemarin lihat si Vera itu nangis-nangis di depan rumahnya Teguh! Kan aneh banget toh? Ngapain coba dia nangis di depan rumah orang.. Mungkin enggak kalau mereka mau balikan??" Tebak si ibu pemberi informasi.
"Masa sih mbak? Wah bakal seru ini, yang tadinya musuhan jadi mantenan! Ayo mbak kita piralin di grub we_ah (wa) kita. Pasti banyak yang komen nanti hihihi."
Dua orang Ibu-ibu itu mulai menghibah onlen. Tertawa melihat balasan dari teman satu grub mereka. Rasanya senang sekali mereka, bisa mengedarkan informasi yang belum jelas kebenarannya.
mgkn noveltoon bs memperbaiki ini..